DUALISME HUKUM ISLAM DAN HUKUM BARAT
A. HUKUM ISLAM
Hakikat dan etos hukum Islam sangat berbeda dengan konsep-konsep hukum
barat. Satu hal yang tidak dapat diragukan adalah bahwa perbedaan pertama yang
mendasar dan yang paling jelas, yaitu hukum barat pada dasarnya bersifat
sekular sedangkan hukum Islam pada dasarnya bersifat keagamaan. Hukum sipil
yang diwarisi oleh negara-negara di dunia sekarang ini bersumber pada hukum
Romawi yang merupakan hukum buatan manusia dan sewaktu-waktu dapat dirubah bila
suasana menghendaki demikian, sebagaimana ketika hukum tersebut disusun
sebelumnya. Berbeda dengan hukum Islam yang secara fundamental dianggap sebagai
hukum Tuhan yang pada pokoknya tidak dapat dirubah.
Bagi setiap muslim berlaku nilai etik terhadap semua perbuatan yang
dilakukannya yang disebut qubh (keburukan, ketidak sopanan) di satu pihak dan
husn (keindahan, kesopanan) di lain pihak. Akan tetapi nilai etik ini tidak
semuanya dapat dinilai dengan nalar manusia, bahkan dalam hubungan ini manusia
sepenuhnya terikat dengan wahyu Tuhan. Karena itu semua perbuatan manusia
tercakup, menurut klasifikasi yang secara merata diakui, dalam 5 macam
kategori: wajib, sunnah , mubah, makruh dan haram sesuai dengan ketetapan
Allah.
Beberapa pemikir Barat mengakui bahwa Islam adalah Undang-undang yang
sempurna bagi kehidupan antara lain:
1.
Prof. Marison yang dengan tandas
mengatakan”Suatu kebenaran yang tidak dapat dibantah lagi bahwa Isalm bukan
hanya sekedar I’tikad dan agama semata, tetapi lebih dari itu. Ia adalah
undang-undang kemasyarakatan yang sempurna dan lengkap, dia adalah peradaban
yang sempurna, rajutan falsafah, pendidikan dan ilmu ilmunya”.
2.
Dr. Paul “Islam bukanlah agama yang mengurusi
urusan keakhiratan saja, lebih dari itu ia adalah undang-undang kehidupan yang
sempurna”. Bahkan beliau mengatakan bahwa Islam adalah agama yang selalu
terbuka kedua daun pintunya. Ia mempunyai pintu yang lebar untuk menerima
perkembangan-perkembangan baru yang dihasilkan oleh para generasi dalam
perjalanan waktu yang panjang.
Tetapi kenyataan ini secara langsung menjurus pada perbedaan pokok yang
kedua di antara kedua sistem hukum tersebut, yakni bahwa hukum Islam jauh lebih
luas cakupannya dibandingkan dengan hukum Barat. Menurut pemikiran para ahli hukum
barat bahwasanya hukum Barat adalah hukun yang dinyatakan, atau
setidak-tidaknya dapat dinyatakan dan berlaku pada badan-badan peradilan.
Sebaliknya hukum Islam memasukkan segala perbuatan manusia dalam cakupannya
karena hukum Islam mencakup segala lapangan hukum baik hukum publik, hukum
privat, hukum nasional dan hukum internasional sekaligus.
Hukum Islam itu secara tepat dapat dilukiskan sebagai: “ajaran (doktrin) tentang tugas-tugas atau kewajiban-kewajiban” setiap muslim.
Hukum Islam itu secara tepat dapat dilukiskan sebagai: “ajaran (doktrin) tentang tugas-tugas atau kewajiban-kewajiban” setiap muslim.
Menurut Austin “materi ilmu hukum” adalah hukum positif: hukum yang
ditetapkan oleh para politisi yang berkuasa terhadap rakyat yang mereka kuasai.
Sedangkan menurut Hans Kelsen hukum sebagai sistem atau hirarki norma-norma
yang memperkirakan secara dini apa yang terjadi pada saat dan situasi tertentu
yang semuanya terikat dengan norma pokok dalam konstitusi pertama negara yang
bersangkutan.
Menurut para ahli hukum dari aliran historik dalam ilmu hukum, hukum
sebagaimana halnya bahasa, tingkah laku dan konstitusi, tidak berdiri sendiri
secara terpisah melainkan sebagai salah satu fungsi atau bagian dari kehidupan
bangsa secara keseluruhan. Karena hukum dijalankan sama seperti
aktivitas-aktivitas lainnya maka dapat dikatakan hukum muncul dari
kekuatan-kekuatan yang tidak bersuara dan anonim, dan tidak didorong oleh
kehendak secara sukarela atau pun secara sadar, tetapi berlaku sejalan dengan
hukum adat.
