Makalah | Analisis Puisi Dengan Pendekatan Semiotik

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG
Sastra adalah kegiatan kreatif manusia yang dijelmakan dalam medium bahasa. Membicarakan puisi berarti membicarakan kebahasaan puisi. Puisi sebagai salah satu karya sastra dapat dianalisis dari bermacam-macam aspeknya. Puisi adalah bagian dari karya sastra. Membicarakan puisi berarti membicarakan bahasa dalam puisi. Puisi merupakan karya estetis yang memanfaatkan sarana bahasa yang khas Suminto (dalam Diah Eka, 2016: 01). Setiap pengarang menulis puisi berdasarkan ekspresi perasaannya sehingga bahasa yang digunakan bisa dimaknai berbeda. Setiap puisi yang dibuat oleh penyairtentu memiliki makna dan arti di dalamnya yang tidak diketahui secara implisit. Puisi adalah bentuk kesusastraan yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dengan menggunakan bahasa pilihan. Puisi itu mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan dan merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama. 

Apresiasi puisi tidak mungkin hanya terpaut pada kajian intrinsik semata tetapi harus mencakup pada keseluruhan unsur tanda (bentuk), isi, dan konteks, yang dapat membawa pembaca pada pemahaman secara menyeluruh tentang puisi itu menjadi hal yang sangat penting.

Sastra adalah kegiatan kreatif manusia yang dijelmakan dalam medium bahasa. Membicarakan puisi berarti membicarakan kebahasaan puisi. Puisi sebagai salah satu karya sastra dapat dianalisis dari bermacam-macam aspeknya. Analisis menggunakan pendekatan semiotik dengan tujuan memahami makna yang terkandung dalam puisi. Menganalisis puisi adalah usaha menangkap dan memberi makna pada teks puisi. Sastra biasa diartikan sebagai teks dengan bahasa yang estetik dan isi yang baik. Bahasa yang estetik artinya bisa menimbulkan kesan dan menghibur pembacanya. Isi yang baik artinya bermanfaat yang berarti mengandung nilai moral.

Analisis menggunakan pendekatan semiotik dengan tujuan memahami makna yang terkandung dalam puisi. Menganalisis puisi adalah usaha menangkap dan memberi makna pada teks puisi. Sastra biasa diartikan sebagai teks dengan bahasa yang estetik dan isi yang baik. Bahasa yang estetik artinya bisa menimbulkan kesan dan menghibur pembacanya. Isi yang baik artinya bermanfaat yang berarti mengandung nilai moral.

1.2. RUMUSAN MASALAH
  • Bagaimana yang dimaksud dengan kajian puisi dengan pendekatan semiotika?
  • Apa yang dimaksud dengan tanda dalam kajian semiotik?
  • Apa perbedaan pendekatan semiotik dan non semiotik?
1.3. TUJUAN 
  • Untuk mengetahui kajian semiotik dalam puisi
  • Untuk mengenal berbagai tanda (kode) dalam kajian semiotik.
  • Untuk mengetahui perbedaan kajian semiotik dan nonsemiotik. 

BAB II
PEMBAHASAN


2.1. HAKIKAT KAJIAN SEMIOTIKA DALAM PUISI
Sebuah puisi seperti juga karya- karya sastra lainnya merupakan rekaman semua sisi dan pranata kehidupan manusia. Puisi merupakan tanda yaitu symbol- symbol bahasa yang ditata sedemikian rupa. Namun demikian, tanda dalam puisi tidak berarti sama dan sebangun dengan tanda dalam karya- karya lain seperti prosa dan karya ilmiah. Dalam keunikannya tanda dalam puisi memuat sejumlah makna (tersurat, tersorot, dan tersirat), sejumlah rasa, imaginasi, sensasi, dan lainnya (Ambarita, 2009: 132).

Di samping tanda, puisi juga ditopang oleh sejumlah konteks (situasi, budaya, dan ideology). Puisi tidak ditulis dalam kekosongan budaya tetapi lahir dalam latar belakang sejarah (sastra) yang panjang dan dalam latar belakang social yang kompleks. Jika symbol- symbol dalam puisi dihubungkan konteks yang melatarbelakanginya, lahirlah makna puisi. Selanjutnya, bahasa yang fungsional dalam konteks itu akan membentuk sebuah wacana yaitu wacana puisi. Bahasa, makna (arti), dan konteks yang membangun puisi itu membentuk sebuah system yaitu system semiotik. 

