Pemakaian Bahasa Indonesia Baku Dan Non Baku

BAB I 
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Ketika mendengar seseorang berbicara di depan umum, baik di lapangan maupun di acara resmi di televisi, seperti pada saat penyampaian pidato presiden, mereka tampak begitu berwibawa dengan penggunaan bahasa yang mereka gunakan. Hal tersebut mengakibatkan banyak orang, khususnya orang awam tercengang mendengar dan ingin meniru cara berbicara model tersebut. Namun, sangatlah menggelitik ketika seseorang meniru gaya model tersebut dan mempraktekkannya dengan percaya diri ketika ingin meminta adiknya mengambil cangkir dengan mengatakan, “Tolong, adik ambilkan cangkir kepada saya”. Untuk situasi tersebut, akan lebih tepat jika mengatakan, ”ambilkan cangkir dong dek”. Demikian juga merupakan hal yang ganjil, ketika di acara peresmian sebuah instansi, pemilik instansi berkata, “perusahaan ini resmi ya saya buka bapak – bapak dan ibu-ibu”. Tepatnya jika pemilik berkata, “Kepada Bapak dan Ibu hadirin, dengan ini Saya menyatakan bahwa perusahaan ini resmi dibuka.”

Di Indonesia ditemukan berbagai ragam bahasa karena dipengaruhi oleh suku, budaya, sosial dan politik. Semakin kita memahami pemakaian ragam- ragam bahasa itu, maka komunikasi yang terjadi akan semakin efektif. Penggunaan bahasa baku banyak digunakan oleh kalangan pendidikan, baik dalam forum maupun dalam penulisan karya tulis. Mampu menggunakan bahasa baku sangatlah penting dalam berkomunikasi dengan orang-orang penting seperti atasan, orang tua, khususnya dalam komunikasi resmi negara.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan pembuatan tulisan ini, antara lain:
a. Mengetahui jenis ragam bahasa
b. Mengetahui pengertian bahasa baku dan non baku
c. Mengetahui pengertian bahasa Indonesia baku dan non baku
d. Mengetahui fungsi dan konteks pemakaian bahasa Indonesia baku
e. Mengetahui penggunaan bahasa yang baik dan benar

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Ragam Bahasa
Dalam Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia, 2006, Abdul Chaer menyatakan bahwa setiap bahasa sebenarnya mempunyai ketetapan atau kesamaan dalam hal tata bunyi, tata bentuk, tata kata, tata kalimat dan tata makna. Tetapi karena berbagai faktor yang terdapat di dalam masyarakat pemakaian bahasa itu, seperti usia, pendidikan, agama, bidang kegiatan dan profesi, dan latar belakang budaya daerah, maka bahasa itu menjadi tidak seragam benar. Bahasa itu menjadi beragam. Mungkin tata bunyinya menjadi tidak persis sama, mungkin tata bentuk dan tata katanya, dan mungkin juga tata kalimatnya.