Pandangan para ahli hukum dari mazhab sosiologik bukan masyarakat yang mempengaruhi hukum, melainkan hukumlah yang menyajikan norma dan pedoman berdasarkan wahyu Allah dan umat muslim terikat untuk melaksanakannya.
Pandangan para ahli hukum dari mazhab sosiologik bukan masyarakat yang mempengaruhi hukum, melainkan hukumlah yang menyajikan norma dan pedoman berdasarkan wahyu Allah dan umat muslim terikat untuk melaksanakannya.
Olivecrona menegaskan, kekuatan hukum untuk mengikat kenyataan yang
semata-mata berada dalam pikiran orang tidak mengalami perubahan untuk
menjalankan fungsi yang berbahaya, reaksioner yang diluar kesadaran sekalipun.
Kekuatan tersebut mempengaruhi pikiran manusia bahwa hukum adalah sesuatu yang
berada diluar dan diatas kenyataan-kenyataan kehidupan sosial dan memiliki
validitas sendiri yang bukan buatan manusia yang dapat dipaksakan berlakunya.
Pandangan ini berbeda dengan konsepsi Syari’ah dalam Islam, sebab bagi setiap
muslim syari’ah itu benar-benar berada diluar dan diatas fakta-fakta kehidupan
sosial yang karenanya tidak dapat diragukan bahwa ia memiliki validitas sendiri
yang bukan buatan manusia, seandainya ia tidak dapat dipaksakan berlakunya
kepada siapapun, ia tetap merupakan hukum yang disisi Allah wajib ditaati oleh
semua orang beriman.
Para fuqaha menyatakan bahwa hukum merupakan norma abadi yang
transendental dan wajib dipatuhi oleh manusia kapan saja. Perbedaan konsepsi
hukum Islam dan Barat ada dua hal, pertama: para ahli hukum alam menyatakan
hukum merupakan sesuatu yang inheren dalam hakikat benda-benda, di alam
semesta, dalam hakikat makhluk-mkhluk rasional dan dalam hak-hak asasi manusia.
Kedua; secara garis besar hukum terjangkau oleh nalar manusia yang
sekurang-kurangnya memiliki kemampuan untuk menetapkan kerangka umum keadilan
secara alami.
Mazhab Asy’ariyyah tidak hanya mengingkari pendapat yang menyatakan tanpa
wahyu akal manusia dapat memahami nilai etik dalam perbuatan-perbuatan menusia,
tetapi juga menentang anggapan bahwa nilai etik itu ada tanpa adanya perintah
atau larangan Allah.
Mazhab Mu’tazilah, misalnya, mempunyai pandangan yang sama sekali berbeda. Menurut mereka semua tingkah laku manusia secara intrinsik baik atau jahat, dan Allah menyuruh yang baik karena ia memang baik dan melarang yang jahat karena memang ia jahat.
Dapat ditarik kesimpulan bahwasannya pendapat-pandapat mazhab imperatif dalam ilmu hukum jelas dapat diterapkan terhadap konsepsi Islam bila ”politisi yang berkuasa” menurut Austin dan ”norma pokok” serta ”konstitusi” menurut Hans Keln ditefsirkan dalam pengertian ketuhanan (teologik).
Mazhab Mu’tazilah, misalnya, mempunyai pandangan yang sama sekali berbeda. Menurut mereka semua tingkah laku manusia secara intrinsik baik atau jahat, dan Allah menyuruh yang baik karena ia memang baik dan melarang yang jahat karena memang ia jahat.
Dapat ditarik kesimpulan bahwasannya pendapat-pandapat mazhab imperatif dalam ilmu hukum jelas dapat diterapkan terhadap konsepsi Islam bila ”politisi yang berkuasa” menurut Austin dan ”norma pokok” serta ”konstitusi” menurut Hans Keln ditefsirkan dalam pengertian ketuhanan (teologik).
Sumber pertama hukum Islam, yang wajib diyakini oleh setiap muslim,
adalah al-Qur’an, yang menurut pandangan ulama ortodoks (salaf) merupakan kalam
Allah yang tertulis pada papan yang terjaga (lauh makhfuz) dalam bahasa Arab
dan diturunkan kepada Nabi Muahammad SAW pada saat diperlukan dengan
perantaraan malaikat pembawa wahyu yaitu Jibril. Akan tetapi menurut pandangan
tradisional yang diyakini, hukum itu pertama-tama harus diambil dari sunnah
atau hadits Nabi, sebab para fuqaha dari kalangan Sunni berpendapat bahwa
setelah Nabi wafat wahyu Allah tidak turun lagi.
