BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Psikolinguistik berasal
dari dua ilmu yang berbeda yang masing-masing berdiri sendiri, yakni psikologi
dan linguistik. Psikologi mengkaji tentang perilaku atau proses, sedangkan
linguistik mengkaji mengenai struktur bahasa. Dari pengertian di atas, maka
psikolinguistik adalah cabang ilmu yang menelaah bahasa dilihat dari performansi
atau pelaksanaan/penggunaan sehingga melibatkan diri seseorang dalam penggunaan
bahasanya.
Dalam prakteknya
psikolinguistik mencoba menerapkan bagaimana penggunaan bahasa seseorang.
Penggunaan bahasa oleh seseorang dapat terlihat ketika orang tersebut melaksanakan
tindak ujaran. Tindak ujaran merupakan bagian dari psikolinguistik yang berguna
untuk mengekspresikan makna bahasa dari suatu perkataan untuk tujuan tertentu.
Pelaksanaan tindak ujaran ini biasanya berbentuk satu kalimat untuk tujuan
bertanya, menyatakan, dan sebagainya. Untuk lebih jelas mengenai pelaksanaan
tindak ujaran ini, maka dalam makalah ini akan dibahas secara terperinci.
B.
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang di
atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1. Apa
pengertian tindak ujaran?
2. Apa
tujuan tindak ujaran?
3. Bagaimana
pelaksanaan tindak ujaran?
4. Bagaimana
pelaksanaan ujaran tak langsung?
C.
Tujuan
Penulisan
Sejalan
dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk
mengetahui pengertian tindak ujaran.
2. Untuk
mengetahui tujuan tindak ujaran.
3. Untuk
mengetahui pelaksanaan tindak ujaran.
4. Untuk
Mengetahui pelaksanaan ujaran tak langsung.
D.
Manfaat
Penulisan
Manfaat penulisan makalah
ini, yakni :
1.
Bagi penulis, makalah ini dapat menambah
pengalaman dan pengetahuan penulis mengenai pelaksanaan tindak ujaran.
2.
Bagi pembaca, makalah ini bermanfaat sebagai
sumber bacaan mengenai pelaksanaan tindak ujaran.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Tindak Ujaran
Tindak
ujaran merupakan satuan terkecil dari bahasa untuk mengespresikan makna, suatu
perkataan yang mengekspresikan suatu tujuan. Biasanya tindak ujaran berbentuk
satu kalimat, tetapi dapat pula berbentuk kata atau anak kalimat. Ketika
seseorang berbicara, dia melakukan suatu tindakan, tindakan tersebut dapat
berupa menyatakan, bertanya, memerintah, menjanjikan atau berbagai tindakan
lainnya. Dengan demikian ujaran dianggap sebagai bentuk tindakan atau perilaku
yang bertujuan.
Salah satu
karakteristik terpenting dari tindak
ujaran adalan bahwa pendengar memahami apa yang menjadi tujuan pembicara. Teori
ini tidak mementingkan acuan seseorang terhadap symbol-simbol untuk
menghasilkan makna, tetapi lebih kepada tujuan dari suatu tindakan sebagai
suatu kesatuan. Jika kita membuat sumpah maka kita mengomunikasikan tujuan
mengenai suatu yang akan kita lakukan dikemudian hari, tetapi yang paling
penting adalah kita mengharapkan orang yang kita ajak berkomunikasi menyadari
apa yang telah kita katakan mengenai tujuan kita.