Keragaman bahasa ini terjadi juga dalam bahasa Indonesia. Akibat berbagai faktor seperti yang disebut di atas, maka bahasa Indonesia pun mempunyai ragam bahasa. Ragam bahasa Indonesia yang ada antara lain:
  1. Ragam bahasa yang bersifat perseorangan. Biasa disebut dengan istilah idiolek. Setiap orang tertentu mempunyai ragam atau “gaya” bahasa sendiri-sendiri yang sering tidak disadarinya. Perbedaan idiolek ini dapat kita lihat, sebagai contoh, “gaya” bahasa Sutan Takdir Alisyahbana, yang tidak sama dengan “gaya” bahasa Pramudya Ananta Toer.
  2. Ragam bahasa yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat dari wilayah tertentu, biasanya disebut dengan istilah dialek. Misalnya ragam bahasa Indonesia di Jakarta yang jelas tidak sama dengan ragam bahasa masyarakat di Medan, di Yogyakarta, atapun di Denpasar.
  3. Ragam bahasa yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat dari golongan sosial tertentu, biasanya disebut sosiolek. Misalnya ragam bahasa golongan terdidik, jelas tidak sama dengan ragam bahasa dari golongan buruh kasar, ataupun golongan masyarakat umum.
  4. Ragam bahasa yang digunakan dalam kegiatan suatu bidang tertentu, seperti kegiatan ilmiah, jurnalistik, sastra, hukum, matematika, dan militer. Ragam bahasa ini disebut dengan istilah fungsiolek. Ragam bahasa ilmiah biasanya bersifat logis dan eksak, tetapi ragam bahasa sastra penuh kiasan dan ungkapan.
  5. Ragam bahasa yang digunakan dalam situasi formal atau situasi resmi, biasanya disebut dengan istilah ragam bahasa baku, baik dalam bidang fonologi, morfologi, sintaksis, maupun kosa kata, biasanya digunakan secara konsisten.
  6. Ragam bahasa yang digunkan dalam situasi informal atau situasi tidak resmi, biasanya disebut dengan istilah ragam non baku atau nonstandard. Dalam ragam bahasa non baku ini, kaidah-kaidah tata bahasa biasanya tidak digunakan secara konsisten, seringkali dilanggar.
  7. Ragam bahasa yag digunakan secara lisan biasa disebut bahasa lisan. Lawannya, ragam bahasa yang digunakan secara tertulis atau yang biasa disebut bahasa tulisan atau bahasa tertulis. Ragam bahasa lisan tidak sama dengan bahasa tulisan. Bahasa lisan dalam realisasinya sering dibantu dengan mimik, gerak-gerik anggota tubuh, dan informasi ucapan. Sedangkan dalam bahasa tulisan, mimik, gerak-gerik anggota tubuh, da intonasi tidak dapat diwujudkan. Karena itu, agar komunikasi dalam bahasa tulisan dapat mencapai sasarannya dengan baik, maka harus diupayakan menyusun struktur kalimat dan penggunaan tanda-tanda baca sedemikian rupa, agar pembaca dapat menangkap bahasa tulisan itu dengan baik dan benar.
Alangkah baiknya kalau kita dapat menguasai ragam-ragam bahasa tersebut dengan baik, agar kita dapat berkomunikasi secara efektif sesuai dengan tempat dan situasi tempat ragam itu digunakan. Namun, penguasaan ragam bahasa baku tampaknya sangat dan lebih penting karena jagkauan penggunaannya lebih luas dan lebih merata. Lagi pula, ragam bahasa baku inilah yang digunakan dalam komunikasi resmi negara.

2.2 Pengertian Bahasa Baku
Dalam Barus, dkk (2014) mengemukakan, istilah bahasa baku dalam bahasa Indonesia atau standard language dalam bahasa Inggris dalam dunia ilmu bahasa atau linguistik, pertama sekali diperkenalkan oleh Vilem Mathesius pada 1926. Ia termasuk pencetus Aliran Praha atau The Prague School. Pada 1930, B. Vanvranek dan Vilem Mathesius merumuskan pengertian bahasa baku itu. Mereka berpengertian bahwa bahasa baku sebagai bentuk bahasa yang telah terkodifikasi, diterima dan difungsikan sebagai model atau acuan oleh masyarakat.

Pengertian bahasa baku di atas diikuti dan diacu oleh pakar bahasa dan pengajaran bahasa baik di barat maupun di Indonesia.Di dalam Dictionary Language and Linguistics, Hartman dan Strok berpengertian bahwa bahasa baku adalah ragam bahasa yang secara sosial lebih digandrungi dan yang sering didasarkan bahasa orang-orang berpendidikan di dalam atau di sekitar pusat kebudayaan atau suatu masyarakat bahasa.

