MAKALAH FIQH
JINAYAH
Percobaan
Melakukan Jarimah
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Fiqh Jinayah.
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah Fiqh
Jinayah ini dengan sebaik-baiknya. Kami juga berterima kasih kepada Bapak A.Rafiqi Purba.MHI. selaku Dosen
mata kuliah yang bersangkutan, telah membimbing kami dalam menyelesaikan
makalah ini.Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka
menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai percobaan melakukan jarimah. Kami menyadari sepenuhnya bahwa di dalam
makalah ini terdapat banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh
sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan yang membangun demi perbaikan
yang semestinya, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna.
Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat
berguna bagi kami sendiri maupun bagi
yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf
apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan.
Medan, 23 Oktober 2017
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................................... i
DAFTAR ISI ......................................................................................................................... ii
BAB
I. PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang ........................................................................................................... 1
B.
Rumusan
Masalah ...................................................................................................... 1
BAB II. BAHASAN
MATERI
A.
Pengertian
Percobaan Melakukan Jarimah................................................................ ..2
B.
Percobaan
Menurut Fuqoha........................................................................................ 2
C.
Fase-fase
Pelaksanaan Jarimah.................................................................................... 3
D.
Sebab
Tidak Terjadinya Jarimah................................................................................. 5
E.
Hukuman
Untuk percobaan Jarimah........................................................................... 6
BAB III.
PENUTUPAN
A.
Kesimpulan
................................................................................................................. 7
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 8
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Jarimah adalah larangan-larangan Allah yang di ancam
dengan hukuman had atau ta’zir, perbuatan yang dilarang itu dapat berupa
sesuatu yang yang dilarang, dianggap jarimah apabila perbuatan tersebut telah
dilarang oleh syara’. Yang mendorong sesuatu itu di anggap jarimah adalah
karena perbuatan tersebut dapat merugikan kepada tata urutan
masyarakat atau kehidupan anggota masayarakat atau pertimbangan-pertimbangan
lain yang harus dihormati dan dipelihara meskipun adakalanya jarimah justru
membawa keuntungan ini tidak menjadi pertimbangan syara’ oleh karena itu syara’
melarang yang namanya jarimah karena dari segi kerugiannya itulah yang di
utamakan dalam pertimbangan. Jarang di temukan perbuatan membawa keuntungan
semata-mata atau menimbulkan kerugian semata tetapi setiap perbuatan
akan membawa akibat campuran, antara keuntungan dan kerugian, sesuai dengan
tabi’atnya manusia akan memilih banyak keuntungannya dari pada kerugiannya
meskipun akan merugikan masyarakatnya.
Di samping itu perbuatan-perbuatan tersebut ada
kalanya telah selesai di lakukan dan ada kalanya tidak selesai karena ada
sebab-sebab tertentu dari luar. Disamping itu perbuatan tersebut adakalanya
dilakukan oleh seorang saja maupun beberapa orang bersama-sama dengan orang
lain yang di sebut dengan turut serta melakukan jarimah
B.
RUMUSAN MASALAH
a.
Apa itu percobaan
melakukan Jarimah ?
b.
Apa Percobaan Menurut
Fuqoha ?
c.
Apa Saja Fase-Fase
Pelaksanaan Jarimah ?
d.
Apa Sebab Tidak
Terjadinya Jarimah ?
e.
Apakah Hukuman untuk
Percobaan Jarimah ?
BAB I
PEMBAHASAN
A.
Percobaan Melakukan
Jarimah
Dalam Pasal 45 kitab
undang-undang Hukum Pidana Mesir, dijelaskan tentang pengertian percobaan
sebagai berikut:
اَلاِرْتِكَابُ
بِالْفِعْلِ أَوِالْقَوْلِ لِلْأَمْرِ الَّذِى وَرَدَبِهِ النَّهْىُ وَقُرِّرَتْ
لَهُ عُقُوْبَةٌ يَطْبَقُهَا الْقَضَاءُ
Percobaan adalah mulai
melaksanakan suatau perbuatan dengan makasud melakukan (jinayah atau jinhah),
tetapai perbuatan tersebut teidak selesai atau berhenti karena ada sebab yang
tidak ada sangkut pautnya dengan kehendak pelaku.[1]
B.