Pendekatan sastra yaitu puisi dengan mengambil aspek tanda (struktur), arti, dan konteks sebagai sudut pandangnya, dalam sastra dikenal sebagai pendekatan semiotik. Pendekatan ini dilandasi oleh pemikuran bahwa sisi kehidupan manusia dianggap sebagai system tanda (Junus, 1984: 17). Tiap tanda itu mewakili konsep tertentu dan selanjutnya tiap konsep itu membangun makna tertentu pula. Tanda itu tidak muncul begitu saja, tetapi dilatarbelakangi oleh sejumlah konteks (situasi, budaya, dan ideology). Dengan pendekatan seperti itu, sebuah puisi tidak hanya dilihat dari segi strukturnya saja tetapi akan dilihat sebagai sebuah system yang komponen- komponennya bersama- sama membangun sebuah makna.

Dengan memahami bahwa puisi adalah tanda (symbol) yang dalam konteks tertentu difungsikan untuk menyampaikan pandangan penyair tentang pranata dan fenomena hidup manusia, masih sangat diperlukan penelitian yang lebih mendalam.

2.2. SEJARAH KAJIAN SEMIOTIKA 
Pada abad masehi, istilah semiotika pertama kali digunakan oleh John Locke pada tahun 1632- 1704 dalam tulisannya yang diberi judul Essay Concering Human Understanding. Secara etimologis kata Semiotika berasal dari bahasa Yunani, yaitu semeion yang berarti tanda. Sejarah menyebutkan semiotika telah digunakan untuk prognosis dan diagnosis suatu penyakit. Plato (228- 348 SM) juga megungkapkan pengertian semiotika dalam karyanya Cratylus, sedangkan Aristoteles (384- 322 SM) berjudul Poetics dan On Interpretation. Jelaslah bahwa semiotika sudah ada pada masa sebelum masehi (Anggie, 2013: 29).

Semiotik memiliki dua tokoh, yakni Ferdinand de Saussure dan Charles Shander Peirche. Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika dalam bidang yang berbeda secara terpisah. Saussure di Eropa dan Peirche di Amerika. Latar belakang keilmuan Saussure yaitu linguistic dan Peirce dikenal sebagai ahli Filsafat. Menurut Saussure ilmu yang dikembangkannya tersebut disebut Semiologi yang juga disebut semiotic tersebut ialah Ilmu yang secara sistematik mempelajari tanda- tanda dan lambang, sistem- sistem lambang dan proses- proses perlambangan. Sedangkan Peirce menyebutnya Semiotics yang kemudian hal ini berganti- ganti dipergunakan dengan pengertian yang sama. Di Perancis dipergunakan nama semiologi dan Amerika lebih banyak dipakai nama semi- otik (Pradopo, 2005: 119).

Inti dari kontribusi semiotik Saussure adalah rancangan bagi teori umum tentang sistem tanda yang disebut semiologi. Semiologi akan menunjukkan apakah yang mendasari tanda- tanda itu, apakah aturan- aturan atau hokum yang mengaturnya. Menurut Saussure tanda sebagai kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat dipisahkan, seperti halnya selembar kertas. Dimana ada tanda disana ada sistem. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh indera kita yang disebut signifier bidang penanda atau bentuk dan aspek lainnya disebut signified,bidang petanda atau konsep atau makna. Sedangkan menurut Peirce, tanda (representamen) ialah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain dalam batas- batas tertentu. Tanda akan selalu mengacu ke sesuatu yang lain, oleh Peirce disebut objek. Mengacu berarti mewakili atau menggantikan. 

2.3. Puisi dalam Perspektif Semiotika
Istilah “semiotik” pada mulanya muncul sebagai salah satu bentuk kajian bahasa dengan mengambil bentuk dan arti sebagai landasannya. Dalam teori semiotik, ada dua elemen dasar yang harus diperhatikan dalam kajian bahasa yaitu arti dan bentuk; arti direalisasikan melalui bentuk atau bentuk merupakan alat untuk mengekspresikan arti (Ambarita, 2009: 136).

