KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh
Puji dan syukur kepada Allah swt yang selalu memberikan
limpahan rahmat dan karuniaNya kepada penulis sehingga penulis dapat menyusun
makalah ini dengan judul “Sistem Pemerintahan Islam di Sudan”.
Ungkapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang turut membantu tersusunnya makalah ini, diantaranya adalah:
1.
Orang tua yang selalu memberi semangat dan motivasi kepada
penulis.
2.
Ibu Elly yang selalu memberikan arahan dan bimbingan kepada
penulis.
3.
Kepada rekan-rekan mahasiswa / mahasiswi yang turut
membantu tersusunnya makalah ini yang tidak dapat penulis catumkan satu
persatu.
Semoga seluruh amal ibadah dan pengetahuannya dibalas oleh
Allah swt. Amin. Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih sangat
jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca untuk kebaikan yang akan datang.
Demikian yang dapat penulis sampaikan semoga makalah ini
dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan bagi kita semua.
Medan,
24 Nopember 2015
Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
Sudan
merupakan negara multi agama dan multi etnis yang memiliki perbedaan kelas
sosial ekonomi antara kaum Arab dan Afrika serta merupakan bangsa pengembala
dan petani, kegiatan gembala berlangsung di Sahil (sebuah padang rumput yang
bersebelahan dengan Sahara.
Sudan atau dalam bahasa Arab “Bilad as Sudan” dengan nama resmi Republik Sudan
saat ini dipimpin oleh Presiden Omar Hassan Al Bashir sejak 30 Juni 1989. Sejak
meraih kemerdekaannya dari penjajahan Mesir dan Inggris pada 1 Januari 1956,
Sudan dilanda oleh berbagai macam krisis. Dari sektor ekonomi, meskipun Sudan
adalah pengekspor bahan makanan dan minyak bumi, tetapi pada tahun 1993, Sudan
menjadi negara dengan jumlah pinjaman terbanyak kepada bank dunia dan IMF.
Untuk pertama kalinya, perekonomian Sudan membaik pada tahun 2000-2001. Namun,
hal ini tidak diikuti dengan stabilitas keamanan dalam negeri sehingga
muncullah pergolakan intern.
Rezim militer menyokong
pemerintahan yang berorientasi Islam telah mendominasi politik nasional sejak
tahun 1956. Sudan telah terlibat dalam dua perang saudara yang panjang pada
abad 20. Konflik-konflik ini mengakar pada masalah dominasi ekonomi, politik
dan sosial. Perang saudara pertama berakhir pada tahun 1972, kemudian pecah
lagi pada tahun 1983. Pembahasan mengenai perdamaian antara Utara Selatan
dilaksanakan pada tahun 2002 hingga 2004 dengan penandatanganan berbagai
perjanjian.
Konflik
separatis yang muncul di wilayah barat Darfur di tahun 2003 menelan korban
sebanyak 200 ribu jiwa dan sedikitnya 2 juta orang terpaksa mengungsi hingga
akhir tahun 2005. Sudan juga telah menghadapi gelombang pengungsi yang besar
dari negara-negara tetangga, khususnya Ethiopia dan Chad, dan kurangnya
dukungan pemerintah menghalangi bantuan kemanusiaan dari pihak luar.
BAB 2
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Profil Sudan
Republik Sudan merupakan negara
terluas di Afrika yang memiliki luas sekitar 2.505.810 km2, didominasi oleh
sungai Nil dan anak-anak sungainya. Terletak di Afrika Utara dan beribukotakan
Khartoum. Sudan berbatasan dengan Mesir di utara, Eritrea dan Ethiopia di
timur, Kenya dan Uganda di tenggara, Kongo dan Republik Afrika Tengah di barat
daya, Chad di barat, dan Libya di barat laut. Sudan meliputi daratan yang
sangat luas dengan gurun sahara di sebelah utara, daerah pengunungan di wilayah
Sudan Timur, dan Barat, serta rawa-rawa dan hutan hujan tropis yang sangat
besar di daerah Selatan. Sudan selatan beriklim tropis, sedangkan di utara
beriklim kering dan tandus, karena daratannya di dominasi oleh padang pasir.
Titik terendah Sudan adalah Laut merah yaitu 0 m, sedangkan titik tertinggi di
Sudan adalah puncak gunung Kinyeti, yaitu sekitar 3.187 m.
Populasi penduduk Sudan merupakan
populasi yang paling berbeda dengan negara-negara lain di benua Afrika. Hal ini
dikarenakan adanya dua kebudayaan besar yaitu “Arab” dan orang Afrika berkulit
hitam, dengan ratusan kelompok etnis, suku dan bahasa yang bergabung sehingga
membuat persaingan politis semakin efektif.
Populasi penduduk Sudan hingga Juli
2008 diperkirakan sebesar 40.218.455 jiwa. Dengan angka kelahiran sebesar 34,31
kelahiran per 1.000 jumlah penduduk dan kematian sekitar 13,64 kematian per
1.000 jumlah penduduk. Penduduk Sudan berasal dari berbagai macam kelompok
etnik yang berbeda, yaitu etnis Afrika sebesar 52%, Arab 39%, Beja 6%, dan lain-lain
sebanyak 3%. Penduduk di wilayah utara Sudan mayoritas memeluk agama Islam (70%),
sebanyak 5% memeluk agama Kristen dan kebanyakan berdomisili di selatan Sudan,
sementara 25% penduduk lainnya masih memegang teguh kepercayaan asli. Sebagian
besar masyarakat Sudan berbahasa Arab, disamping masih juga menggunakan bahasa
suku mereka seperti Nubian, Beja, Ta Bedawie, Fur, Nuban, dan juga dialek
Nilotic dan Nilo-Hamitic.
Perekonomian Sudan meningkat
seiring dengan tingginya produksi minyak dan harga minyak yang kian melambung
tinggi. Namun, konflik internal yang menimbulkan perang saudara selama dua
dekade di selatan meningkatkan garis kemiskinan pada pendapatan perkapita
masyarakat Sudan.
Selain minyak, hasil-hasil
pertanian juga merupakan sumber penting dari perekonomian masyarakat Sudan.
Kapas dan wijen menghasilkan hampir ¼ dari setiap pendapatan eksport, selain
itu Sudan juga merupakan negara pengekspor bahan makanan seperti padi-padian,
gandum, dan kacang-kacangan dan juga hasil peternakan ke Mesir, Arab Saudi, dan
negara-negara Arab lainnya. Walaupun demikian, pertanian Sudan masih memiliki
masalah irigasi dan transportasi yang sangat mengganggu kedinamisan
perekonomian.
Eksplorasi minyak bumi dimulai pada
pertengahan tahun 1970 dan menutupi seluruh keperluan energi dan ekonomi
masyarakat Sudan. Jumlah minyak mulai dikomersialkan untuk kepentingan ekspor
pada Oktober 2000 sehingga mengurangi impor bahan bakar minyak. Daerah yang
diindikasikan memiliki sumber minyak potensial di Sudan selatan adalah daerah
Kordofan dan propinsi Laut Merah.