B. Tujuan Tindak Ujaran
Dalam
menghasilkan ujaran, manusia pastilah mempunyai tujuan, bahkan waktu kita
sedang ngobrol dan berjalan-jalan ke sana kemari sekalipun. Tujuan tadi berupa
pemberian informasi kepada pendengar. Kalau dalam suatu wacana dialog,
misalnya, kita temukan kalimat
(1) Bu
Dahlia sekarang berada di Bali bersama suaminya
Maka kita sebagai pendengar akan menangkap makna
ujaran tersebut tetapi kita tidak akan berbuat apa-apa, seperti menutup pintu
atau membuka jendela. Yang akan kita lakukan adalah menangkap makna tersebut
dan kemudian menyimpannya dalam memori kita. Suatu saat mungkin informasi ini
akan diperlukan apabila ada orang yang bertanya Di mana Bu Dahlia sekarang?,
“Bersama siapa Bu Dahlia ke Bali?”
Kalimat (1) juga mengandung
perpaduan satu proposisi dengan proposisi yang lain, yakni adanya argument Bu Dahlia dan prediksi berada
di Bali dan keterangan waktu sekarang.
Di samping itu orang mengucapkan kalimat (1) juga mempunyai asumsi-asumsi
tertentu mengenai pengetahuan orang yang diajak bicara. Pembicara pasti
berasumsi, misalnya, bahwa pendengar tahu siapa Bu Dahlia itu. Yang tidak dia ketahui adalah apa yang terjadi
padanya, yakni, keberadaan dia di Bali.
Dengan demikian, suatu ujaran itu
mengandung di dalamnya tiga unsure: (a) tindak ujaran (speech acts), (b) muatan proposisi (propositional content), dan muatan tematik (thematic content).
B.1.
Tindak Ujaran (Speech Acts)
Konsep mengenai tindak ujaran mulai dipikirkan oleh gurubesar Universitas
Oxford yang bernama John, L. Austin dalam ceramahnya di Universitas Harvard
pada tahun 1955. Ceramah tersebut kemudian diterbitkan menjadi buku yang
berjudul How to Do Things with Words pada tahun 1962 setelah dia
meninggal. Karya dia kemudian dilanjutkan oleh salah satu mahasiswa Amerikanya,
J. R. Searle, yang kemudian menerbitkan buku Speech Acts (1969) (Mey 1998:
1051; Mey 2002: 92).
Searle membagi tindak ujaran ke dalam lima kategori (Searle 1969: 34; Mey
2002: 120): (a) representative, (b) direktif, (c) komisif, (d) ekspresif, (e) deklarasi.
1.
Representatif
Representatif adalah tindak ujaran yang berupa pernyataan dan memiliki
nilai kebenaran. Representatif berupa kejadian yang benar-benar terjadi.
Kebenaran tersebut berada dari segi pembicara.
Contoh : “Presiden Suharto adalah Presiden Republik Indonesia yang paling
lama meminpin”.
2.
Direktif
Direktif adalah tindak ujaran yang fokus pada pendengar. Tindak ujaran ini
memiliki tujuan agar pendengar melakukan sesuatu. Direktif memiliki
bagian-bagian ujaran.
1.
Pertanyaan.
Pertanyaan adalah perbuatan bertanya
dapat juga diartikan sebagai sesuatu yang ditanyakan.
Contoh :
“Apa kita harus berpisah di sini?”
Contoh tersebut memiliki efek agar
pendengar melakukan sesuatu yaitu tidak berpisah di tempat tersebut.
2.
Permintaan halus
Permintaan adalah perbuatan meminta.
Permintaan halus ini cenderung tidak memaksa.
Contoh :
“Kalau ke UNIMED, kakak mampir ke kos ade yang di
Jl. Gurilla.”
Secara tidak
langsung, permintaan tersebut menginginkan pendengar untuk mengunjunginya
tetapi tidak memaksa.
3.
Sedikit menyuruh
Contoh : “Kamu telepon sekarang saja.”
Dapat diketahui bahwa contoh
tersebut menyuruh untuk telepon kepada pendengar.
4.
Langsung dan kasar
Tindak ujaran yang dimaksud adalah kasar dan memaksa.
Contoh : “Pergi!.”
3.
Komisif
Komisif adalah tindak ujaran yang berupa perintah untuk pembicara sendiri.