Menurut pandangan fiqih klasik, Syari’ah ditetapkan berdasarkan
al-Qur’an, Sunnah, dan ijma’ serta analogi (qiyas). Tetapi satu hal yang perlu
dicatat adalah bahwa kenyataan hukum islam tersebut sebagian besar didasarkan
atas dua sumber yaitu ijma’ dan qiyas. Dan bahwa dalam sejarahnya, ternyata
ijma’ merupakan sumber terpenting diantara semua sumber hukum, sebab meski
al-Qur’an perlu ditafsirkan dan hadits masih perlu ditelaah untuk mengetahui
keabsahan atau keshahihannya, ternyata ijma’lah yang pada akhirnya menempati
posisi menentukan untuk menetapkan aturan hukum yang mengikat.
Jadi, inilah kenyataan yang ada sampai kira-kira tahun 1850. Berdasarkan
latar belakang penting inilah kita harus melihat pembaharuan-pembaharuan di
masa-masa terakhir.
Mukhlisuddin Ilyas, S.Pd.I(Islamisasi Ilmu Pengetahuan) telah memaparkan secara global wawasan serta gagasan Islamisasi Ilmu. Sebuah apresiasi patut diberikan atas usahanya mengangkat wacana itu dalam tulisan mengingat ide yang mengemuka di kalangan pemikir Muslim sejak era 70-an itu masih dan tetap layak untuk dibahas serta dikaji dalam upaya bersama merajut sebuah peradaban yang berlandaskan nilai-nilai Islami.
Mukhlisuddin Ilyas, S.Pd.I(Islamisasi Ilmu Pengetahuan) telah memaparkan secara global wawasan serta gagasan Islamisasi Ilmu. Sebuah apresiasi patut diberikan atas usahanya mengangkat wacana itu dalam tulisan mengingat ide yang mengemuka di kalangan pemikir Muslim sejak era 70-an itu masih dan tetap layak untuk dibahas serta dikaji dalam upaya bersama merajut sebuah peradaban yang berlandaskan nilai-nilai Islami.
Ada beberapa hal yang mesti ditelisik lebih jauh atas tulisan yang
bertajuk “Islamisasi Ilmu Pengetahuan”. Salah satu bagiannya, mungkin karena
salah kutip, dikemukakan bahwa Syed Muhammad Naquib Al-Attas menjelaskan jiwa
utama kebudayaan dan peradaban Islamisasi Ilmu diringkas menjadi lima
karakteristik yang saling berhubungan (inter-related characteristics), antara
lain:
1.
Mengandalkan kekuatan akal semata untuk
membimbing manusia mengarungi kehidupan
2.
Mengikuti dengan setia validitas pandangan
dualistis mengenai realitas dan kebenaran
3.
Membenarkan aspek temporal untuk memproyeksi sesuatu
pandangan dunia sekuler
4.
Pembelaan terhadap doktrin humanism
5.
Peniruan terhadap drama dan tragedi yang
dianggap sebagai realitas universal dalam kehidupan spiritual atau transedental.
Jika dirujuk lebih jauh dalam karyanya, Prolegomena to the Metaphysics of
Islam, ke lima faktor di atas sebagai hal-hal yang menjiwai budaya dan
peradaban Barat, dan itu yang menjadi tekanan kritikannya. Bagaimana mungkin
Al-Attas, seorang pemikir Muslim yang dengan tegas menolak paham humanisme
justru berbalik mendukung doktrin tersebut?.
Kekhawatiran Al-Attas berangkat dari pandangan bahwa ke lima elemen yang membentuk watak kebudayaan serta peradaban Barat itu, kini menular dalam semua bidang ilmu khususnya di bidang sains, ilmu-ilmu fisika dan terapan, dll, yang pada gilirannya menghasilkan manusia yang berwatak sekuleristik, materialistik, serta utilitarianistik (asas manfaat).
Kekhawatiran Al-Attas berangkat dari pandangan bahwa ke lima elemen yang membentuk watak kebudayaan serta peradaban Barat itu, kini menular dalam semua bidang ilmu khususnya di bidang sains, ilmu-ilmu fisika dan terapan, dll, yang pada gilirannya menghasilkan manusia yang berwatak sekuleristik, materialistik, serta utilitarianistik (asas manfaat).