Menurut data tahun 2005, Sudan
memproduksi minyak sekitar 401.000 barel setiap hari yaitu sekitar 1,9 miliar
dollar. Dengan adanya resolusi 21 tahun perang saudara, masyarakat Sudan kini
dapat memperoleh keuntungan dari sumber daya alammya, membangun kembali
infrastrukturnya, menaikkan produksi minyak, dan dapat mencapai jumlah ekspor
yang potensial.
Walaupun demikian, semenjak Sudan
menjadi peminjam terbesar di dunia kepada Bank Dunia dan IMF pada 1993,
hubungannya dengan institusi keuangan internasional menjadi tidak baik
dikarenakan gagalnya Sudan membayar hutanghuntang tersebut. Pemerintah
melanggar batas pelunasan program bantuan IMF. Rencana 4 tahun reformasi
ekonomi yang telah diperkenalkan pada tahun 1988 tidak berhasil. Total hutang
luar negeri Sudan melebihi 24 miliar dolar dan inflasi yang tinggi menyebabkan
harga barang-barang menjadi sulit dijangkau oleh konsumen yang sebagian besar
memiliki daya beli yang rendah.
Pada tahun 1993, nilai mata uang
jatuh, sehingga mempengaruhi devisa negara. Pada 1999, perdagangan liberal
menjadi agak terbatas. Ekspor produksi-produksi selain minyak menjadi stagnan.
Sebaliknya, penemuan-penemuan pusat minyak di selatan membawa harapan baru bagi
keselamatan perekonomian Sudan. Namun pada kenyataannya, harapan tersebut sulit
diwujudkan bahkan sampai situasi politik menjadi stabil.
Pada tahun 2000-2001, perekonomian
Sudan mengalami peningkatan untuk pertama kalinya semenjak merdeka. Peningkatan
produksi minyak, bangkitnya industri ringan dan perkembangan Zona industri
pengelolahan membantu menopang pertumbuhan GDP sekitar 10% di tahun 2006.
produksi pertanian merupakan sektor terpenting di Sudan karena menyumbang 35%
dari GDP dan menyerap 80% dari tenaga kerja, tetapi sebahagian besar tanah
pertanian di Sudan masih tergantung pada curah hujan dan rentan terhadap
kekeringan5. Konflik di Sudan yang tidak pernah berakhir dan kondisi cuaca yang
tidak menguntungkan menyebabkan banyaknya penduduk sudan akan tetap berada di
bawah garis kemiskinan selamam bertahuntahun. Sejak Januari 2007, pemerintah
mengenalkan mata uang baru yaitu Sudanese Pound menggantikan Sudanese Dinar,
dan pada bulan Juli 2007, Sudanese Pound menjadi satu-satunya mata uang Sudan.
B. Sejarah Berdirinya
Negara Republic of The Sudan
Republic of The Sudan
merupakan sebuah negara yang terletak di bagian Timur Laut Afrika diantara 4
dan 23° LU serta 22 dan 38 BT. Luas wilayah Sudan sekitar 1 juta mil persegi
yang berbatasan dengan Afrika Tengah dan Chad dibagian Barat, Libya dan Mesir
dibagian Utara, Ethiopia dan Eritrea dibagian Timur, serta Kenya, Uganda dan
Kongo dibagian Selatan. Sudan mendeklarasikan kemerdekaanya pada tanggal 1
Januari 1956 dari Inggris. Penduduk Sudan berjumlah 33 juta jiwa yang terdiri
dari bermacam-macam etnis diantaranya etnis Afrika yang berkulit hitam 54%,
Arab 40% dan lain-lain 6%. Agama yang terdapat di Sudan ialah Islam Sunni 75%,
Animis 20%, dan Kristen 5%. Sudan memiliki kota-kota yang utama diantaranya
Khartoum, Omdurman, Port Sudan, Wad Medani, Atbara, dan Juba.
Sejarah
modern Sudan dimulai pada abad ke 9 ketika seorang Sultan Muhammad Ali dari
Ottoman Turki melihat Sudan sebagai wilayah yang memiliki sumber daya alam yang
banyak.[2]
Sekitar tahun 1820 dilakukan sebuah ekspedisi untuk menaklukan negara tersebut.
Beberapa wilayah yang pada saat itu dibawah pemerintahan Khedive Ismail berada
dalam pengawasan Mesir yang diberikan wewenang oleh Turki untuk memerintah
Sudan, dikarenakan Mesir saat itu sedang dikuasai oleh Ottoman. Tetapi pemimpin
lokal yang ada di wilayah tersebut menantang Mesir dengan melakukan perlawanan
dari kelompok pemberontak yang sangat fanatik terhadap agama Islam. Kelompok
tersebut dipimpin oleh Muhammad Ahmad ibn-Abdallah atau yang biasa disebut Al
Mahdi, yang berusaha untuk mengusir Mesir dari wilayah mereka dan berupaya
mendirikan negara Islam. Pada tahun 1881, pengikut dari Al Mahdi yaitu Ansar
berhasil menaklukan pasukan lawan yang dikirim untuk melawan mereka. Ansar
kemudian menaklukan beberapa kota termasuk di tahun 1856 menaklukan Khartoum.
Pada tahun 1896, pemerintah Inggris memutuskan untuk
menaklukan Sudan. Pemerintah Inggris memberlakukan kontrol terhadap wilayah
yang sempat dikuasai oleh kelompok pemberontak Al Mahdi. Pembangunan atas pemerintahan yang baru di Sudan
diletakkan berdasarkan perjanjian bersama antara Inggris dengan Mesir pada
bulan Januari 1899. Perjanjian tersebut menunjukkan pemerintahan bersama kedua
negara yaitu Kondominium Anglo-Egyptian terhadap Sudan. Pemerintahan bersama
ini menitikberatkan terhadap posisi Inggris yang berhasil merebut Sudan dengan
memberikan mereka kekuasaan secara de
facto dan Mesir sebagai pemegang kekuasaan bayangan. Inggris mendirikan
pemerintahan kolonial yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal yang memiliki
kekuatan eksekutif dan legislatif. Pada tahun 1943, perlahan-lahan Inggris
melakukan transisi kekuasaan sebagian wilayah dengan membentuk Dewan Penasehat
khususnya Sudan Selatan.[3]
Pemindahan kekuasaan tersebut menimbulkan pertentangan dari Mesir yang menilai
hal tersebut tidak dapat dilakukan dikarenakan Mesir menilai Sudan sebagai
bagian dari Sungai Nil, yang mana secara politik masa depan Sudan akan
terhubung dengan mesir.