Di dalam Sociolinguistics A Critical Survey of Theory and Aplication, Dittmar berpengertian bahwa bahasa baku adalah ragam bahasa dari suatu masyarakat bahasa yang disahkan sebagai norma keharusan bagi pergaulan sosial atas dasar kepentingan dari pihak-pihak dominan di dalam masyarakat itu. Tindakan pengesahan itu dilakukan melalui pertimbangan-pertimbangan nilai yang bermotivasi sosial politik.

Di dalam Longman Dictonary of Applied Linguistict, Richard, Jhon, dan Heidi berpengertian bahwa bahasa baku adalah ragam bahasa yang berstatus tinggi di dalam suatu masyarakat atau bagsa dan biasa didasarkan penutur asli yang berpendidikan di dalam berbicara dan menulis.

Di dalam Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan, Yus Rusyana berpengertian bahwa bahasa baku atau bahasa standard adalah suatu bahasa yang dikodifikasi, diterima, da dijadikan model oleh masyarakat bahasa yang lebih luas.

Di dalam Tata Bahasa Rujukan Bahasa Indonesia untuk Tingkat Pendidikan Menengah, Gorys Keraf berpengertian bahwa bahasa baku adalah bahasa yang dianggap dan diterima sebagai patokan umum untuk seluruh penutur bahasa itu.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, jelas bahwa bahasa baku itu adalah bentuk bahasa yang telah dikodifikasi atau ditetapkan, diterima atau difungsikan sebagai model oleh masyarakat secara luas. Di dalam pengertian bahasa baku itu terdapat tiga aspek yang saling menyatu, yaitu kodifikasi, keberterimaan, difungsikan sebagai model. Ketiganya dibahas di bawah ini.

Istilah kodifikasi berkait dengan masalah ketentuan atau ketetapan norma kebahasaan. Norma-norma kebahasaan itu berupa pedoman tata bahasa, ejaan, kamus, lafal dan istilah.

Kode kebahasaan sebagai norma itu dikaitkan juga dengan praanggapan bahwa bahasa baku itu berkeseragaman. Keseragaman kode kebahasaan diperlukan bahasa baku agar efisien, karena kaidah atau norma janga berubah setiap saat. Kodifikasi yang demikian diistilahkan oleh Moeliono sebagai kodifikasi bahasa menurut struktur bahasa sebagai sebuah sistem komunikasi.

Kodifiikasi kebahasaan juga dikaitkan dengan masalah bahasa menurut situasi pemakai dan pemakaian bahasa. Kodifikas ini akan menghasilkan ragam bahasa. Perbedaan bahasa itu tampak dalam pemakaian bahasa lisan dant tulis. Dengan demikian kodifikasi kebahasaan bahasa baku akan tampak dalam pemakaian bahasa baku.

Bahasa baku atau bahasa standar itu harus diterima dan berterima bagi masyarakat bahasa. Penerimaan ini sebagai lanjutan dari kodifikasi bahasa baku. Dengan penerimaan bahasa ini bahasa baku mempunyai kekuatan untuk mempersatukan dan menyimbolkan masyarakat bahasa baku.

Bahasa baku itu difungsikan atau dipakai sebagai model atau acuan oleh masyarakat secara luas. Acuan itu dijadikan ukuran yang disepakati secara umum tentang kode bahasa dan kode pemakaian bahasa di dalam situasi tertentu atau pemakaian bahasa tertentu.

Ketiga aspek yang terdapat di dalam konsep bahasa baku itu kodifikasi, keberterimaan, difungsikan atau dipakai sebagai model, berkesatuan utuh dan saling berkait, baik dalam menentukan kode bahasa maupun kode pemakaian bahasa baku. 

Bahasa baku dalam Hasjim (1980) adalah bahasa yang diucapkan atau ditulis berdasarkan aturan-aturan atau norma-norma yang telah disepakati oleh masyarakat pemakainya. Pembakuan bahasa itu menyangkut masalah kosa kata atau peristilahan, dan struktur kalimat. Penggunaan bahasa baku itu haruslah disesuaikan dengan situasi pemakainya.