Karena alasan kebahasaan pula Al-Attas tak mau menerjemahkan secara
serampangan kata sekularisme sebagai ‘ilmaniyyah maupun ‘almaniyyah dalam
bahasa Arab sebagaimana jamak dikenal orang. Sebab baik kata ‘ilmaniyyah (dari
akar kata ‘ilm = ilmu) maupun ‘almaniyyah (dari akar kata ‘alam = alam) tak
punya kaitan sama sekali dengan sekularisme seperti dikenal di Barat. Dan kedua
kata itu juga mengandung makna yang positif, tapi tidak demikian halnya dengan
sekularisme. Dari itu teranglah bahwa bahasa memiliki kaitan erat dengan konsep
dan pemikiran, serta membentuk worldview.
Masih banyak di antara kita yang tidak dapat memahami Barat secara adil.
Seringkali superfisial atau simbolistis. Barat masih dianggap identik dengan
kemajuan teknologi, bahasa Inggris, metodologi, dan sebagainya. Maka tidak aneh
jika dengan cara berpikir ini akan menuduh sesesorang yang berbahasa Inggris,
atau menggunakan teknologi Barat, sebagai terbaratkan. Prof Naquib Al Attas
sendiri banyak menulis dalam bahasa Inggris dan tidak serta merta
epistemologinya terbaratkan.
B. HUKUM BARAT
Barat sejatinya adalah peradaban. Dan matrik setiap peradaban adalah
world view, cara pandang terhadap segala sesuatu (Peter Berger), agama atau
kepercayaan (S Huntington). Dalam world view ini terdapat konsep-konsep penting
yang membentuk sebuah framework berpikir. Setiap peradaban memiliki world view
sendiri-sendiri. Fukuyama mengakui world view Islam bertentangan dengan world
view Barat liberal. Tampaknya Al Makin tidak sadar bahwa Barat melihat Islam
sebagai world view. Karena itu ia melakukan simplifikasi terhadap makna Islam
dan Welstanschaung (world view).
Ekstremnya, pembaruan Islam itu tidak juga akomodatif, tapi lebih
cenderung konsumtif. Terlalu banyak mengonsumsi ide-ide luar, terlalu sedikit
menggali ide-ide dari dalam khazanah pemikiran Islam. Memang benar Islam tidak
steril dari anasir asing. Tapi perlu dicatat bahwa Islam bangun dengan tradisi
intelektualnya sendiri, sebelum 'meminjam' konsep-konsep asing. "Tidak ada
peradaban yang bebas dari proses pinjam meminjam dari peradaban asing",
kata Prof Alparslan Acikgence pakar pemikiran Islam asal Turki. Tapi ingat,
lanjutnya, peradaban yang dihegemoni oleh konsep-konsep asing lama kelamaan
akan mati.
Gagasan Islamisasi ilmu di kalangan pemikir Muslim merupakan program
epistemologi dalam rangka membangun (kembali) peradaban Islam. Hal ini
disebabkan adanya perbedaan yang fundamental antara pandangan keilmuan dalam
Islam dengan peradaban Barat pada tataran ontologi dan epistemologi. Pada sisi
ontologi, Barat modern hanya menjadikan alam nyata sebagai objek kajian dalam
sains, sehingga pada gilirannya mereka hanya membatasi akal dan panca indra
(empiris) sebagai epistemologinya. Hal itu tidaklah ganjil mengingat
perkembangan ilmu dan dinamisasi peradaban di Barat bergeser dari satu titik
ekstrim ke titik ekstrim lainnya.
Mereka menanggalkan agama karena dianggap telah menghadang perkembangan
sains dan pengetahuan. Inilah yang dimaksud dengan perpindahan dari satu titik
ekstrim ke titik ekstrim lainnya tadi. Akibatnya epistemologi Barat
modern-sekuler melahirkan faham-faham semisal eksistensialisme, materialisme,
ateisme, empirisme, rasionalisme, kapitalisme, liberalisme, sosialisme,
humanisme, relativisme, agnostisme, dll.
Epistemologi Barat demikian tampak jelas pada logika positivisme
(al-Wadh’iyyah al-Manthiqiyyah) bahwa sumber pengetahuan hanya terdiri dari
panca indra (empiris) serta akal, sehingga menurut mereka sesuatu dianggap
“ilmu” dan “mengandung kebenaran” manakala bisa dibuktikan dengan menggunakan
verifikasi logis dan verifikasi empiris. Dengan demikian logika positivisme
hanya mementingkan wujud alam ini sebagai materi (physic) serta menepikan makna
di balik materi (metaphysic).