Berdasarkan alasan tersebut, Mesir mulai memberikan
perlawanan kepada Inggris dengan membangkitkan rasa nasionalisme masyarakat
Sudan. Mesir menyatakan bahwa Sudan dapat menentukan nasib mereka sendiri,
membuat keputusan bagi negara mereka. Mesir meyakinkan dan menjamin kepada
Sudan bahwa pemerintah Inggris akan segera keluar dari negara mereka. Hal itu
dilakukan Mesir dengan tujuan agar nantinya Sudan memilih untuk bergabung
dengan Mesir. Pada tanggal 12 Februari 1953, Mesir dan Inggris menandatangani
perjanjian untuk memutuskan masa depan Sudan. Kedua belah pihak memberikan
waktu 3 tahun bagi Sudan sebagai masa transisi untuk menentukan apakah mereka
ingin bergabung dengan Mesir atau merdeka. Pada masa transisi Sudan mengadakan
pemilihan umum dimana dalam pemilu tersebut Ismail Al Azhari terpilih menjadi
Perdana Menteri pertama Sudan. Ismail Al Azhari merupakan pemimpin National Unionist Party yang mempunyai keinginan untuk bergabung
dengan Mesir namun seiring dengan berjalannya waktu keinginan tersebut berubah.
Al Azhari menginginkan kemerdekaan bagi Sudan yang akhirnya Sudan memperoleh
kemerdekaan dari Inggris pada tanggal 1 Januari 1956.
1.
Sudan
Pada Masa Sebelum Pemerintahan Presiden Omar Al Bashir
Sudan sebelum dipimpin oleh Presiden Bashir situasi ekonomi
dan politik mereka sangat mengkhawatirkan. Sebagai
negara yang baru merdeka,
situasi perekonomian Sudan dapat dikatakan sangat tidak baik dimana pada saat
itu Sudan dikenal sebagai negara yang sangat miskin atau the least developed country yang memiliki struktur sosial ekonomi
yang terbelakang. Keadaan
politik yang mengalami gejolak dengan selalu di kudetanya pemimpin Sudan oleh
militer semakin memperburuk keadaan. Situasi tersebut membuat pemerintah tidak
dapat melaksanakan pembangunan dengan baik.
a.
Kondisi Ekonomi Sudan
Berdiri
sebagai negara baru Sudan dikenal sebagai negara termiskin di dunia. Sektor
pertanian menjadi pilar yang penting bagi perekonomian nasional Sudan,
dikarenakan lahan yang luas dari
pertanian mempunyai potensi yang dapat digunakan secara sistem irigasi (irrigated agricultural system) dan
pertanian tadah hujan (rain-fed).
Pertanian dan peternakan memberikan kontribusinya sebesar 40% dari pendapatan
domestik bruto (PDB) tahunan dan mempekerjakan para tenaga kerja sebesar 50%.
Peningkatan kinerja dari pertanian diupayakan oleh pemerintah dengan melakukan
restrukturasi manajemen Gezira Scheme
yang terdapat di Wad Medani dan melakukan diversifikasi dari jenis-jenis
tanaman seperti kapas dan tanaman tebu untuk di ekspor ke negara lain.
Masih kurangnya bantuan keuangan
yang diberikan oleh pemerintah berupa penyediaan kredit untuk pertanian dan
peternakan tidak menjadi halangan, Sudan terus berupaya agar dapat memanfaatkan
pendapatan negara melalui perminyakan supaya pertanian dan peternakan mendapat
dukungan dan bantuan. Pendanaan pemerintah dalam meningkatkan pertanian dan
peternakan mereka mendapat bantuan dari UNDP yang memberikan micro financing bagi perbaikan sarana
irigasi. OPEC Development Fund untuk
memperluas lahan perkebunan terutama lahan tebu dan International Fund for Agricultural Development (IFAD).
Perbaikan-perbaikan terhadap
berbagai sektor-sektor yang dimiliki oleh Sudan terus dilakukan untuk
meningkatkan pembangunan nasional, pemerintah melakukan berbagai kerjasama
dengan negara-negara lain baik dari Afrika, Asia, maupun Eropa. Kerjasama yang
menjadi prioritas utama bagi pemerintah Sudan ialah hubungan kerjasama ekonomi
dengan negara-negara Arab khusunya negara Teluk seperti Arab Saudi, Uni Emirat
Arab, Qatar, Bahrain dan Kuwait. Negara-negara tersebut memberikan dukungan dan
bantuan pinjaman modal kepada pemerintah Sudan yang dialokasikan ke berbagai
macam pembangunan dalam bidang perminyakan, industri, pertanian serta pertenakkan
dan sektor lainnya.
b.
Kondisi Politik Sudan
Pemerintahan Sudan setelah
memperoleh kemerdekaan dari Inggris diwarnai dengan silih bergantinya
pemerintahan baik yang dipilih melalui pemilihan umum maupun pemerintahan yang
dilengserkan oleh militer secara kudeta. Pemerintahan dimulai dengan
pemerintahan sipil yang berada dibawah kepemimpinan Perdana Menteri Ismail Al
Azhari, yang memenangkan pemilihan umum sebelum kemerdekaan.[4]
Al Azhari menjadi Presiden Sudan pada tahun 1965 dan pemerintahannya
dilengserkan oleh Jenderal Ibrahim Abboud yang melakukan kudeta. Jenderal
Abboud lalu memberikan kekuasaan kepada pemerintahan transisi yang dipimpin
oleh Al Khatim Al Khalifa. Tidak lama
berselang kekuasaan jatuh ketangan pemerintahan koalisi antara Umma Party
dengan National Unionist Party. Pemerintahan tersebut tidak berlangsung lama
karena kembali adanya kudeta yang dilakukan oleh Jenderal Ja’far Numeiri pada
tanggal 25 Mei 1969. Kepemimpinan Jenderal Numeiri bernasib sama dengan
pemerintahan yang sebelumnya karena ia di kudeta oleh Jenderal Al Dahab pada
tahun 1985 dan memimpin Sudan selama satu tahun. Kekuasaan akhirnya diserahkan oleh
Jenderal Al Dahab kepada pemerintahan koalisi yang telah memenangkan pemilahan
umum yaitu Umma Party dengan Democratic Unionist Party yang dipimpin oleh Sadiq
Al Mahdi dan Ahmed Mirghani.
2.
Sudan
Pada Masa Pemerintahan Presiden Omar Al Bashir
Hassan Omar Al
Bashir lahir pada tanggal 1 Januari 1944 di sebuah desa yang bernama Hosh
Bannaga 100 km Timur Laut dari ibukota, ia berasal dari keluarga petani. Pada
saat muda Bashir masuk menjadi anggota militer Sudan dan belajar di akademi
militer di Kairo, Mesir. Selama di akademi militer ia belajar dengan cepat
menjadi seorang tentara dan di tahun 1973 ia ikut berperang dengan militer
Mesir saat terjadinya Perang Mesir-Israel. Bashir menjadi presiden setelah
melakukan kudeta militer terhadap pemerintahan koalisi saat itu.
a.