Percobaan Menurut Para
Fuqoha
Istilah percobaan
dikalangan tidak kita dapati. Akan tetapi, apabila definisi tersebut ita
perhatikan maka apa yang dimaksud dengan istilah tersebut juga terdapat pada
mereka, karena dikalangan mereka juga dibicarakan tentang pemisahan
antara jarimahyang sudah selesai dan juga jarimah yang tidak
selesai. Tidak adanya perhatian para fuqaha secara khusus terhadapjarimah percobaan
oleh kedua hal:
1)
Percobaan
melakukan jarimah tidak dikenakan hukuman had atau qisas.
Melainkan dengan hukuman tak’zir bagaimanapun macamnya jarimah-jarimah
itu. Para fuqaha lebih banyak memperhatikan jarimah-jarimahhudud dan
qishash, karna unsur dan syarat-syaratnya sudah tetap tanpa mengalami
perubahan. Takzir juga dapat mengalami perubahan sesuai dengan perubahan
masyarakat. Oleh karena itu, para fuqaha tidak mencurahkan perhatian dan
pembicaraan secara khusus dan tersendiri karena percobaan melakukan jarimah sudah
termasuk jarimah ta’zir.
2) Dengan adanya aturan-aturan
yang sudah mencakup dari syara’tantang hukuman untuk jarimah ta’zir maka
aturan-aturan yang khusus utuk percobaan tidak perlu diadakan, sebab hukuman
ta’zir dijatuhkan atas perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had atau
khifarat. Percobaan yang pengertian sebagai mana dikemukakan di atas adalah
mulai melakukan suatu perbuatan yang dilarang tetapi tidak selesai, termaksuk
pada maksiat yang hukumannya adalah tak’zir. Dengan demikian, percobaan sudah
taermasuk kedalam kelompok ta’zir, sehingga para fuqaha tidak membahas secara
khusus.
Pendiri hukum pidana
islam tenteng percobaan melakukan jarimah, lebih mencakup dari
hukum positif, dari hukum islam sendiri setiap perbuatan percobaan dikenakan
hukuman tanpa pengecualian, sedangkan dari hukum positif tidak semua percobaan
dikenakan hukuman, menurut Pasal 54 KUHP pidana Indonesia yang ber bunyi: Mencoba
melakukan pelanggaran tidak dipidana. sedangkan dalam KUHP Mesir haya
percobaan melakukan jarimah jinayah saja yang dapat dikenakan
hukuman, sedangkan percobaan melakukan jarimah mukalafah tidak
dikenakan hukuman (pasal 46 dan 47).[2]
C.
Fase-fase Pelaksanaan
Jarimah
‘Abd al-Qadir ‘Awdah
menjelaskan bahwa paling tidak ada tiga fase dalam proses melakukan
perbuatan jarimah
1) Fase
pemikiran atau perencanaan(marhalat al-tafkir)
Pemikiran dan
merencanakan suatu jarimah tidak dianggap sebagai maksiat yang dijatuhi
hukuman, karena menurut ketentuan yang berlaku dalam syariat islam, seseorang
tidak dapat dituntut atau dipersalahkan karena lintasan hatinya atau niat yang
tarkandunga dalam hatinya. Halini didasarkan Hadis Nabi saw.
عَنْ أبى هُرَيْرَةَرضِى اللّه عَنْهُ قَالَ: قَالَ النَّبِىُّ ص م:إِنَّ
اللّه تَجَاوَزَلِى عَنْ أُمَّتِى مَاوَسَوَسَتْ بِهِ صُدُوْرُهَا مَالَمْ
تَعْمَلْ أَوْتَكَلَّم
Abu hurairah ra.