Puisi sebagai sebuah wacana juga merupakan sebuah sistem semiotik. Ada unsur arti (discourse) dan ada unsur bentuk (teks). Arti puisi direalisasikan dengan bentuk yaitu simbol- simbol atau kode yang dapat berupa fonem, kata, frasa, klausa, kalimat, atau pengulangan simbol- simbol dan tanda tertentu. 

Dalam kajian sastra, pendekatan semiotik merupakan perkembangan lebih lanjut dari pendekatan strukturalisme (Junus, 1994: 17). Pendekatan ini lahir sebagai bagian dari keseluruhan pemikiran kaum strukturalis Scholes (dalam Ambarita, 2009: 136). Ini berarti pendekatan semiotic telah dengan sendirinya mengandung muatan pendekatan strukturalisme. 

Dalam operasionalnya yang lebih luas, semiotik mempelajari keseluruhan kegiatan manusia yang dapat dianggap sebagai tanda. Argumentasi yang mendasari bahwa perbuatan manusia itu dinyatakan dalam sistem tanda (Junus, 1987: 74). Dengan demikian, dalam kajian sastra, semiotik lebih memusatkan perhatian pada simbol- simbol tanda yang ada pada wacana berikut dengan sistem yang ada pada sastra tersebut termasuk puisi. Melalui kajian semiotik seperti itu kaum semiotik berusaha mendekati dan mempersepsi kandungan (makna) yang ada dalam setiap wacana puisi.

Ada banyak sistem tanda dalam suatu karya sastra. Tiga diantaranya menurut Pierce dalam Suhada (1987: 35) yaitu “ikon, indeks, dan simbol”. 
  • Ikon yaitu suatu tanda yang menggunakan kesamaan atau ciri- ciri bersama dengan apa yang dimaksud. Contoh foto atau gambar seseorang merupakan ikon karena menggambarkan keadaan yang sebenarnya (sama) sesuai dengan apa yang dimaksudkan. “ Dalam karya puisi, bentuk tipografi, susunan bahasa, dan susunan teks dapat menggambarkan isi teks (puisi) itu” (Hartono, 1984: 46). Oleh karena itu, bentuk tipografi, susunan bahasa, dan susunan teks dalam sebuah puisi merupakan tanda berupa ikon.
  • Indeks adalah suatu tanda yang mempunyai kaitan kausal dengan apa yang diwakilinya. Contohnya dalam ramalan cuaca arah angin merupakan tanda keadaan cuaca. 
  • Symbol merupakan tanda yang memperlihatkan hubungan antara penanda (kode) dengan apa yang ditandai, tidak bersifat alami tetapi merupakan kesepakatan bersama (Hartono, 1984: 46). Dalam puisi bahasa merupakan kesepakatan konvensional.
Dalam perspektif semiotik, puisi tidak lahir begitu saja, tetapi ditopang oleh sejumlah konteks (situasi, budaya, dan ideologi). Teew (dalam Ambarita, 2009: 37) mengatakan bahwa “ karya sastra tidak ditulis dalam kekosongan budaya”. Dalam hal ini puisi lahir dengan sejumlah latarbelakang kultura, dalam latar belakang sejarah sastra yang panjang, dan dalam latar belakang social budaya yang luas dan kompleks. Karena itulah sebuah puisi menurut Pradopo (1987: 254) dipersiapkan oleh masyarakat dan kekuatan- kekuatan yang ada pada zamannya. Bahasa yang difungsikan dalam merealisasikan makna puisi dalam konteks (budaya, situasi, dan ideologi) seperti itulah yang selanjutnya disebut sebagai wacana puisi. Itu berarti, dalam perspektif semiotik, puisi adalah sebuah bahasa yang fungsional dalam konteks tertentu hubungan antara bahasa, arti, dan konteks selanjutnya dikenal sebagai sistem semiotik. 

Dalam kajian puisi dengan pendekatan semiotik, sistem tanda (bahasa) harus dianalisis dalam kaitannya dengan situasi, budaya dan ideologi yang menjadi latar belakang pemakaian bahasa itu. Selanjutnya arti (makna) puisi harus diperoleh melalui sintesis antara bahasa dan konteks yang melatarbelakanginya. Dengan demikian, dalam kajian semiotik bahasa, arti, dan konteks harus dipandang sebagai sebuah sistem yang membangun sebuah makna (puisi).