Biasanya tindak ujaran ini berupa sumpah, janji, dan tekad. Contoh :
“Saya bersumpah akan menjadikanmu satu-satunya gadis yang
kucinta selama sisa hidupku.”
Dari contoh tersebut dapat diketahui bahwa pembicara memerintah dirinya
sendiri. Komisif bertolak belakang dengan direktif. Jika direktif fokus pada
pendengar, maka komisif fokus pada pembicara.
4.
Ekspresif
Ekspresif adalah tindak ujaran yang
menyatakan keadaan psikologis tentang sesuatu. Maksudnya adalah pembicara
mengutarakan perasaannya tentang sesuatu hal. Ungkapan tersebut dapat berupa
terimakasih, selamat, bela sungkawa, dll.
Contoh :
“Terimakasih atas kehadirannya.”
Contoh tersebut merupakan ungkapan psikologis kepada pendengar karena telah
datang dalam acaranya. Ekspresif juga dapat berupa umpatan. Umpatan adalah
perkataan yang keji dan diucapkan karena marah.
Contoh :
“huh, memang tak ada lagi hati nuranimu,kau tinggalkan aku sendiri.
Contoh tersebut merupakan ungkapan psikologis kepada pendengar karena telah
meninggalkannya sendirian.
5.
Deklarasi
Deklarasi adalah tindak ujaran yang
memunculkan keadaan baru. Dalam tindak ujaran deklarasi, terdapat sesuatu hal
yang penting. Hal terpenting tersebut adalah wewenang.
Contoh :
“Dengan ini
kami memberhentikan saudara secara tidak hormat.”
Dari contoh tersebut, pasti yang menyatakan deklarasi adalah orang yang
memiliki wewenang, yaitu wewenang dari atasan terhadap bawahannya.
B.2. Muatan
Proposisi (Propositional Content)
Muatan proposisi adalah pendengar
menggabungkan proposisi satu dengan proposisi yang lain (Dardjowidjojo, 2014:
96). Makin lama makin meninggi sehingga terbentuklah suatu pengertian yang
menyeluruh dari proposisi-proposisi tersebut. Hasil penggabungan tersebut akan
menghasilkan satu pengertian yang utuh.
Contoh :
“Victoria
membenci laki-laki yang tidak rapi.”
Proposisi yang terdapat dalam
kalimat tersebut adalah argumen Victoria dan laki-laki yang tidak rapi, serta predikasi membenci.
Penggabungan antara kedua argumen dan predikasi tersebut akan menghasilkan satu
kalimat utuh.
B.3.
Muatan Tematik (Thematic Content)
Tematik adalah sesuatu yang
mengutamakan pengurutan. Muatan tematik adalah merujuk pada informasi lama (old atau given information) dan informasi baru (New Information) (Dardjowidjojo, 2014:
97). Informasi lama adalah informasi yang sepaham antara pembicara dan
pendengar. Pemahaman tersebut masih bersifat umum. Begitu pula sebaliknya,
informasi baru adalah informasi yang tidak diketahui oleh pendengar. Dengan
kata lain, informasi baru merupakan informasi khusus. Sesuai dengan pengertian
tematik yang telah dijelaskan di awal, prinsip tematik mengutamakan pengurutan.
Contoh :
“ Apa Aisyah yang menonton TV di
ruang tamu?”
Pembicara yang mengucapkan kalimat di atas
pastilah berandaian bahwa ada orang yang menonton TV di ruang tamu. Dia juga
berandaian bahwa pendengar memiliki pengetahuan seperti itu. Andaian seperti
inilah yang dinamakan informasi lama, yakni, informasi yang diandaikan oleh
pembicara berada pada kesadaran pendengar pada saat kalimat itu diucapkan. Yang
tidak diketahui adalah apakah yang menonton TV di ruang tamu itu Aisyah?.inilah
informasi baru yang disampaikan oleh pembicara, dan karena kalimat ini berupa
pertanyaan maka memerlukan tanggapan dari pendengar.