Barkata:Nabi saw, telah bersabda: “sesungguhnya Allah mengampuni umatku karna
aku atas apa yang terlintas dalam hatinya, selama belumdikerjakan atau
diucapkan.”
Ketentuan ini sudah
terdapat dalam syari’at islam sejak mulai diturunkannya tanpa mengenal
pengecualian. Akan tetapi, hukum positif baru mengenalnya pada akhir abad ke 18
Masehi, yaitu sesudah revolusi Prancis. Sebelum masa itu niat dan pemikiran
terhadap perbuatan jarimah dapat dihukum kalau dapat dibuktikan. Pada
hukum positif terhadap aturan tersebut ada pengecualiannya.
Sebagai contoh ialah
adanya perbedaan pada hukum pidana Perancis dan RPA antara pembunuhan sengaja
yang direncanakan terlebih dahulu dengan pembunuhan biasa yang tidak
direncanakan terlebih dahulu, dimana untuk pembunuhan pertama dikenakan hukuman
yang lebih berat dari pada hukuman pembunuhan macam kedua. KUHP RPA terhadap
pembunuhan berencana dikenakan hukuman mati, dan terhadap pembunuhan biasa
dikenakan hukuman kerja berat seumur hidup atau sementara (pasal 230 dan 234).
Menurut KUHP Indonesia,
karena pembunuhan berencana dihukum mati atau dihukum penjara seumur hidup atau
hukuman penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun, dan kerana pembunuhan
biasa, dihukum dengan hukuman penjara selama lamanya lima belas tahun.[3]
Sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 338 dan 340 KUH Pidana.
a.
Pasal 338: Barangsiapa dengan sengaja
menghilangkan nyawa orang, karena pembunuhan biasa, dipidana dengan pidana
penjara selama-lamanya lima belas tahun.
b.
Pasal 340: Barangsiapa
dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan nyawa orang,
karena bersalah melakukan pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati
atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh
tahun. [4]
2) Fase persiapan(marhalat al-tahdhir)
Menyiapkan alat-alat yang dipakai untuk melaksanakan jarimah, seperti
membeli senjata untuk membunuh orang lain atau membuat kunci palsu untuk
mencuri. Fase persiapan juga tidak dianggap maksiat yang dapat dihukum kecuali,
apabila perbuatan persiapan itu sendiri dipandang sebagai maksiat seperti,
hendak mencuri milik seseorang dengan jalan membiusnya. Dalam contoh ini
membeli alat bius atau orang lain itu sendiri dianggap maksiat yang dihukum,
tanpa memerlukan kepada selesainya maksud yang hendak dicuri yaitu dicuri.
Alasan untuk tidak memasukkan fase persiapan sebagai jarimah, ialah bahwa
perbuatan seseorang yang bisa dihukum harus berupa perbuatan yang maksiat, dan
maksiat baru terwujud apabila berisi pelanggaran terhadap hak masyarakat dan
hak manusia, sedangkan pada penyiapan pada alat-alat jarimah pada galibnya
tidak berisi suatu kerugian yang nyata terhadap hak-hak tersebut. Kalau
dianggap menyebabkan kerugian,maka anggapan ini masih bisa ditakwilkan,artinya
bisa diragukan,sedangkan menurut syari’at, seseorang tidak bisa diambil
tindakan terhadapnya kecuali apabila didasarkan kepada keyakinan.
3) Fase
pelaksanaan(marhalat al-tahfidz)
Pada
fase inilah perbuatan si pembuat dianggap sebagai jarimah. Untuk dihukum, tidak
menjadi persoalan, apakah perbuatan tersebut merupakan permulaan pelaksanaan
unsur materiil jarimah atau tidak, melainkan cukup dihukum apabila perbuatan
itu berupa ma'siat, yaitu yang berupa pelanggaran atas hak masyarakat dan hak
perseorangan, dan dimaksudkan pula untuk melaksanakan unsur materiil, meskipun
antara perbuatan tersebut dengan unsur materiil masih terdapat beberapa langkah
lain.