Ide tentang standarisasi atau pembakuan bahasa itu adalah paralel dan merupakan salah satu segi dari jangkauan yang akan dicapai oleh perencanaan bahasa dan kebijaksanaan bahasa. Sedangkan tujuan akhir dari usaha itu ialah untuk memperoleh alat komunikasi yang sebaik-baiknya dan seefisien-efisiennya di dalam segala kegiatan hidup dan aktivitas sosial pemakainya.

Sebenarnya masalah kebakuan bahasa atau kestandaran bahasa sendiri merupakan hasil dari suatu proses, yang dapat terjadi lewat dua macam cara yaitu: kebakuan yang diperoleh karena proses alami (natural), dan kebakuan yang merupakan akibat atau hasil dari suatu perencanaan (artifisial). Kebakuan alami diperoleh secara alamiah, merupakan akibat dari suatu proses yang terjadi di dalam bahasa sendiri, tanpa pengarahan apapun yang sifatnya disengaja. Kebakuan artifisial ialah kebakuan bahasa yang direncanakan kebakuan sebagai hasil usaha manusia. Kebijaksanaan ini diambil karena adanya asumsi, bahwa betapa pun orang yakin akan adanya aturan yang dialami pada setiap bahasa, pada hal-hal tertentu dan peristiwa-peristiwa tertentu tidak jarang bahasa menunjukkan ketidakteraturannya. 

Baik kebakuan alami maupun kebakuan sebagai hasil perencanaan masing-masing mengandung kebaikan dan kelemahan.kebaikan kebakuan alami terletak pada kealamiahannya. Dengan membiarkan bahasa membakukan dirinya sendiri berarti membiarkan bahasa itu berkembang sesuai dengan sifat hakikinya.Sedangkan kelemahan kebakuan macam ini ialah, tidak adanya ketentuan dan kepastian sampai kapan kebakuan seperti itu dapat diperoleh.

Apa yang diuraikan tentang perencanaan dan kebijaksanaan bahasa di atas, sebagian besar memberi gambaran tentang kebaikan-kebaikan adanya kebakuan bahasa akibat suatu perencanaan. Sedangkan kelemahannya antara lain ialah, kebakuan yang diperoleh dengan cara ini sering kali terasa tidak wajar, setengah dipaksakan dan kadang-kadang kurang dapat diterima. Akibat dari itu semua ialah, tidak jarang kebakuan semacam itu hanya berhenti sampai kepada peraturan saja. (Suhendar. 1994)

2.3 Pengertian Bahasa Nonbaku
Dalam Barus, dkk (2014) mengemukakan, istilah bahasa nonbaku ini terjemahan dari ‘nonstandard langugae’. Istilah bahasa nonstandard ini sering disinonimkan dengan istilah “ragam subbaku”, “bahasa nonstandar”, “ragam tak baku”, “bahasa tidak baku”, “ragam nonstandar”. 

Ricards, Jhon dan Heidi berpengertian bahwa bahasa nonstandard adalah bahasa yang digunakan dalam berbicara dan menulis yang berbeda pelafalan, tata bahasa, dan kosa kata dari bahasa baku dari suatu bahasa sedangkan Crystal berpengertian bahwa bahasa nonbaku adalah bentuk bahasa yang tidak memenuhi norma baku, yang dikelompokkan sebagai subbaku atau non baku.

Suharianto berpengertian bahwa bahasa nonstandard atau bahasa tidak baku adalah salah satu variasi bahasa yang tetap hidup dan berkembang sesuai fungsinya, yaitu dalam pemakaian tidak resmi.