Perekonomian di Masa
Bashir
Kondisi
ekonomi yang buruk membuat Presiden Bashir pada tahun 1989, membentuk Economic Committee (EC) yang ditugaskan
untuk menyusun rencana-rencana terkait pemulihan ekonomi serta menjadi
penasehat ekonomi pemerintah dalam Dewan Komando Revolusi. Komite ini menyusun National Economic Salvation Program
(Program Penyelamatan Ekonomi Nasional) untuk jangka periode 1990-1993. Program
dibentuk bertujuan untuk swasembada pangan, pengawasan terhadap anggaran dengan
lebih ketat, pengawasan defisit negara serta swastanisasi dan liberalisasi
perdagangan. Bashir juga melakukan kebijakan dimana bank-bank dan
asuransi-asuransi yang ada di Sudan harus menggunakan sistem Islam, tidak
terkecuali bank-bank asing. Hal tersebut dilakukan untuk menghilangkan adanya
bunga, perpajakan pun dihilangkan dan diganti dengan Zakat. Pengumpulan dari
pembayaran Zakat tersebut oleh pemerintah dibentuk Dewan Zakat. Khusus untuk
masyarakat non-Muslim diharuskan membayar Jizyah.
Program
penyelamatan nasional diutamakan kepada pembangunan infrastruktur di berbagai
bidang seperti energi, irigasi, telekomunikasi dan perhubungan yang biayanya
berasal dari pengeluaran-pengeluaran yang tidak produktif. Liberalisasi ekonomi
juga diupayakan oleh pemerintah dengan mengurangi kontrol terhadap sektor
swasta dan disaat yang sama pemerintah secara terus menerus melakukan program
privatisasi terhadap sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), serta mendorong
peran dari swasta secara lebih luas di dalam proses pembangunan nasional.
Perkembangan
tersebut dikarenakan ekspor minyak dan produksi emas Sudan yang meningkat.
Sudan berhasil menjadi negara produsen dan pengekspor minyak bumi, ekspor
pertama Sudan dimulai pada tanggal 30 Agustus 1999.
Produksi minyak Sudan semula
sekitar 150.000 barel per hari tetapi pada tahun 2000 produksinya meningkat
menjadi 180.000 barel per hari. Pendapatan yang diperoleh dari sektor minyak
telah memberikan sumbangan bagi anggaran pendapatan Sudan tahun 2000 sekitar
21%. Kegiatan eksplorasi minyak mentah
tersebut dilakukan oleh beberapa konsorsium perminyakan dari negara-negara luar
yang tergabung dalam Greater Nile
Petroleum Operating Company (GNPOC). Pengembangan terhadap industri
perminyakan dimungkinkan dapat menarik para investor lebih banyak lagi dengan
penawaran berupa atau wilayah-wilayah yang memiliki potensi tambang minyak. Hal
tersebut berdasarkan atas perkiraan cadangan minyak yang dimiliki oleh Sudan
yang mencapai 1,2 milyar barel. Dibangun pula fasilitas-fasilitas industri
perminyakan seperti konstruksi pembuatan jalur-jalur pipa yang menghubungkan
lokasi penambangan minyak di beberapa wilayah.
Meningkatnya produksi minyak Sudan
yang mana ekspor minyak Sudan dapat membebaskan mereka dari pengeluaran negara
untuk mengimpor minyak yang sebelumnya mencapai 13% dari total belanja dan juga
mewujudkan swasembada minyak. Pemerintah terus melakukan upaya untuk
mendatangkan para investor agar menanamkan investasi mereka di Sudan, salah
satu caranya dengan mengesahkan perubahan Undang-Undang dalam bidang investasi
yaitu Investment Encouragement Act of
1999 yang memberikan jaminan aspek hukum untuk para investor dan
fasilitas-fasilitasnya. Investor tersebut di dorong untuk memasukan
investasi-investasinya di sektor ekonomi seperti pengadaan energy listrik,
sektor industri, telekomunikasi, transportasi serta pertambangan dan irigasi
pertanian. Neraca perdagangan luar negeri Sudan masih berada dalam posisi
defisit, pada tahun 1999 nilai ekspor Sudan sekitar 780 juta dollar dan impor
mencapai 1,4 miliar dollar Amerika Serikat.
b.
Perpolitikan di Masa
Bashir
Selama
pemerintahan koalisi konflik-konflik yang terjadi di Sudan terus muncul baik
konflik politik maupun pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh rakyat
Sudan Selatan. Diawal pemerintahannya Presiden Bashir membubarkan partai-partai
politik yang ada di Sudan serta membentuk Partai Kongres Nasional (PKN) sebagai
tempat bagi seluruh rakyat menyatakan aspirasi mereka. Kekuasaan pemerintahan
berada di bawah Dewan Komando Rakyat (DKR) yang dipimpin oleh Presiden Bashir,
yang mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan keputusan legislatif dan
eksekutif, menetapkan perubahan, pengangkatan dan pemberhentian para
pejabat-pejabat negara. Dewan Komando Rakyat dibubarkan dan diganti oleh Bashir
dengan parlemen sementara. Pada tahun 1996, Sudan menyelenggarakan pemilihan
umum untuk memilih anggota parlemen serta presiden. Partai Kongres Nasional
pimpinan Presiden Bashir meraih kemenangan yang menjadikan Presiden Bashir
menjadi presiden untuk pertama kalinya periode 1996-2001.
Presiden
Bashir membuat dan mengesahkan Konstitusi Sudan pada tanggal 10 Juni 1998,
Konstitusi tersebut dikenal dengan Konstitusi 1998 yang telah mendapatkan
persetujuan dari parlemen dan rakyat Sudan dengan cara referendum. Terciptanya
Konstitusi yang baru bagi Sudan merupakan hal yang luar biasa bagi Prsiden
Bashir dikarenakan pada saat pemerintahan yang sebelumnya pembuatan Konstitusi
Sudan selalu gagal dikarenakan konflik politik. Pada bulan Mei 1998, Sudan
membentuk Konstitusi yang mana Konstitusi tersebut terdiri dari 9 BAB dan 140
pasal. Berdasarkan Konstitusi 1998, dibentuklah Mahkamah Konstitusi yang mana
ketua serta anggotanya dipilih oleh Presiden dengan persetujuan dari parlemen.
Situasi
politik dibawah kepemimpinan bashir terjadi perebutan kekuasaan antara Bashir
dengan Thurabi yaitu Ketua Parlemen Nasional Sudan. Puncaknya setelah dikeluarkan
dekrit presiden tanggal 12 Desember 1999. Thurabi mengajukan rancangan
amandemen terhadap konstitusi 1998, yaitu untuk menghidupkan kembali lembaga
Perdana Menteri, ketentuan kedudukan wali didalam pasal 56, 57 dan 60.
Pengajuan amandemen Thurabi dijawab oleh bashir dengan mengeluarkan dekrit yang
berisikan pembubaran parlemen nasional, pemberlakuan keadaan darurat di Sudan
selama 3 bulan, menangguhkan pasal 56, 57 dan 60 mengenai kedudukan para wali.