Dari contoh tersebut dapat kita
rinci hal-hal berikut:
1. Dari segi
tindak ujaran, Apa Aisyah yang menonton TV di ruang tamu?
Adalah suatu
kalimat direktif, yaitu kalimat yang memerlukan suatu tindakan yang berupa
jawaban verbal.
2. Dari segi
muatan proposisi, kalimat ini mengandung dua argument dan predikasi.
3. Dari segi
muatan tematik, kalimat ini mengandung informasi lama, (yaitu adanya seseorang
yang menonton TV di ruang tamu) dan informasi baru (yaitu, Aisyah yang menonton
TV di ruang tamu itu).
C.
Pelaksanaan
Tindak Ujaran
Pelaksanaan
ujaran dibagi menjadi beberapa jenis, diantaranya:
C.1
Pelaksanaan Tindak Ujaran Representatif
Tindak ujaran representatif merupakan pernyataan mengenai sesuatu yang
benar-benar terjadi. Dari pengertian tersebut, yang perlu dilakukan adalah
menemukan muatan proposisi dan muatan tematik (Dardjowidjojo, 2014: 99). Muatan
proposisi yang dimaksud adalah mengenai argumen dan predikasi, pelaku dan
pasien (korban), atau modifikasi.
Contoh :
“Pak Joko senang menonton pertandingan sepakbola.”
Pertama menentukan kalimat tersebut termasuk dalam tindak
ujaran apa. Kedua menemukan muatan proposisinya. Ketiga menemukan
muatan tematiknya. Pada contoh tersebut, termasuk dalam tindak ujaran
representatif karena berupa pernyataan yang tidak memerlukan jawaban, muatan
proposisinya adalah Pak Joko dan pertandingan sepakbola, muatan tematiknya
adalah orang yang menonton pertandingan sepakbola termasuk informasi lama dan Pak
Joko termasuk informasi baru. Jika dituliskan dalam skema, akan menjadi:
a.
Informasi
lama: X menonton pertandingan sepakbola.
b. Informasi
baru: X = Pak Joko
C.2 Tindak
Ujaran Direktif
Pada dasarnya, tindak ujaran direktif fokus pada pendengar. Menurut
Dardjowidjojo (2014: 101) menyatakan pelaksanaan tindak ujaran direktif dibagi
menjadi tiga kelompok.
C.2.1
Pelaksanaan untuk Pertanyaan Ya/Tidak
Pertanyaan ya/ tidak sebenarnya sama dengan kalimat representatif. Hal
tersebut disebabkan pertanyaan ya/ tidak juga memiliki informasi sama.
Contoh :
pada kalimat “Pak Joko senang menonton pertandingan sepakbola” dengan “Apa Pak
Joko senang menonton pertandingan sepakbola?” adalah dua kalimat yang sama
informasinya yaitu menonton pertandingan sepakbola. Namun, jika diteliti lebih
dalam lagi, kalimat kedua membutuhan proses untuk berpikir. Dari proses
berpikir tersebut, akan menghasilkan jawaban ya atau tidak.
C.2.2 Pelaksanaan untuk Pertanyaan Mana/apa
Pertanyaan mana/ apa adalah perwakilan dari berbagai pertanyaan (Dardjowidjojo,
2014: 103). Pertanyaan “mana” dapat meliputi di mana, ke mana, dan
bagaimana. Sedangkan pertanyaan “apa” dapat meliputi siapa, berapa, kenapa,
mengapa. Pertanyaan ini mencari informasi tertentu (Dardjowidjojo, 2014: 103).