2.3.1. JENIS KODE DALAM KAJIAN SEMIOTIKA
Dengan memasukkan konteks sebagai bagian dari sistem semiotik, Barthes (dalam Ambarita, 2009: 138) lebih lanjut membatasi lima kode yang membawahi keseluruhan sistem tanda dalam sebuah puisi. Kelima kode itu dirangkum sebagai berikut ini:
  1. Kode Hermeutik (penafsiran); merupakan simbol bahasa yang menuntut penafsiran yang luas. Simbol dalam puisi mengandung makna secara tersirat (tersembunyi) karena itu puisi menuntut penafsiran secara luas dan mendalam. Dalam hal ini makna yang hendak disampaikan tersembunyi, menimbulkan tanda Tanya bagi pembaca. Tanda itulah yang akan menjadi daya tarik bagi pembaca karena pembaca penasaran ingin mengetahui jawabannya. Misalnya, dalam puisi “aku” pembaca akan bertanya apa maksud penyair dengan judul itu. Apa makna aku?
  2. Kode Proairetik (perbuatan); dalam karya sastra perbuatan atau gerak atau alur pikir penyair melalui perkembangan pemikiran yang linear itu. Baris demi baris membentuk bait yang merupakan gerak yang berkesinambungan. Gagasan yang tersusun merupakan gagasan runtut. Jika kode perbuatan seperti itu dapat diikuti dengan baik, dan dipelajari secara seksama maka hal ini akan sangat membantu bagi penafsiran makna puisi. Pembaca dapat menelusuri gerak batin dan pikiran penyair melalui perkembangan pemikiran linear itu dan menemukan kesamaan gerak batin penyair yang sama yang tampak dalam berbagai puisinya. Ciri khas ini akan nampak karena seorang penyair mempunyai metode yang hampir sama dalam berbagai puisinya. Sulit kiranya seorang penyair mengubah teknik pengucapan puisi yang sudah dimilikinya.
  3. Kode Semantik (sememe); bahasa dalam puisi merupakan simbol tanda (kode) dengan makna konotatif. Bahasa kias banyak kita jumpai. Sebab itu, menafsirkan puisi berbeda dengan menafsirkan prosa. Menghadapi bentuk puisi, pembaca sudah harus bersiap- siap untuk memahami bahasanya yang khas. Bahasa yang Khas tersebut harus ditafsirkan secara konotatif.
  4. Kode Simbolik; kode semantic berhubungan dengan kode simbolik; hanya kode semantik lebih luas. Kode simbolik lebih mengarah pada kode bahasa sastra yang mengungkapkan/ melambangkan suatu hal dengan hal lain. Makna lambang banyak kita jumpai dalam puisi. Peristiwa- peristiwa yang dilukiskan dalam puisi belum tentu bermaksud hanya untuk bercerita, namun mungkin merupakan lambang suatu kejadian. Bahkan mungkin merupakan lambang kejadian yang akan datang. Misalnya nyanyian “semut ireng” (semut hitam) yang terkenal dalam sastra jawa merupakan lambang kejatuhan kerajaan Surakarta. Secara khusus, kata- kata dan lukisan peristiwa juga penuh dengan lambang- lambang.
  5. Kode Budaya; menafsirkan kode bahasa dalam puisi menuntut bukan saja penguasaan semantic tetapi juga pengenalan sosio-budaya bahasa itu. Bahkan bahasa dalam puisi cenderung merupakan milik bangsa tertentu. Oleh karena itu, untuk memahaminya dibutuhkan pengenalan terhadap budaya bangsa pemilik bahasa itu. Pemahaman suatu bahasa akan lengkap jika memahami kode budaya dari bahasa itu. Banyak kata- kata dan ungkapan yang sulit dipahami secara tepat dan langsung jika kita tidak memahami latar belakang kebudayaan dari bahasa itu. Memahami bahasa diperlukan “cultural understanding” dari pembaca. Misalnya Dik Narti dan puisi Rendra sulit diterjemahkan kedalam bahasa Inggris karena panggilan serupa tidak ada. Demikian pula kata “jeng” dalam bahasa jawa. 
Selain bahasa kode yang dikemukakan oleh Rolland Barthes, Riffaterre juga mengemukakan pendapat tentang makna sebuah puisi (Pradopo, 1987: 210) ketidaklangsungan pernyataan puisi disebabkan oleh tiga hal yaitu: 
  1. Penggantian arti (displacing) yaitu kata- kata kiasan menggantikan arti sesuatu yang lain, lebih- lebih metafora dan metonimi, dalam penggantian arti ini suatu kata bisa berarti lain atau makna lain.
  2. Penyimpangan arti (distorting) yaitu peyimpangan yang dalam puisi yang mengandung ambiguitas, kontradiksi, ataupun nonsense.
  3. Penciptaan arti (creating of meaning) yaitu bila ruang teks berlaku sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat tanda- tanda keluar dari hal- hal ketatabahasaan yang sesungguhnya secara linguistik tidak ada artinya, misalnya simitri, rima, enjembement, atau ekuivalensi- ekuivalensi makna.
2.4. PENDEKATAN SEMIOTIK DAN NONSEMIOTIK
Pendekatan semiotik dalam kajian puisi berlangsung dalam sudut pandang yang luas. Cipta sastra (puisi) tidak hanya dilihat sebagai karya semata tetapi sebagai sebuah sistem dengan melibatkan sejumlah komponen didalamnya. Komponen itu dapat berupa konteks (situasi, budaya, ideologi), dapat berupa sejarah perkembangan karya sastra itu sendiri, dan mungkin berupa latar belakang kepribadian penyair sebagai penciptanya. Pendekatan puisi dengan menggunakan komponen- komponen itu sebagai sudut pandangnya, akan memungkinkan kita mengenal puisi tidak hanya dari satu sisi tetapi lebih dari satu sisi (multidimensi). Pengenalan demikian pada gilirannya akan menghasilkan persepsi yang utuh dan relevan dalam pembuatan makna yang representatif. 