Pada pencurian misalnya,
melobangi tembok, membongkar pintu dan sebagainya dianggap sebagai ma'siat yang
dijatuhi hukuman ta'zir, dan selanjutnya dianggap pula sebagai percobaan
pencurian, meskipun untuk terwujudanya perbuatan pencurian masih terdapat
perbuatan-perbuatan lain lagi, seperti masuk rumah, mengambil barang dari
almari, dan membawanya keluar dan sebagainya.
Jadi ukuran perbuatan
dalam percobaan yang bisa dihukum ialah apabila perbuatan tersebut berupa
ma'siat. Dalam hal ini niatan dan tujuan pembuat sangat penting artinya untuk
menentukan apakah perbuatan itu ma'siat (salah) atau tidak. Dengan demikian
kriteria untuk menentukan permulaan pelaksanaan jarimah dan merupakan percobaan
yang bisa dihukum adalah apabila perbuatan tersebut sudah merupakan maksiat. Disamping
itu, niat dan tujuan pelaku juga sangat penting untuk menentukan apakah
perbuatan itu merupakan maksiat atau tidak.[5]
Hukum
positif sama pendapatnya dengan hukum Islam tentang tidak adanya hukuman pada
fase pemikiran atau perencanaan dan persiapan serta membatasi hukuman pada fase
pelaksanaan. Akan tetapi, sarjana-sarjana hukum positif berbeda pendapatnya
tentang penentuan saat permulaan pelaksanaan tindak pidana itu. Sedangkan
menurut aliran objektif, saat tersebut adalah ketika pelaku melaksanakan
perbuatan mareriil yang membentuk suatu jarimah. Kalau jarimah tersebut terdiri
dari satu perbuatan juga maka percobaan jarimah itu adalah ketika memulai
perbuatan tersebut. Kalau jarimah tersebut terdiri dari dari beberapa perbuatan
maka memulai salah satunya dianggap melakukan perbuatan jarimah tersebut.
Sedangkan menurut aliran subjektif, untuk dikatakan melakukan percobaan cukup
apabila pelaku telah memulai sesuatu pekerjaan apa saja yang menunjukan
kekuatan maksudnya untuk melakukan kejahatan. [6]
D.
Sebab Tidak Selesaianya
Perbuatan
Suatu perbuatan jarimah tidak
selesai dilakukan oleh pembuat disebabkan karena salah satu dari dua hal
sebagai berikut.
1) Adakalanya
terpaksa, misalnya tertangkap.
2) Adakalanya
karena kehendak sendiri. Berdasarkan kehendak sendiri ini ada dua macam:
a) Bukan
karena taubat, dan
b) Karena
taubat.
Kalau tidak selesainya
jarimah karena terpaksa maka pelaku tetap harus dikenakan hukuman, selama
perbuatan itu sudah bisa dikategorikan ma’siat. Demikian pula kalau pelaku
tidak menyelesaikan jarimahnya karena kehendak sendiri tetapi bukan karena
taubat. Akan tetapi,apabila tidak selesainya itu karena taubat dan kesadaranya
maka jarimahnya itu adakalanya jarimah hirabah dan adakalanya bukan jarimah
hirabah. Apabila jarimah itu jarimah hirabah maka pelaku dibebaskan dari
hukuman.[7] Hal ini
berdasarkan firman Allah surat Al-Maidah 34:
اِلاَّ الَّذِيْنَ تَابُوْا مِنْ قَبْلِ أَنْ تَقْدِرُوْا عَلَيْهِمْ
فَاعْلَمُوْآ أَنَّ اللهَ غَفُوْرٌرَحِيمٌ
kecuali orang-orang
yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka;
Maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang(surat
Al-Maidah 34).[8]
Apabila jarimah itu
jarimah bukan hirabah maka pengaruh taubat disini masih diperselisihkan oleh
para fuqoha. Dalam hal ini ada tiga pendapat:
1).Pendapat fuqoha dari madzab Syafi’I dan Hambali, taubat bisa
menghapuskan hukuman. Alasanya adalah:
a.