Dapat disimpulkan bahwa pertanyaan mana/ apa bukan menjawab ya/ tidak,
melainkan informasi yang bersangkutan. Contoh:
“Berapa
jumlah roda angkot?”. Hal pertama yang harus dilakukan adalah merepresentasikan
informasi lama dari kalimat tersebut, X adalah jumlah warna pelangi. Kemudian
mencermati informasi demi informasi yang telah tersimpan dalam memori kita.
Apabila cermatan tersebut cocok dengan apa yang dibutuhkan dalam kalimat
tersebut, maka hasil pencarian tersebut adalah jawaban dari kalimat itu. Bila
memori memang menyimpan informasi tersebut, maka jawabannya adalah empat(dua di
depan dan dua dibelakang). Jika memori tidak menyimpan informasi tersebut, maka
yang terjadi adalah jawaban tidak tahu.
Pertanyaan mana/ apa juga dipengaruhi oleh faktor eksternal (Dardjowidjojo,
2014: 104). Eksternal adalah menyangkut bagian luar. Misalnya pada pertanyaan
“Di mana letak Universitas Negeri Medan?”. Jika pembicara berhadapan dengan orang
luar Medan atau muncul di luar area Medan, maka jawaban yang akan muncul adalah
Universitas Negeri Medan. Namun, jika pembicara berhadapan dengan orang
Medan dan muncul di kota Medan, maka jawaban yang akan muncul adalah Universitas
Negeri Medan di Jalan Williem Iskandar.
Pertanyaan mana/ apa juga dipengaruhi oleh mental. Pada dasarnya, manusia
memiliki banyak jawaban dan hal tersebut termasuk hal yang biasa. Jawaban
mental juga dipengaruhi oleh faktor internal (dari diri sendiri) dan faktor
eksternal (dari luar, lingkungan, dll).
Contoh: pertanyaan “Apa kamu besok masuk kuliah?”. Jika pendengar mendapat
faktor eksternal seperti ada urusan lain dengan keluarganya, maka jawaban yang
akan muncul adalah “tidak, besok ada keperluan keluarga.” Namun, jika pendengar
mendapat faktor internal seperti sifatnya memang tidak mau tahu, maka jawaban
yang muncul adalah “penting?”.
C.2.3 Pelaksanaan untuk Kalimat Perintah
Kalimat perintah adalah tindak ujaran direktif langsung (Dardjowidjojo,
2014: 105). Dapat disimpulkan bahwa kalimat perintah tidak membutuhkan jawaban,
melainkan perbuatan untuk melakukan sesuatu. Misalnya pada kalimat “Jemput aku
sekarang.” Dari kalimat tersebut, yang dibutuhkan bukan jawaban tetapi
perbuatan untuk menjemput pembicara. Dari kalimat tersebut pula, hal pertama
yang dilakukan adalah menentukan tujuan. Jelas tujuan kalimat tersebut adalah
untuk menjemput pembicara saat itu. Dalam hal ini, posisi pendengar sedang
tidak menjemput pembicara. Langkah kedua adalah mengamati keadaan saat ini.
Keadaan saat itu adalah tidak ada komunikasi dua arah. Dalam hal ini, yang
perlu dipertimbangkan adalah konsep. Berkaitan dengan tujuan, konsep juga
sangat diperlukan. Permanen dan kebutuhan sangat memengaruhi. Misalnya contoh
yang telah disebutkan adalah sesuai kebutuhan, karena pembicara membutuhkan
pendengar untuk menjemputnya.
C.3 Tindak Ujaran Komisif
Tindak ujaran komisif yang telah dijelaskan sebelumnya adalah tindak ujaran
yang fokus pada pembicara yang berupa sumpah, janji, dan tekad. Tindak ujaran
komisif hanya berupa penyimpanan informasi pada memori (Dardjowidjojo, 2014:
106).
Contoh :
“Saya berjanji untuk tidak membuat ibu menangis mulai hari ini.” Dari
contoh tersebut, tidak memerlukan perbuatan ataupun tanggapan dari pendengar,
melainkan hanya menyimpannya di memori pembicara. Hal tersebut karena komisif
berupa sumpah, janji, tekad untuk dirinya sendiri.