Berbeda dengan pendekatan semiotik, pendekatan nonsemiotik tidak memperlakukan puisi sebagai sebuah sistem. Puisi dalam pandangan nonsemiotik hanyalah sebagai puisi tanpa mempersoalkan komponen apa yang dilibatkan dalam kostruksinya. Dalam kajian puisi secara nonsemiotik, puisi hanya dilihat dari strukturnya saja tanpa menghubungkannya dengan konteks dan unsur- unsur lain yang terkait dengan makna puisi itu. Contohnya pendekatan strukturalisme. Pendekatan ini memperlakukan puisi sama seperti nonsastra yang dapat dipersepsi dengan menganalisis aspek strukturnya semata.

Adapun perbedaan kajian puisi dengan pendekatan Semiotik dan Nonsemiotik adalah sebagai berikut:
1. Pendekatan Semiotik
  • Puisi sebagai titik tolak dalam pembahasan
  • Puisi dibahas dalam hubungannya dengan latar
  • Puisi dilihat sebagai sebuah variabel yang berubah- ubah sesuai dengan konteks dan perkembangan zaman.
  • Menganalisis unsur intrinsic puisi dalam kaitannya dengan konteks dan aspek lain yang terkait dengan makna puisi
2. Pendekatan Nonsemiotik
  • Puisi hanya diperkenalkan untuk kemudian ditinggalkan
  • Puisi hanya cukup dibaca saja dan hanya dilihat sebagai benda mati
  • Puisi dibahas hanya untuk memperkenalkan jenis puisi saja
  • Menganalisis unsur instrinsik puisi tanpa membahas kaitannya dengan unsur- unsur lain. 
Dari perbedaan yang tertulis diatas dapat dipahami bahwa pengkajian dan analisis maupun apresiasi puisi dengan pendekatan semiotik memungkinkan akan memperoleh pengalaman puisi yang lebih lengkap. Pengalaman itu tidak hanya berkaitan dengan wujud strukturnya tetapi berkaitan juga dengan konteks yang sangat berpengaruh dalam penciptaan puisi. Tidak demikian halnya dengan dengan pendekatan nonsemiotik yang hanya mengenal puisi dari satu sisi saja, sehingga pengalaman yang diperoleh sangat terbatas (menyangkut struktur saja). Melakukan kajian terhadap puisi maka pendekatan semiotik lebih lengkap dan lebih representatif dari pendekatan nonsemiotik.