Alquran menyatakan
hapusnya hukuman untuk jarimah hirabah, sedangkan jarimah hirabah adalah
jarimah paling berbahaya. Kalau taubat dapat menghapuskan hukuman untuk jarimah
yang paling berbahaya maka lebih-lebih untuk jarimah yang lain.
b.
Dalam menyebutkan
beberapa jarimah, Alquran selalu mengiringinya dengan pernyataan bahwa taubat
dapat menghapuskan hukuman. Misalnya dalam hukuman zina yang pertama kali
diadakan dalam surah An-Nisaa’ 16:[9]
وَالَّذَانِ يَأْتِيَنِهَا مِنْكُمْ فَأذُوْهُمَا فَإِنْ تَابَا وَأَصْلَحَا
فَأَعْرِ ضُوْا عَنْهَا
Dan terhadap dua orang
yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, Maka berilah hukuman kepada
keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, Maka
biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang(Surah An-Nisaa;16).[10]
2).Menurut Imam Malik,
Imam Abu Hanifah, taubat tidak menghapuskan hukuman, kecuali untuk jarimah
hirabah yang sudah ada ketentuanya. Karena kedudukan hukuman adalah sebagai
kifarat maksiat. Disamping itu kalau taubat semata-mata dapat hukuman dapat
terhapus, maka akibatnya ancaman hukuman tidak berguna, sebab setiap pelaku
jarimah tidak sukar mengatakan telah bertaubat.
3).Menurut Ibn Taimiyah
dan Ibn Al Qayyim dari pengikut madzab Hambali, hukuman dapat membersihkan
maksiat dan taubat dapat menghapus hukuman untuk jaarimah-jarimah yang
berhubungan dengan hak Allah (hak masyarakat), kecuali apabila pelaku minta
untuk di hukum maka ia bisa dijatuhi hukuman walaupun ia telah bertaubat.
Pendapat Ibn Taimiyah
dan Ibn Qayyim kelihatanya merupakan jalan tengah yang mengompromikan pendapat pertama dan kedua
yang saling bertentangan. Walaupun demikian pengaruh taubat terhadap hukuman
menurut pendapat kedua imam ini, hanya berlaku dalam jarimah yang menyinggung
hak masyarakat saja. Sedangkan dalam jarimah yang menyinggung hak individu
taubat tetap tidak berpengaruh terhadap hukuman. [11]
E.
Hukuman untuk Jarimah
Percobaan
Menurut ketentuan pokok
dalam syariat Islam yang berkaitan dengan jarimah hudud dan
qisash, hukuman-hukuman yang telah ditetapkan untuk jarimah yang
telah selesai, tidak boleh diberlakukan untuk jarimah yang
belum selesai (percobaan). Ketentuan ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan
oleh Imam Al-Baihaqi dari Nu’mam ibnu Basyir bahwa rasullah saw, bersabda:
مَنْ بَلَغَ حَدًافِى
غَيْرِحَدٍّفَهُوَمِنْ المُعْتَدِيْنَ
Barang siapa yang
mencapai (melaksanakan) hukuman had bukan dalam jarimah hudud maka ia termasuk
orang yang melampaui batas.
Percobaan melakukan
zina tidak boleh dihukum dengan had zina, yaitu jilid seratus kali atau rajam.
Demikian pula percobaan pencurian tidak boleh dihukum dengan had pencurian,
yaitu potong tangan. Dengan demikian, hukuman untuk jarimah percobaan adalah
hukuman ta’zir itu sendiri.[12]
Dalam KUHP Indonesia,
hukuman untuk percobaan ini terancam dalam Pasal 53 ayat (2) KUHPidana yang
berbunyi:
1) Maksimum itu pidana pokok yang
diancam atas kejahatan itu dikurangi sepertiganya.