Alwasilah berpengertian bahwa bahasa tidak baku adalah bentuk bahasa yang biasa memakai kata-kata atau ungkapan, struktur kalimat, ejaan dan pengucapan yang tidak biasa dipakai oleh mereka yang tidak berpendidikan.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, jelas bahwa bahasa nonstandard adalah ragam bahasa yang berkode bahasa yag berbeda dengan kode bahasa baku, dan dipergunakan di lingkungan tidak resmi

2.4 Pengertian Bahasa Indonesia Baku dan Nonbaku
Dalam Barus, dkk (2014) mengemukakan , bahasa Indonesia baku adalah salah satu ragam bahasa Indonesia yang bentuk bahasanya telah dikodifikasi, diterima dan difungsikan atau dipakai sebagai model oleh masyarakat Indonesia secara luas.

Bahasa Indonesia nonbaku adalah salah satu ragam bahasa Indonesia yang tidak dikodifikasi, tidak diterima dan tidak difungsikan sebagai model masyarakat Indonesia secara luas, tetapi dipakai oleh masyarakat secara khusus.

2.5 Fungsi Bahasa Indonesia Baku
Dalam Hasan Alwi, dkk (2003) mengemukakan bahasa Indonesia baku mendukung empat fungsi, tiga diantaranya bersifat pelambang atau simbolik, sedangkan yang satu lagi bersift objektif: (1) fungsi pemersatu, (2) fungsi pemberi kekhasan, (3) fungsi pembawa kewibawan, dan (4) fungsi sebagai kerangka acuan.

Bahasa Indonesia bakumemperhubungkan semua penutur berbagai dialek bahasa itu. Dengan demikian bahasa baku mempersatukan mereka menjadi satu masyarakat bahasa dan meningkatkan proses identifikasi penutur orang seorang dengan seluruh masyarakat itu. Bahasa Indonesia ragam tulisan yang di terbitkan di Jakarta selaku pusat pembangunan agaknya dapat diberikan predikat pendukung fungsi pemersatu. Bahkan banyak orang bukan saja tidak sadar akan adanya dialek (geografis) bahasa Indonesia, melainkan menginginkan juga keadaan utopia yang hanya mengenal satu ragam bahasa Indonesia untuk seluruh penutur dari Sabang sampai Merauke.

Kedua, Barus, dkk (2014) bahwa bahasa Indonesia baku berfungsi sebagai penanda kepribadian. Bahasa Indonesia baku merupakn ciri khas yang membedakannya dengan bahasa-bahasa lainnya. Bahasa Indonesia baku memperkuat perasaan kepribadian nasional masyarakat bahasa Indonesia baku. Dengan bahasa Indonesia baku kita menyatakan identitas kita. Bahasa Indonesia baku berbeda dengan bahasa Melayu di Singapura dan Brunai Darussalam. Bahasa Indonesia baku dianggap sudah berbeda dengan bahasa Melayu Riau yang menjadi induknya.

Ketiga, bahasa Indonesia baku berfungsi sebagai penambah wibawa. Pemilikan bahasa Indonesia baku akan membawa prestise. Fungsi pembawa wibawa berkaitan dengan usaha mencapai kesederajatan dengan peradaban lain yang dikagumi melalui pemerolehan bahasa baku. Di samping itu, pemakaian bahasa yang mahir berbahasa Indonesia yang baku “dengan baik dan benar” memperoleh wibawa di mata orang lain. Gengsi juga melekat pada bahasa Indonesia karena ia dipergunakan oleh masyarakat yang berpengaruh yang menambah wibawa pada setiap orang yang mampu menggunakan bahasa Indonesia baku.