Pada tanggal 24 januari 2000, Bashir mengumumkan susunan kabinet yang baru
menggantikan yang lama diantaranya Mentri Pertahanan, Mentri Dalam Negeri,
Mentri Penerangan dan Kebudayaan, Mentri Kehakiman. Bashir juga mengangkat 25
orang wali baru untuk 25 negara bagian di Sudan. Maret 2000, Bashir kembali mengumumkan
perpanjangan keadaan darurat di Sudan sampai akhir tahun 2000. Mulai saat itu,
Thurabi menjadi pihak oposisi bagi Bashir dimana kebijakan-kebijakan pemerintah
yang dinilai Thurabi merugikan rakyat diprotes olehnya.
Pemerintahan
Bashir menyelenggarakan pemilihan umum pada bulan Desember 2000 untuk memilih
presiden serta anggota parlemen. Pemilu tersebut diikuti oleh Partai Kongres
Nasional, PPP, dan Partai Serikat Buruh, dimana partai-partai politik oposisi
tidak ikut karena memboikot pemilu. Hasil pemilu kembali dimenangkan oleh
Partai Kongres Nasional sehingga Bashir terpilih menjadi Presiden Sudan selama
periode 2001-2006.
C. Sejarah Konflik
Darfur
Konflik
yang terjadi di Darfur bermula dari masalah Sudan Selatan dengan Sudan Utara,
masalah tersebut merupakan peninggalan dari Inggris yang menjajah Sudan. Diskriminasi yang dirasakan oleh rakyat Selatan membuat
mereka memberontak kepada pemerintah. Perlawanan pemberontak akhirnya terjadi
di Darfur daerah yang tengah mengalami krisis. Peperangan tidak dapat
dihindarkan antara kelompok pemberontak dengan pemerintah. Konflik terjadi pada
tahun 2003 dan masih berlangsung hingga saat ini. Banyak korban yang meninggal
dunia, kehilangan tempat tinggal dan keluarga akibat konflik Darfur.
1.
Hubungan
Antara Masyarakat Sudan Utara Dan Sudan Selatan
Pemerintah Inggris pada saat menjajah Sudan mengeluarkan
Undang Undang di tahun 1922, yang memutuskan wilayah Sudan Selatan sebagai
wilayah yang diisolir dan terpisah. Inggris telah melakukan kebijakan yang
berbeda antara Sudan Utara dan Sudan Selatan. Inggris membentengi Sudan Utara
dengan nilai-nilai Islam Arab, mendorong terciptanya modernisasi serta
meletakkan dasar-dasar pendidikan yang membentuk suatu kelompok elit terpelajar
Sudan. Aktifitas perekonomian dan perdagangan di Sudan Utara tumbuh sangat cepat,
penduduk kelas menengah kebawah dilibatkan dalam pemerintahan terutama dalam
jabatan-jabatan administrasi.
Wilayah Sudan Selatan, Inggris menerapkan kebijakan yang
tertutup, penduduk Sudan Utara dilarang masuk ke Sudan Selatan dan menjalankan
bisnis, penyebaran dan pendidikan akan agama Islam dilarang oleh Inggris, serta
kedua wilayah tersebut dibatasi dalam melakukan interaksi satu dengan yang
lainnya. Hal itu dilakukan oleh pemerintah Inggris dengan maksud untuk mencegah
saling membaurnya antara penduduk Utara dengan Selatan. Pemerintah Inggris
membentuk tentara lokal dari penduduk Selatan yang berada dibawah komando dari
komandan Inggris yang bertujuan untuk menciptakan isolasi yang riil antara
Utara dan Selatan. Inggris mempunyai pandangan tersendiri terhadap Sudan yaitu
Inggris menginginkan terciptanya dua buah institusi di Sudan.
Penduduk Sudan Utara mayoritas beragama Islam dan
sehari-hari menggunakan bahasa Arab dalam percakapan mereka. Penduduk Sudan
Selatan merupakan masyarakat Afrika yang berkulit hitam, menganut agama Kristen
dan animisme. Masyarakat Sudan memiliki kelas sosial yang diklasifikasikan
kedalam empat kelas yakni kelas pertama yang berisi masyarakat Arab-Muslim
Sunni. Kelas kedua ditempati oleh masyarakat Muslim non-Arab terutama yang
keturunan Afrika, kelas ketiga non-Muslim dan kelas keempat masyarakat yang
menganut kepercayaan lokal.
Perbedaan antara kedua wilayah semakin memburuk pada tahun
1983 ketika pemerintahan Presiden Jafar Numeiry memberlakukan syariat Islam di
Sudan. Hal tersebut menimbulkan pergolakan dari rakyat Sudan Selatan yang
non-Muslim, dimana mereka mulai melakukan pemberontakan menuntut diberikannya
otonomi khusus kepada mereka terhadap pemerintah pusat yang dianggap tidak
demokratis dan sangat dikuasai oleh etnis Arab Muslim.
Pada awalnya, John Garang merupakan Komandan militer Sudan
yang dikirim oleh Presiden Numeiry untuk menjaga perdamaian dan keamanan di
wilayah Sudan Selatan. Ia memisahkan diri dengan militer lalu membentuk pasukan
khusus di wilayah tersebut. Muncul gerakan pemberontak yang di pimpin olehnya
bernama Sudan People’s Liberation
Movement/Army (SPLM/A) dan Justice
Equality Movement (JEM). Kelompok pemberontak melakukan
pemberontakan-pemberontakan kepada pemerintah yang bertujuan untuk menunjukkan
akan keberadaan mereka supaya tidak dikesampingkan oleh pemerintah.
Melihat situasi dan keadaan antara pemerintah dengan para
pemberontak banyak pihak yang menyerukan untuk dilakukannya perundingan antar
kedua belah pihak. Perundingan pun tercipta baik yang dibantu oleh
negara-negara tetangga maupun oleh Inter
Governmental Authority for Development (IGAD).
2.
Konflik
Antara Pemerintah Sudan Dan Kelompok Pemberontak Di Darfur
Wilayah Darfur terletak di bagian Barat Sudan, merupakan
wilayah yang sangat luas dengan jumlah penduduk sekitar 1,7 juta jiwa. Darfur
berasal dari kata bahasa Arab yakni “Daar” yang memiliki arti “tempat tinggal”
dan “Fur” yang memiliki arti “suku (fur)”, sehingga Darfur memiliki arti tempat
tinggal Fur (salah satu suku yang terdapat di wilayah tersebut). Wilayah Darfur dibagi menjadi tiga wilayah yaitu Darfur Utara dengan ibukota Al
Fashir, Darfur Selatan dengan ibukota Nyala, dan Darfur Barat dengan ibukota
Al-Jenina.
Terdapat dua kelompok masyarakat yang ada di Darfur yaitu
kelompok Arab dengan kelompok non-Arab. Kelompok Arab yang disebut Baggara;
terdiri dari suku Rizaigad, Mahariya, Irayqat, dan Habaniya; dan kelompok
non-Arab disebut juga Afrika hitam yang terdiri dari suku Fur yang paling
besar, Zaghawa (terbagi menjadi dua yaitu Zaghawa Tuer dan Zaghawa Kube),
Massalit, Tunjur, Bergid dan Berti.