C.4 Tindak Ujaran Ekspresif
Tindak ujaran ekspresif yang telah dijelaskan sebelumnya adalah tindak
ujaran yang menyatakan keadaan psikologis seseorang. Dari pengertian tersebut
dapat disimpulkan bahwa pelaksanaannya bukan berupa perbuatan. Pendengar hanya
diam (Dardjowidjojo, 2014: 107). Namun, pendengar tidak hanya diam, melainkan
dapat merespon dengan ucapan terimakasih, atau ungkapan lain.
Contoh:
“Saya turut berbela sungkawa.” Pada kalimat tersebut, pendengar memiliki
dua pilihan, antara lain 1) diam dan menyimpan maknanya, 2) merespon.
C.5 Tindak Ujaran Deklarasi
Tindak ujaran deklarasi merupakan tindak ujaran yang menimbulkan kejadian
baru. Faktor terjadinya tindak ujaran ini adalah wewenang. Tindak ujaran ini
memerlukan syarat kelayakan (Dardjowidjojo, 2014: 107). Jelas bahwa tindak
ujaran ini harus layak karena yang melakukan tindak ujaran deklarasi adalah
orang yang memang memiliki wewenang untuk menimbulkan kejadian baru.
Contoh :
“Saya akan menikahkan kalian sebagai suami-istri hari ini.” Kalimat
tersebut merupakan tindak ujaran deklarasi karena pembicara memiliki wewenang
untuk menikahkan. Jika pembicara tidak memiliki wewenang, maka tindak ujaran
tersebut bukan deklarasi. Syarat wewenang dan kelayakan sangat dipentingkan
dalam tindak ujaran ini.
D.
Pelaksanaan
Ujaran Tak-Langsung
Menurut Dardjowidjojo dalam bukunya
yang berjudul Psikolinguistik (2014: 108) menyatakan bahwa pelaksanaan
ujaran tak-langsung merupakan transfer dari makna literal ke makna tak
langsung. Menurut penulis, ujaran tak langsung memiliki informasi implisit atau
tidak tampak. Penulis mengambil kesimpulan tersebut sesuai dengan contoh ujaran
tak-langsung.
Contoh :
“Sudah berapa kali anda terlambat
dalam seminggu ?” dari contoh tersebut secara tidak langsung pembicara marah
kepada pendengar. Dalam hal ini, pendengar tidak akan merespon dengan jawaban “5
kali” dan lain-lain, melainkan pendengar mengerti maksud dari tindak ujaran
tersebut.
D. 1.
Prinsip
Kooperatif
Prinsip kooperatif ternyata sangat membantu peran ujaran tak-langsung. Hal
ini sesuai dengan pendapat Dardjowidjojo (2014: 108) yang menyatakan bahwa
prinsip kooperatif sangat membantu pelaksanaan ujaran tak-langsung. Prinsip
Kooperatif (Cooperative Principle) pertama kali dicetuskan oleh filosof
H. Paul Grice pada tahun 1967 (Dardjowidjojo, 2014: 108). Prinsip kooperatif
adalah tidak selalu rinci dan eksplisit. Dari pernyataan tersebut, penulis
menyimpulkan bahwa prinsip kooperatif kadang bersifat implisit dan tidak rinci.
Sesuai dengan contoh pada ujaran tak-langsung. Di dalam prinsip kooperatif,
terdapat landasan-landasan yang disebut maksim. Menurut Grice dalam buku
Dardjowidjojo yang berjudul Psikolinguistik membagi maksim tersebut
menjadi empat maksim.
a.
Maksim
Kuantitas
Menurut
penulis, maksim kuantitas berprinsip bahwa informasi harus informatif sesuai
keperluan. Pendapat dari penulis tersebut dibuktikan dengan pendapat
Dardjowidjojo (2014: 109) yang menyatakan bahwa maksim kuantitas adalah
informasi yang diberikan harus seinformatif mungkin, tidak lebih dan tidak
kurang.