2.5. KAJIAN SEMIOTIK PADA PUISI YANG BERJUDUL “DAUN JENDELA” KARYA PRINGADI ABDI SURYA

Secara umum puisi tersebut mengungkapkan gambaran perasaan Pringadi Surya terhadap hal yang dilihatnya. Dari judul “ Daun Jendela” memiliki makna konotasi atau makna khias. Kata daun memiliki makna bagian tanaman yang tumbuh berhelai- helai pada ranting. Namun, kata daun jendela merupakan sebuah makna khias yang berarti papan penutup jendela. Diksi yang digunakan oleh Pringadi A. Surya menggunakan kata metafora yang bersimbolik dengan pendeskripsian dari apa yang dilihat oleh Pringadi A. Surya.

Analisis I:
  1. Ia berharap ada yang membukanya 
  2. Setiap pagi
  3. Dan seekor burung gereja yang tersesat
  4. Bertengger ramah dipunggungnya

Dalam larik tersebut terdapat tiga diksi yang menggunakan kata yang bermetafor dan bersimbol, yakni:
  1. Kata tersesat memiliki makna salah jalan. Dalam larik tersebut kata tersesat ditujukan kepada seekor burung. Hal itu hanyalah imaji pengarang mengenai apa yang dilihatnya yang menganggap seekor burung yang hinggap ia katakana seperti tersesat.
  2. Kata ramah memiliki makna baik hati dan menarik budi bahasany. Ramah merupakan sebuah kata sifat yang ditujukan kepada manusia, namun Pringadi A. Surya menganggap seekor burung dalam puisinya memiliki makna yang sama dengan manusia.
  3. Kata punggungnya memiliki arti bagian belakang tubuh manusia atau hewan,. Dalam puisi Pringadi A. Surya kata ganti orang ketiga dalam kata pungungnya mengacu pada jendela. Ia mengibaratkan sebuah jendela yang ia lihat memiliki punggung yang sedang dihinggapi seekor burung.
Penggalan larik dalam puisi “Daun Jendela” memiliki makna simbolik yakni perasaan imaji Pringadi A. Surya yang seperti mengetahui perasaan jendela yang ingin ada yang membukanya setiap pagi, dengan dihinggapi seekor burung gereja diatas kusen jendela.

Analisis II:
  1. Kutilang yang sering bernyanyi 
  2. Dan belum belajar cara membuang kotoran
  3. Ternyata, nyanyian kutilang pun 
  4. Tak sanggup menahan kematian

Dalam larik tersebut terdapat tiga diksi yang menggunakan kata yang bermetafor dan bersimbol yakni:
  1. Kata bernyanyi memiliki memiliki arti mengeluarkan suara yang bernada.kutilang yang sedang berkicau diibaratkan sedang bernyanyi oleh pengarang.
  2. Kata belajar memiliki arti berusaha memiliki kepandaian atau ilmu. Imaji pengarang mengibaratkan kutilang dapat belajar seperti manusia untuk membuang kotorannya.
  3. Kata kematian memiliki arti proses kehilangan nyawa. Kematian yang dimaksud oleh pengarang yaitu pada jendela. Ia mengimajinasikan bahwa jendela memiliki nyawa dan sedang diambang kematian. Makna yang tersembunyi didalamnya yakni usia jendela kamar yang sudah tua. 
Penggalan larik tersebut memiliki makna simbolik yakni Pengarang seolah tau jika kicauan burung kutilang dapat memperkuat jendela, namun tidak. Jendela adalah makhluk tak hidup dan tak akan pernah hidup.

Analisis III:
  1. Ia tahu, diluar sana, udara 
  2. Semakin berat
  3. Dan maha hebat Tuhan yang menjinjing matahari
Dalam larik tersebut terdapat dua diksi yang menggunakan kata yang bermetafor dan bersimbol yakni:
  1. Kata berat menyatakan suatu ukuran. Pengarang mengibaratkan bahwa udara memiliki berat.
  2. Menjinjing matahari pengarang mengimajinasikan bahwa matahari ada yang menjinjing. Padahal matahari berotasi sehingga timbullah siang dan malam. 
Penggalan larik tersebut memiliki makna simbolik yakni Pengarang menganggap jendela ( dalam teks : ia) mengetahui keadaan diluar rumah yang sedang terjadi angin besar, oleh karena itu Pengarang menyimbolkan sebagai udara semakin berat.