Di dalam sejarah Sudan, hubungan kedua pihak tersebut
sering kali memanas dikarenakan berbagai faktor. Pada saat dahulu kala, Darfur
merupakan tempat perdagangan budak, dimana kerajaan Fur mengekspor orang-orang
Afrika dari berbagai daerah di sudan menjadi budak di negara-negara Arab.
Darfur dihuni oleh orang-orang keturunan Afrika dan Arab yang memiliki
kebutuhan berbeda-beda, sehingga sering terjadinya pertikaian-pertikaian
diantara mereka. Perbedaan mendasar antara keduanya yaitu orang-orang keturunan
Afrika hidup menetap, sebagian dari mereka merupakan petani sedangkan
orang-orang keturunan Arab hidup mengembara.
Pertikaian-pertikaian yang ada saat itu dapat diatasi
dengan penyelesaian secara tradisional, namun pada perkembangannya pertiakain
berubah menjadi perebutan sumber daya alam. Selama 30 tahun belakangan ini,
Darfur mengalami kekeringan yang berkepanjangan. Situasi-situasi diatas
menunjukkan wialyah tersebut tengah menghadapi masalah dan diperburuk
keadaannya dengan terjadinya konflik Darfur yang berkepanjangan pula.
Pemberontak
menghancurkan beberapa pesawat terbang, penggunaan senjata yang modern,
menggunakan roket, senapan mesin, satelit komunikasi yang modern dan lain-lain. Mereka melakukan pemberontakan tersebut dikarenakan kecewa
dengan perlakuan dari pemerintah terhadap mereka baik secara ekonomi dan
politik yang di marginalisasikan, serta pemerintah pusat yang belum dapat
menjalankan dengan baik perjanjian-perjanjian sebelumnya yang telah disepakati bersama oleh kedua
belah pihak.
Tindakan dari pasukan Janjaweed melebihi dari yang
seharusnya diperintahkan untuk memusnahkan para pemberontak SPLM/A dan JEM
melainkan melakukan tindakan-tindakan yang sangat kejam dan tidak manusiawi.
Janjaweed dengan semena-mena melakukan tindak kekerasan, kekejaman, penyiksaan,
pembunuhan, pembakaran, penghancuran, pemerkosaan, perbudakan, penganiyaan,
perampokan, melakukan pemboman terhadap rumah-rumah warga, rumah sakit, klinik,
sekolah serta tempat-tempat yang dihuni oleh penduduk, dan lain-lain.
Pembunuhan terhadap masyarakat suku Fur, Massalit dan
Zaghawa oleh Janjaweed dilakukan dalam tiga tahapan diantaranya membunuh dengan
semena-mena kepada kaum laki-laki, penyerangan dilakukan dengan bersama-sama,
pemerintah Sudan dengan Janjaweed meratakan seluruh kampung atau desa-desa dari
penduduk sipil. Berdasarkan laporan dari Human
Right Watch pada bulan Maret dan April tahun 2004, bahwa pemerintah Sudan
dengan Janjaweed telah melakukan penyerangan terhadap perkampungan warga,
tempat-tempat persediaan makanan, sumber air dan tempat-tempat lainnya bagi
suku Fur dan Massalit secara sistematis. Kampung-kampung dibakar, sebagian
ataupun menyeluruh. Amnesty Internasional mengatakan bahwa pemerkosaan yang
dilakukan oleh Janjaweed merupakan sebuah alat atau senjata perang. Pasukan
Janjaweed melakukan aksinya di depan umum, di tempat terbuka yang disaksikan
oleh orang-orang disekitar.
Situasi
konflik semakin mengkhawatirkan dengan wilayah yang terpencil, pemerintah Sudan
melakukan pembatasan wilayah, bantuan kemanusiaan yang diperuntukkan untuk para
korban tidak dapat masuk karena tidak memiliki akses-akses ke Darfur akibat
serangan yang dilancarkan dari para pemberontak. Angkatan bersenjata
pemerintah, polisi militer, pasukan Janjaweed dan kelompok-kelompok bersenjata lainnya
mendirikan pos-pos pemeriksaan dimana bantuan kemanusiaan yang datang
kendaraannya dibajak, bahan makanan dan barang-barang yang dibawa diambil oleh
mereka, para pengemudi di serang, diculik bahkan dibunuh.
Masyarakat
Darfur sebagian besar merupakan petani dan peternak, karena konflik tersebut
mereka tidak dapat melakukan aktifitas mereka sehari-hari untuk kebutuhan hidup
mereka. Konflik Darfur juga menimbulkan bencana kelaparan dan wabah penyakit
yang menyerang penduduk. Pemerintah menolak pernyataan yang mengatakan bahwa
apa yang dilakukan oleh pasukan Janjaweed merupakan perintah dari mereka serta
perlengkapan senjata yang dimiliki oleh Janjaweed bukan berasal dari
pemerintah. Faktanya pada bulan Desember 2003, Presiden Bashir mengakui bahwa
ia memerintahkan pasukan Janjaweed untuk menghabisi para kelompok pemberontak.
Tindakan pengamanan yang ditujukkan untuk para pemberontak tidak sesuai dengan
kenyataannya dimana penanganan yang dilakukan telah menciptakan adanya
pelanggaran hak asasi manusia.
Pada
dasarnya setiap manusia memiliki hak-hak hidup yang layak, konflik Darfur
menurut United Nations Development
Program (UNDP) Human Development
Report 1994 telah melanggar human
security. UNDP menjelaskan bagaimana setiap manusia berhak mempunyai rasa
keamanan tersebut seperti aman dari ancaman-ancaman yang dahsyat yang dapat
menimbulkan kelaparan, wabah penyakit dan adanya penindasan. Mendapatkan
perlindungan dari gangguan-gangguan yang datang, yang menyakitkan, yang terjadi
di dengan tiba-tiba di dalam kehidupan mereka sehari-hari baik lingkungan
tempta tinggal, pekerjaan, maupun komunitas. Terdapat 7 kategori human security yang dijelaskan
diantaranya:
1.
Economic
security: bebas dari kemiskinan
2.
Food
security: bebas dari rasa kelaparan
3.
Health
security: bebas dan perlindungan dari wabah
penyakit, mendapatkan akses untuk perawatan kesehatan.
4.
Environmental
security: tersedianya air bersih, udara dan
perlindungan dari adanya bahaya polusi lingkungan.
5.
Personal
security: bebas dari rasa takut terhadap
kekerasan, bentuk-bentuk kejahatan.
6.
Community
security: bebas untuk berada di dalam suatu
kelompok atau masyarakat tertentu.
7.
Political
security: bebas untuk berada di dalam
pemerintahan atau menjabat suatu jabatan tertentu di berbagai bidang.
Masyarakat yang sedang menderita penyakit atau
mengalami luka-luka akibat konflik tidak mendapatkan askses pengobatan, tidak
dapat mengobati diri mereka yang sedang terluka, tidak adanya udara dan air
yang bersih mengingat tempat pengungsian yang mereka tempati sangat tidak layak.