Contoh :
“Saat upacara tadi, Kepala Sekolah mengajak
istrinya untuk ikut serta” bandingkan dengan kalimat “Tadi, Kepala Sekolah
mengajak perempuan” dan “Saat upacara tadi tanggal 21 Februari 2016, Kepala
Sekolah yang bergelar Magister Pendidikan di Universitas Negeri Medan mengajak
istrinya yang bernama Siti Aisyah untuk ikut serta”, maka dapat dibedakan mana
yang memenuhi prinsip kuantitas, mana yang tidak. Jika diteliti, contoh pertama
memenuhi maksim kuantitas karena informasi yang didapat sesuai dengan
keperluan, tidak terlalu kurang seperti contoh kedua, dan tidak terlalu
berlebihan seperti contoh ketiga.
b.
Maksim
Kualitas
Jika maksim
kuantitas fokus pada informasi sesuai kebutuhan, berbeda dengan maksim kualitas
yang fokus pada informasi sebenarnya (sesuai kenyataan). Hal ini bergantung
pada pembicara mengetahui yang sebenarnya atas ujarannya (Dadjowidjojo, 2014:
110).
Contoh :
“Ummi sekarang semester dua Program
Pascasarjana di UNIMED”. maksim tersebut dapat dikatakan maksim kualitas jika
pembicara mengetahui benar bahwa Ummi sekarang semester dua Program
Pascasarjana di UNIMED. Namun, jika pembicara tidak mengetahui, maka kalimat
tersebut tidak sah sebagai maksim kualitas.
c.
Maksim
Hubungan
Maksim
hubungan adalah maksim yang memberikan informasi yang relevan/ terkait pada
tujuan percakapan (Dardjowidjojo, 2014: 110). Sama halnya dengan maksim
kualitas, maksim hubungan tidak membutuhkan informasi yang kurang atau
berlebihan, terpenting adalah tujuan percakapan itu sampai.
Contoh :
“Ummi
sekarang semester dua Program Pascasarjana di UNIMED”, jika pendengar tidak
mengetahui siapa Ummi dan kalimat tersebut sangat kurang yang nantinya tujuan
dari percakapan tidak sampai, maka kalimat yang benar adalah “Ummi, adiknya Fia,
semester dua Program Pascasarjana di UNIMED.” Contoh lain kalimat yang
berlebihan adalah “Di rumah, mobilku merk Panther tahun 1999 yang
bernomor polisi N 1662 QV”, jika diteliti, maka kalimat tersebut sangat berlebihan,
dengan bukti penyebutan tahun dan nomor polisi yang sebenarnya tidak dibutuhkan
oleh pendengar, maka kalimat yang benar adalah “Di rumah, mobilku merk Panther.”
d.
Maksim Cara
Menurut
Dardjowidjojo (2014: 111) menyatakan bahwa maksim cara harus mengungkapkan
informasi secara jelas, tanpa ambigu, dan urut. Dari pendpaat tersebut, penulis
menyimpulkan bahwa maksim cara dari segi informasi harus sangat jelas. kata
“jelas” untuk suatu informasi ditinjau dari segi ambiguitas atau maksudnya
rancu, serta dari segi kalimat yang urut dan tidak kacau.
D.1 Pelaksanaan
Ujaran dan Prinsipel Kooperatif
Di atas, telah dijelaskan bahwa prinsip kooperatif
adalah sesuatu yang tidak selalu rinci dan eksplisit. Jika dikaitkan dengan
pelaksanaan ujaran, maka prinsipel kooperatif adalah dalam berbahasa, orang
tidak selalu menyatakan apa yang dimaksud secara rinci dan eksplisit (Dardjowidjojo,
2014: 111). Jadi kesimpulannya adalah pelaksanaan ujaran berkaitan dengan
berbahasa menyatakan informasi, sedangkan prinsip kooperatif berkaitan dengan
sesuatu yang tidak selalu rinci dan eksplisit, maka pengertian baru yang muncul
adalah berbahasa untuk menyatakan sesuatu tidak selalu rinci dan eksplisit.