Analisis IV:
Sesekali, ia melirik kedalam kamar, Dan Membaung suara lampu yang Belum dipadamkan Seorang laki- laki tengah Mendengkur Dan beradu sakti dengan jam weker. Dalam larik tersebut terdapat tiga diksi yang menggunakan kata- kata yang bermetafor dan bersimbol yakni:
  1. Kata melirik memiliki makna melihat dengan tajam kesamping. Pengarang menggunakan kata ia menunjukkan pelaku tindakan (melirik) adalah jendela, karena konteks dari puisi tersebut adalah Jendela. Secara normal, jendela tidak memiliki mata, hanya Pringadi Abdi mengimajinasikan apa yang ia lihat seperti jendela dengan memiliki mata
  2. Kata membuang memiliki simbol mengantarkan cahaya. Karena sifat cahaya adalah menekan kesegala arah. Disitu pengarang mendeskripsikan bahwa jendela tersebut dengan membuang cahaya, namun ia dalam posisi terbuka dan cahaya dalam kamar keluar melalui jendela.
  3. Beradu sakti dengan jam waker memiliki arti simbolik yakni tidur malam.


BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Sastra adalah kegiatan kreatif manusia yang dijelmakan dalam medium bahasa. Membicarakan puisi berarti membicarakan kebahasaan puisi. Puisi sebagai salah satu karya sastra dapat dianalisis dari bermacam-macam aspeknya. Sebuah puisi seperti juga karya- karya sastra lainnya merupakan rekaman semua sisi dan pranata kehidupan manusia. Puisi merupakan tanda yaitu symbol- symbol bahasa yang ditata sedemikian rupa.

Semiotik memiliki dua tokoh, yakni Ferdinand de Saussure dan Charles Shander Peirche. Istilah “semiotik” pada mulanya muncul sebagai salah satu bentuk kajian bahasa dengan mengambil bentuk dan arti sebagai landasannya. Dalam teori semiotik, ada dua elemen dasar yang harus diperhatikan dalam kajian bahasa yaitu arti dan bentuk; arti direalisasikan melalui bentuk atau bentuk merupakan alat untuk mengekspresikan arti.

Pendekatan semiotik dalam kajian puisi berlangsung dalam sudut pandang yang luas. Cipta sastra (puisi) tidak hanya dilihat sebagai karya semata tetapi sebagai sebuah sistem dengan melibatkan sejumlah komponen didalamnya. Komponen itu dapat berupa konteks (situasi, budaya, ideologi), dapat berupa sejarah perkembangan karya sastra itu sendiri, dan mungkin berupa latar belakang kepribadian penyair sebagai penciptanya. Ada 5 jenis tanda (kode) menurut Barthes yaitu: 1). Hermeutik, 2). Proairetik, 3). Semantic, 4). Simbolik, dan 5). Budaya.


DAFTAR PUSTAKA

  1. Adri. 2011. Analisis Puisi “Jika Pada Akhirnya” Karya Husni Djamaluddin Dengan Pendekatan Semiotika. Vol. 4. No. 2. Hlm. 105-115. Balai Bahasa Ujung Pandang, Makassar. 
  2. Ambarita, Biner, 2009. Berbagai Pendekatan Dalam Pengajaran Bahasa Dan Sastra Indonesia. Medan. Alfabeta Bandung.
  3. Daulay, Anggie Januarsyah. 2013. Stilistika: Menyimak Gaya Kebahasaan Sastra. Medan. Halaman Moeka.
  4. Hartono. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta. Gramedia.
  5. Junus, Umar. 1987. Mitos Dan Komunikasi. Jakarta. Sinar Harapan. 
  6. Pradopo, Rachmad Djoko. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.
  7. Pangaribuan, Tangson R. 2014. Kajian Puisi. Jakarta. Halaman Moeka.
  8. Sari, Diah Eka.Dkk. 2016. Kajian Puisi. Medan. Universitas Negeri Medan.

Author:

Facebook Comment