Pembakaran, pemboman, letusan-letusan senjata yang dilakukan oleh pasukan
Janjaweed membuat udara, air menjadi tercemar. Masyarakat yang ada di Darfur
mengalami ketakutan dan trauma yang mendalam akibat kekerasan, kekejaman dan
perlakuan buruk yang mereka terima terutama bagi perempuan dan anak-anak karena
mereka menjadi objek eksploitasi dari pasukan Janjaweed. Para kaum perumpuan
diperkosa, disiksa, dianiaya, menjadi budak, diperlakukan dengan kasar dan
tidak manusiawi.
Masyarakat yang ada di Darfur tidak
dapat bergabung, berada di dalam suatu komunitas atau masyarakat tertentu,
tidak dapat saling berhubungan baik, berinteraksi sebagaimana mestinya. Warga
sipil tidak memperoleh akses untuk berada di dalam pemerintahan atau menduduki
suatu jabatan tertentu di segala bidang. Mereka tidak memiliki kebebasan
berpolitik karena sistem pemerintahan dikuasai oleh pihak-pihak tertentu saja.
Selain itu mereka juga tidak mendapatkan pendidikan untuk pengetahuan mereka
sehingga sumber daya manusia yang ada menjadi kurang memiliki kemampuan yang
memadai. Mereka tidak dapat merasakan hak-hak asasi manusia mereka berjalan
dengan semestinya, yang mana hak asasi manusia mereka telah dirampas. Konflik
internal yang terjadi setelah Perang Dingin bersumber pada tiga hal seperti
konflik yang merupakan bagian dari warisan masa kolonial yang mendapatkan
kembali momentum mereka. Konflik yang muncul karena proses integrasi nasional
yang belum berjalan dengan baik, serta konflik sebagai akibat dari kegagalan
pembangunan pemerintah. Mengenai hal tersebut K.J Holsti menyampaikan beberapa
hal untuk mengidentifikasikan ciri-ciri dari konflik yang terjadi yaitu
aktor-aktor yang terlibat di dalamnya tidak memiliki pengalaman hidup bernegara
yang baik sehingga mereka menghadapi situasi warisan kolonial berupa batas
wilayah, gerakan separatis, gerakan subversi serta tidak berfungsinya struktur
pemerintahan.
Sudan yang baru merdeka dari
Inggris membangun negaranya dengan persoalan Sudan Selatan dan Utara yang
sangat serius yang ditinggalkan oleh Inggris, dimana setiap kali pemimpin Sudan
yang memimpin dibebankan oleh masalah tersebut yang tidak kunjung selesai.
Pemimpin Sudan menghadapi tantangan-tantangan internal dari kelompok-kelompok
etnis, religious, dan separatis di wilayah-wilayah yang ada akibat adanya rasa
tidak puas dan resistensi terhadap pemerintahan yang resmi.
SPLM/A dan JEM melakukan
pemberontakan diakibatkan rasa kecewa mereka terhadap pemerintah yang
mengabaikan mereka, yang memberikan perlakuan yang berbeda antara Utara dan Selatan,
serta pelaksanaan dari perjanjian-perjanjian yang telah disepakati tidak
dijalankan dengan baik oleh pemerintah Sudan. Pemerintah Sudan dalam menciptakan identitas bangsa mereka
belum bisa menyelesaikan masalah antara Utara dan Selatan sehingga integrasi
yang hendak dicapai tidak dapat terwujud karena pemerintah sendiri belum dapat
mengontrol masyarakat yang ada di dua wilayah tersebut yang pada akhirnya
melakukan pemberontakan.
a.
Respon
Internasional atas Konflik Darfur
Situasi yang terjadi di Darfur membuat mata dunia
internasional tertuju ke wilayah tersebut, mereka mengecam atas tindakan yang
dilakukan oleh pemerintah Sudan. Pemerintah Sudan dinilai lamban dalam
menyelesaikan sengketa yang ada sehingga membuat banyak korban yang berjatuhan.
Janjaweed dan pemerintah Sudan menjadi pihak yang paling bertanggung jawab
dalam permasalahan ini. Pada bulan September 2004, Amerika Serikat melalui
Collin Powel dengan jelas menyatakan bahwa konflik Darfur merupakan sebuah
peristiwa genosida dan pemerintah Sudan serta Janjaweed harus bertanggung jawab
atas konflik tersebut
Uni Eropa mengecam atas terjadinya konflik Darfur, dimana
pemerintah Sudan dinilai telah gagal melindungi penduduk sipil. Uni Eropa
mengancam akan menjatuhkan sanksi kepada Sudan berupa pembekuan asset
pemerintah, apabila mereka tidak segera menyelesaikan permasalahan tersebut.
Berbeda hal nya dengan Amerika Serikat yang menyatakan peristiwa di Darfur
merupakan sebuah Genosida, Uni Eropa tidak sependapat karena mereka tidak
menemukan cukup bukti atas pernyataan tersebut. Upaya Uni Eropa untuk membantu
menyelesaikan konflik Darfur yaitu dengan membentuk European Commission-Humanitarian Aid Office (ECHO). ECHO bertugas
untuk memberikan bantuan-bantuan kemanusiaan ke wilayah-wilayah yang mengalami
konflik salah satunya Sudan.
Bantuan-bantuan yang telah diberikan oleh ECHO untuk Sudan
diantaranya Food Aid (bantuan
makanan), dimana sebagian dana yang ditujukkan untuk korban diserahkan melalui
WHO agar dibelikan keperluan makanan dan pendistribusiannya. Protection Activities (perlindungan
aktifitas), memperhatikan dan melindungi para korban dari kekerasan seksual,
dan tindakan-tindakan yang mengakibatkan trauma. Shelter (tempat perlindungan), memberikan tempat yang nyaman untuk
berlindung. Non-Food Items (kebutuhan
non-makanan), pemberian pakaian, perlengkapan tidur, mandi, penyediaan air
bersih. Food Security (pengamanan
makanan), memberikan perlengkapan pertanian kepada para petani untuk tetap
dapat menjaga lahan-lahan pertanian mereka.
Water and
Sanitation (air dan
sanitasi), perbaikan sumber-sumber mata air, dan menyediakan sanitasi di tempat
pengungsian. Health Care
(perlindungan kesehatan), memberikan makanan-makanan yang bergizi untuk
menghindari timbulnya penyakit serta menangani korban-korban yang mengalami
kekerasan. Bantuan-bantuan tersebut diberikan kepada masyarakat tanpa
membeda-bedakan ras, agama, kelompok etnis, jenis kelamin, umur, kebangsaan,
dan lain-lain melalui para pasukan perdamaian yang diutus ke Darfur.
Perserikatan Bangsa-Bangsa membentuk Internasional
Commission of Inquiry berdasarkan
resolusi Dewan Keamanan no 1564 tahun 2004, yang ditugaskan untuk melakukan penyelidikan
terhadap laporan-laporan yang masuk mengenai adanya pelanggaran terhadap hukum
humaniter internasional dan hak asasi manusia pada saat berlangsungnya konflik
Darfur. Menyatakan bahwa telah terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak asasi
manusia internasional dan pelanggaran terhadap hukum humaniter.