Keempat, bahasa Indonesia baku berfungsi sebagai kerangka acuan. bahasa Indonesia baku berfungsi sebagai kerangka acuan bagi pemakainya dengan adanya norma atau kaidah yang dikodifikasi secara jelas. Norma atau kaidah bahasa Indonesia baku itu menjadi tolak ukur pemakaian bahasa Indonesia baku secara benar. Oleh karena itu, penilaian pemakaian bahas Indonesia baku dapat dilakukan. Norma atau kaidah bahasa Indonesia baku juga menjadi acuan umum bagi pemakaian bahasa yang menarik perhatian karena bentuknya yang khas, seperti bahasa ekonomi, bahasa hukum, bahasa sastra, bahasa iklan, bahasa media massa, surat-menyurat resmi, bentuk surat keputusan, undangan, pengumuman, kata-kata sambutan, ceramah, dan pidato.

2.6 Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Negara
Di dalam hubungan dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara, istilah “bahasa resmi” sengaja tidak dipakai didalam makalah ini. Penghindaran istilah “bahasa resmi” itu disebabkan oleh kenyataan bahwa tidak semua bahasa resmi adalah bahasa negara.

Salah satu fungsi bahasa Indonesia di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara adalah pemakaiannya sebagai bahasa resmi kenegaraan. Di dalam hubungan dengan fungsi ini, bahasa Indonesia dipakai di dalam segala upacara dan kegiatan kenegaraan baik secara lisan maupun dalam bentuk tulisan.

Dokumen-dokumen dan keputusan-keputusan serta surat-menyurat yang dikeluarkan oleh pemerintah dan badan-badan kenegaraan lainnya seperti Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditulis dalam bahasa Indonesia. Pidato-pidato, terutama pidato kenegaraan, ditulis dan diucapkan dalam bahasa Indonesia. Hanya di dalam keadaan tertentu, demi kepentingan komunikasi antar bangsa, kadang-kadang pidato resmi ditulis dan diucapkan di dalam bahasa asing, terutama bahasa Inggris.

Untuk melaksanakan fungsinya sebagai bahasa resmi kenegaraan dengan sebaik-baiknya, pemakaian bahasa Indonesi di dalam pelaksanaan administrasi pemerintahan perlu senantiasa dibina dan dikembangkan, penguasaan bahasa Indonesia perlu dijadikan salah satu faktor yang menentukan didalam pengembangan ketenagaan seperti penerimaan karyawan baru, kenaikan pangkat baik sipil maupun militer, dan pemberian tugas-tugas khusus baik di dalam maupun luar negeri.

Akhirnya, di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai alat pengembangan kebudayaan nasional, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Di dalam hubungan ini, bahasa Indonesia adalah satu-satunya alat yang memungkikan kita membina serta mengembangkan kebudayaan nasional sedemikian rupa sehingga memiliki ciri-ciri dan identitasnya sendiri, yang membedakannya dari kebudayaan daerah. Pada waktu yang sama, bahasa Indoesia kita digunakan sebagai alat untuk menyatakan nilai-nilai sosial budaya nasional kita.

2.7 Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional
Fungsi bahasa di dalam hubungan ini adalah nilai pemakaian bahasa yang dirumuskan sebagai tugas pemakaian bahasa itu di dalam kedudukan yang diberikan kepadanya. Yang dimaksud dengan kedudukan bahasa adalah status relatif bahasa sebagai sistem lambing nilai budaya, yang dirumuskan atas dasar nilai sosial yang dihubungkan dengan bahasa yang bersangkutan.

Perumusan fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia diperlukan oleh karena perumusan itu memungkinkan kita mengadakan pembedaan antara fungsi dan kedudukan bahasa Indoesia diperlukan oleh karena perumusan itu memungkinkan kita mengadakan pembedaan antara fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia pada satu pihak serta fungsi dan kedudukan bahasa-bahasa lain, baik bahasa-bhasa daerah yang hidup sebagai unsure kebudayaan kita maupun bahasa-bahasa asing yang dipakai di Indonesia.

Didalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan bangsa, (2) lambang identitas nasional, (3) alat yang memungkinkan penyatuan berbagai suku bangsa dengan latar belakang sosial budaya dan bahasanya masing-masing ke dalam kesatuan kebangsaan Indonesia, dan (4) alat perhubungan antar daerah dan antar budaya (Suhendar. 1994).