Contoh: pada percakapan berikut ini.
A: Tadi pagi saya melihat Bu Tuty bersama laki-laki
B: Apa tidak takut ketahuan suaminya?
A: Ya, tidaklah, ‘kan laki-laki itu suaminya
Dari percakapan di atas, maksim yang
digunakan adalah maksim hubungan. Sesuai dengan apa yang dijelaskan mengenai
maksim hubungan yang mementingkan informasi relevan guna mencapai tujuan
percakapan. Walaupun hanya satu kata untuk menjawab pertanyaan dari B, yang
terpenting adalah si A mengerti apa yang dimaksud si B dengan jawabannya, dan
percakapan tersebut dapat mencapai tujuan.
Contoh lain untuk berbahasa menyatakan suatu informasi yang implisit ada dengan
melanggar maksim kualitas. Sesuai yang telah dijelaskan sebelumnya, maksim
kualitas adalah memberikan informasi sesuai dengan kebutuhan. Misalnya pada
percakapan berikut ini.
A: Bagaimana rasanya?
B: Bulat dan merah
Dari percakapan tersebut, jawaban dari B melanggar
maksim kualitas karena yang ditanyakan adalah rasa yang berkaitan dengan alat
indra lidah sebagai perasa. Namun, B menjawab dari segi yang lain. daripada B
menjawab hal yang negatif, lebih baik menjawab segi lain yang positif dan
jawaban tersebut tidak sesuai kebutuhan.
Langkah-langkah dalam pelaksanaan ujaran tak-langsung adalah dimulai dari
mencari tahu struktur pelaksanaan tersebut termasuk dalam ujaran langsung atau
tidak langsung, kemudian mencari maknanya (Dardjowidjojo, 2014: 114). Dari
kutipan tersebut, dapat disimpukan bahwa langkah pertama adalah
mengetahui struktur, langkah kedua adalah mencari makna dari ujaran
tersebut.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari paparan materi di atas, penulis menyimpulkan bahwa tindak ujaran
berfungsi sebagai komunikasi dan penyampai pesan kepada lawan (pendengar).
Dalam tindak ujaran, terdapat pembagian ujaran. Searle membagi tindak ujaran
ini menjadi lima bagian, antara lain: 1) Komisif, 2) Representatif, 3)
Direktif, 4) Ekspresif, 5) Deklaratif. Antara pendapat Austin dan Searle
memiliki kesinambungan. Pendapat Austin yang menyatakan pelaku sesuai dengan
pendapat Searle yang menyatakan komisif.. Jika terdapat ujaran langsung, tentu
ada pula ujaran tak-langsung. Ujaran tak langsung adalah informasinya tersirat
(tidak tampak).
Ujaran tak lansgung memiliki prinsip yaitu prinsip kooperatif yang
menyatakan bahwa tidak selalu informasi tersebut rinci dan eksplisit, di dalam
prinsip kooperatif terdapat beberapa maksim, yaitu kuantitas, kualitas,
hubunga, dan cara. Pelaksanaan prinsip kooperatif dan dikatikan dengan ujaran
adalah dalam berbahasa, manusia tidak selalu menyampaikan informasi secara
rinci dan eksplisit (jelas). dalam pelaksanaannya, prinsip ini dapat berupa
ejekan dan ambiguitas.
DAFTAR PUSTAKA
Dardjowidjojo, W. 2014. Psikolinguistik: Pengantar
Pemahaman Bahasa Indonesia. Jakarta: Yayasan Putra Obor Indonesia.