Komisi dalam menjalankan tugasnya melakukan pertemuan
dengan pihak-pihak yang terkait di Sudan, dimana komisi pada tanggal 7-21
November 2004 datang ke Sudan. Pada tanggal
9-16 Januari 2005, kembali datang ke Sudan dan melihat keadaan di Darfur.
Komisi bertemu dengan wakil pemerintah, gubernur negara-negara bagaian Darfur,
pejabat tinggi tingkat pusat, pejabat propinsi, anggota-anggota dari angkatan
bersenjata dan kepolisian, para pemimipin kelompok pemberontak, para kepala
suku, penduduk yang mengungsi, saksi-saksi dari korban pelanggaran, organisasi
non-pemerintah serta perwakilan dari PBB, dan lain-lain.
Penyelidikan yang dilakukan oleh Komisi menghasilkan satu
keputusan yaitu menetapkan pemerintah Sudan dan Janjaweed merupakan pihak yang
bertanggung jawab atas terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan
hukum humaniter internasional. Komisi menemukan bukti bahwa Janjaweed melakukan
serangan kepada penduduk sipil secara membabi-buta, sistematis dan meluas.
Tindakan tersebut mengakibatkan kerusakan dan kerugian yang besar terutama
kepada suku Fur, Massalit dan Zaghawa yang menjadi korban. Perwakilan dari
emerintah Sudan mengatakan kepada Komisi bahwa serangan yang dilakukan pasukan
militer untukmelawan pemberontak. Faktanya Komisi menemukan bukti bahwa
serangan-serangan tersebut memang sengaja ditujukkan kepada penduduk sipil.
Tidak hanya melakukan penyelidikan dan mengidentifikasi
pelaku kejahatan Komisi juga memberikan saran kepada DK PBB untuk menyerahkan
masalah Darfur ke ICC. Komisi melihat sistem pengadilan yang ada di Sudan tidak
dapat dan tidak mempunyai keinginan untuk menyelesaikan persoalan Darfur. Oleh
karena itu Komisi memberikan saran tersebut agar para pelaku kejahatan dapat diadili.
Alasan Komisi menunujuk ICC karena pengadilan tersebut dinilai tepat untuk
mengadili individu yang melakukan tindak kejahatan, yang menjadi Jurisdiksi
dari pengadilan tersebut. Persidangan dari para pelaku kejahatan yang
diselenggarakan di Den Haag, dimana tempat tersebut merupakan tempat netral
yang tidak ada orang atau pihak manapun yang mengintervensinya. Selain itu,
Komisi berpandangan bahwa ICC merupakan pengadilan yang memiliki mekanisme yang
baik dan dapat menciptakan keadilan.
Perserikatan Bangsa Bangsa mengecam peristiwa yang terjadi,
meminta kepada masing-masing pihak untuk segera mengakhiri situasi tersebut.
Melalui Dewan Keamanan, PBB berupaya untuk membantu menyelesaikan permasalahan
tersebut dengan dikeluarkannya resolusi-resolusi Dewan bagi Sudan. Berdasarkan
resolusi Dewan Keamanan PBB no 1593 yang memutuskan untuk membawa persoalan
Darfur ke International Criminal Court
(ICC), agar pihak-pihak yang telah mengakibatkan bencana kemanusiaan yang
sangat besar dapat diadili. ICC berdasarkan resolusi tersebut melakukan
penyelidikan dan persidangan yang akhirnya menjatuhkan dakwaan bersalah kepada
Presiden Bashir. Presiden di dakwa telah melakukan kejahatan perang dan
kejahatan terhadap kemanusiaan.
BAB 3
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Republik Sudan merupakan negara
terluas di Afrika yang memiliki luas sekitar 2.505.810 km2, didominasi oleh
sungai Nil dan anak-anak sungainya. Terletak di Afrika Utara dan beribukotakan
Khartoum. Sudan berbatasan dengan Mesir di utara, Eritrea dan Ethiopia di
timur, Kenya dan Uganda di tenggara, Kongo dan Republik Afrika Tengah di barat
daya, Chad di barat, dan Libya di barat laut. Sudan meliputi daratan yang
sangat luas dengan gurun sahara di sebelah utara, daerah pengunungan di wilayah
Sudan Timur, dan Barat, serta rawa-rawa dan hutan hujan tropis yang sangat
besar di daerah Selatan. Sudan selatan beriklim tropis, sedangkan di utara
beriklim kering dan tandus, karena daratannya di dominasi oleh padang pasir.
Titik terendah Sudan adalah Laut merah yaitu 0 m, sedangkan titik tertinggi di
Sudan adalah puncak gunung Kinyeti, yaitu sekitar 3.187 m.
Ada 7
kategori human security yang
dijelaskan diantaranya:
Economic security, Food security, Health security, Environmental
security, Personal security, Community security, dan Political security.
B. Saran
Konflik Darfur
telah menciptakan keadaan yang sangat buruk bagi masyarakat yang berada di
wilayah tersebut khususnya masyarakat keturunan Afrika. Tindakan yang dilakukan
oleh pasukan pemerintah Sudan dan Janjaweed diluar batas kemanusiaan. Banyaknya
jumlah korban yang berjatuhan, masyarakat yang mengungsi, dan menjadi IDP
sangat mengkhawatirkan. PBB sebagai badan perdamaian dunia berupaya
menyelesaikan masalah Darfur dengan berbagai cara, yaitu membentuk suatu Komisi
untuk menyelidiki peristiwa yang terjadi, membatu proses perdamaian di Darfur, dan menyerahkan masalah tersebut ke International Criminal Court untuk diselesaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Lapidus, Ira M. Sejarah Sosial Ummat Islam. Jakarta: PT
Raja Grafindo, 1999.
Martin, Richard. Encyclopedia Islam & The muslim World. USA: Macmillan Referrence,
2004.
David E. Long and Bernard Reich, The Government and Politics of The Middle East and North Africa, 5th Edition/vol.5, Westview:
Press, 2007.
Ismail Al Azhari merupakan
pemimpin National Unionist Party.
http://www.sudan.net/government/biography/bashier.html, diakses pada tanggal 05 Nopember 2015.
http://www.sudan.net/government/biography/bashier.html, diakses pada tanggal 05 Nopember 2015.
Zuhair, Muhammad. Upaya Pemerintah Sudan Mengatasi Krisis
Darfur Untuk Kepentingan Nasional Di
Bidang Keamanan 2003-2004, Program Studi Timur
Tengah dan Islam Pascasarjana, Universitas Indonesia, 2005.
Straus, Scott. Darfur
and The Genocide Debate, Foreign Affairs, vol. 84, Number 1, January/February, 2005.
Sistem Pemerintahan Islam
Sistem Pemerintahan Negara Asean
Sistem Pemerintahan Negara Perancis
Sistem Pemerintahan Negara Prancis
Sistem Pemerintahan Negara Singapura
Sistem Pemerintahan Negara Turki