2.8 Konteks Pemakaian Bahasa Indonesia Baku
Dalam Barus, dkk (2014) mengemukakan bahasa Indonesia baku dipakai di dalam beberapa konteks. Pertama dalam komunikasi resmi, yaitu dalam surat- menyurat resmi atau dinas, pengumuman-pengumuman yang dikeluarkan oleh instansi resmi, perundang-undangan, penamaan dan peristilahan resmi. Kedua, dalam wacana teknis yaitu, dalam laporan resmi dan dan karangan ilmiah berupa makalah, skripsi, tesis, disertasi, dan laporan hasil penelitian. Ketiga, dalam pembicaraan di depan umum, yaitu ceramah, kuliah dan khotbah. Keempat, dalam pembicaraan dengan orang yang dihormati, yaitu atasan dan bawahan di dalam kantor, siswa dan guru di kelas atau di sekolah di pertemuan-pertemuan resmi, mahasiswa dan dosen di ruang perkuliahan.

Di dalam konteks pertama dan kedua didukung oleh bahasa Indonesia baku tulis. Konteks ketiga dan keempat didukung oleh bahasa Indonesia baku lisan. Di luar konteks itu dipergunakan bahasa Indonesia nonstandard.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Ragam bahasa yang digunakan dalam situasi formal atau situasi resmi, biasanya disebut dengan istilah ragam bahasa baku, baik dalam bidang fonologi, morfologi, sintaksis, maupun kosa kata, biasanya digunakan secara konsisten sedangkan ragam bahasa yang digunkan dalam situasi informal atau situasi tidak resmi, biasanya disebut dengan istilah ragam non baku atau nonstandard. Dalam ragam bahasa non baku ini, kaidah-kaidah tata bahasa biasanya tidak digunakan secara konsisten, seringkali dilanggar.Bahasa Indonesia baku adalah salah satu ragam bahasa Indonesia yang bentuk bahasanya telah dikodifikasi, diterima dan difungsikan atau dipakai sebagai model oleh masyarakat Indonesia secara luas sedangkan bahasa Indonesia nonbaku adalah salah satu ragam bahasa Indonesia yang tidak dikodifikasi, tidak diterima dan tidak difungsikan sebagai model masyarakat Indonesia secara luas, tetapi dipakai oleh masyarakat secara khusus.

Bahasa Indonesia baku mempunyai empat fungsi, tiga diantaranya bersifat pelambang atau simbolik, sedangkan yang satu lagi bersift objektif: (1) fungsi pemersatu, (2) fungsi pemberi kekhasan, (3) fungsi pembawa kewibawan, dan (4) fungsi sebagai kerangka acuan. Konteks penggunaan bahasa Indonesia baku lazim digunakan dalam komunikasi resmi, wacana teknis, pembicaraan di depan umum dan pembicaraan dengan orang yang dihormati. 

3.2 Saran
Sebagai bentuk kebanggaan kita kepada bahasa Indonesia kiranya bahasa baku dapat diterapkan dalam komunikasi resmi, wacana teknis, pembicaraan di depan umum dan pembicaraan dengan orang yang dihormati. 

DAFTAR PUSTAKA

  1. Alwi, Hasan, dkk . 2003.Tata Bahasa Buku Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka
  2. Barus, Sanggup, dkk . 2014. Pendidikan Bahasa Indonesia. Medan: Unimed Press.
  3. Chaer, Abdul. 2006. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia.Jakarta : PT. Asdi Mahasatya.
  4. Suhendar, Pien dan Supinah. 1994. Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia. Bandung :CV. Pionir Jaya
  5. Hasjim, Nafron dan Nurbaiti Djamalus. 1980. Buku Pelajaran Bahasa Indonesia.Jakarta : Sinar Hudaya

Author:

Facebook Comment