2) Jika kejahatan itu dapat dipidana
dengan pidana mati atau penjara seumur hidup maka dijatuhi pidana penjara
selama-lamanya lima belas tahun[13]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Percobaan adalah mulai melaksanakan suatau perbuatan dengan makasud
melakukan (jinayah atau jinhah), tetapai perbuatan tersebut teidak selesai atau
berhenti karena ada sebab yang tidak ada sangkut pautnya dengan kehendak pelaku
Fase-fase Pelaksanaan Jarimah menurut ‘Abd al-Qadir ‘Awdah menjelaskan
bahwa paling tidak ada tiga fase dalam proses melakukan perbuatan jarimah
yaitu :
1)
Fase pemikiran atau
perencanaan(marhalat al-tafkir)
2)
Fase persiapan (marhalat
al-tahdhir)
3)
Fase pelaksanaan(marhalat
al-tahfidz)
Suatu perbuatan jarimah tidak
selesai dilakukan oleh pembuat disebabkan karena salah satu dari dua hal
sebagai berikut.
1) Adakalanya
terpaksa, misalnya tertangkap.
2) Adakalanya karena kehendak sendiri. Berdasarkan
kehendak sendiri ini ada dua macam:
a) Bukan
karena taubat, dan
b) Karena
taubat.
Menurut ketentuan pokok
dalam syariat Islam yang berkaitan dengan jarimah hudud dan
qisash, hukuman-hukuman yang telah ditetapkan untuk jarimah yang
telah selesai, tidak boleh diberlakukan untuk jarimah yang
belum selesai (percobaan). Dan Dalam KUHP Indonesia, hukuman untuk percobaan
ini terancam dalam Pasal 53 ayat (2) KUHPidana
DAFTAR PUSTAKA
Zahrah. Abu
Muhammad. Al Jarimah wa al-‘uqbah fi al fiqh al Islami, Maktabah al Misriyyah,
Kairo
‘Ali. Al-jumanatul. 2005.Al-Qur’an
dan Terjemahannya,Jakarta:CV Penertbit J-Art
Hanafi.Ahmad
Hanafi.1993. Asas-Asas Hukum Pidana Islam,Jakarta: PT Midas Surya
Grafindo
Santoso.
Topo. 2003.Membumikan Hukum Pidana Islam, Jakarta:Gema Insani Press
S.C.T.Kansil.1998.
Penghantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta:Balai Pustaka
Wardi. Ahmad Muslich. 2006.Hukum Pidana Islam, Jakarta:Sinar
Grafika
[1] Topo Santoso,S.H,M.H,Membumikan Hukum Pidana Islam,(Jakarta:Gema
Insani Press,2003).hal.38
[2] Drs.H.Ahmad Wardi Muslich,Hukum Pidana Islam,(Jakarta:Sinar
Grafika,2006),hal.60-61
[3]Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam,(Jakarta: PT Midas
Surya Grafindo, 1993),hal.121
[4] Drs.C.S.T.Kansil,S.H, Penghantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum
Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka,1998),hal.273
[5]ibid, Asas-Asas Hukum Pidana Islam,(Jakarta: PT Midas Surya
Grafindo, 1993),hal.122-123
[6]ibid, Hukum Pidana Islam,(Jakarta:Sinar Grafika,2006),hal.64
[7] Muhammad Abu Zahrah, Al Jarimah wa al-‘uqbah fi al fiqh al Islami,
Maktabah al Misriyyah, Kairo, tanpa
tahun, hal.63
[9] ibid, Al Jarimah wa al-‘uqbah fi al fiqh al Islami, Maktabah al
Misriyyah, Kairo, tanpa tahun, hal.64
[12] ibid, Asas-Asas Hukum Pidana Islam,(Jakarta: PT Midas Surya
Grafindo, 1993),hal.67
[13] ibid, Penghantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia,
(Jakarta:Balai Pustaka,1998),hal.273