Pernyataan itu dengan tegas diutarakan Immanuel Kant, filosof asal
Jerman, bahwa metafisika tak memiliki nilai epistemologis (metaphysical assertions
are without epistemological values). Perubahan ini kian bertambah ekstrim
seiring munculnya Post-Modernisme yang, lewat dekonstruksinya, bukan saja
menggugat setiap yang mapan, tetapi juga menggiring manusia ke arah
relativisme-nihilistik. Di sinilah gagasan Islamisasi ilmu muncul melalui
pendekatan epistemologi.
Dalam pandangan pemikir Muslim, untuk mengetahui hakekat realitas
tidaklah cukup dengan menggunakan panca indra dan akal saja, tetapi ada dua
unsur lain yang telah diketepikan Barat dalam membangun peradabannya, yaitu:
wahyu (revelation) serta ilham (intuisi). Akan halnya wahyu, terang merupakan
hal yang ditolak oleh Barat seiring munculnya zaman pencerahan. Sedangkan
intuisi, meskipun tak dianggap sebagai sumber pengetahuan di Barat, namun beberapa
istilah di kalangan saintis semisal kilatan pemikiran (flash of mind) bolehlah
dikata “pengakuan tak langsung” akan ilham, yang pada dasarnya, juga merupakan
sumber pengetahuan.
Gagasan Islamisasi Ilmu yang berkembang sejak era 70-an di kalangan pemikir
Muslim pada dasarnya tidaklah dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan sikap
apologetik umat Islam: “segalanya telah ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah.” Bukan
pula untuk sekadar menambah embel-embel Islam sebagai ‘baju’ di setiap disiplin
ilmu seperti psikologi Islam, sosiologi Islam, antropologi Islam, dll. yang
disertai dengan sejumlah ayat Al-Qur’an maupun hadits Nabi guna menguatkan
suatu teori atau pandangan. Lebih dari itu, konsep dan ide mulia tersebut
berupaya melenyapkan pandangan sekularisasi yang telah mengangkangi fitrah
kemanusiaan manusia dan menyebabkannya teralienasi dari tujuan memakmurkan bumi
(khalifatullah fil ardh) dan terasing dari hakikat serta tujuan hidup
sebenarnya.
Ilmu hukum Indonesia yang dibangun dari teori hukum Indonesia dan filsafat hukum Indonesia jika ditopang dari bangunan kefilsafatan ilmu, maka memiliki landasan ontologis dualisme (materialisme dan spiritualisme sekaligus), landasan epistimologi rasionalisme, empirisme dan wahyu sekaligus, serta landasan aksiologi nilai moral atau etika dan bahkan nilai keagamaan yang sakral.
Ilmu hukum Indonesia yang dibangun dari teori hukum Indonesia dan filsafat hukum Indonesia jika ditopang dari bangunan kefilsafatan ilmu, maka memiliki landasan ontologis dualisme (materialisme dan spiritualisme sekaligus), landasan epistimologi rasionalisme, empirisme dan wahyu sekaligus, serta landasan aksiologi nilai moral atau etika dan bahkan nilai keagamaan yang sakral.
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah penduduk sangat
beragam dari segi etnik, budaya, dan agama. Mayoritas penduduknya beragama
Islam, atau sekitar 88% dari lebih dua ratus juta penduduk. Indonesia pun
memiliki pengalaman sejarah kolonialisme, ketika dijajah Belanda sekitar 350
tahun, juga pernah dijajah Inggris dan Jepang walau dalam waktu yang relatif
singkat. Kenyataan sejarah inilah yang membentuk adanya pluralisme sistem hukum
yang berlaku di Indonesia, baik dari segi waktu atau jenisnya.
Pertama, dari segi pluralitas jenis penduduknya, dapat dikatakan bahwa masyarakat Indonesia mempunyai sistem hukum yang berlaku sejak zaman primitif dari tradisi atau adat-istiadat sampai dengan ketentuan yang diyakini bersama sebagai “hukum adat” yang menjadi hukum kebiasaan (customary law) atau hukum yang hidup dalam masyarakat (living law).
Kedua, ada nilai-nilai agama yang telah diyakini bersama, dijadikan sistem kehidupan mereka dan mengatur hubungan antarsesama, yang kemudian dianggap sebagai produk hukum. Sebagai mayoritas penduduk, “hukum Islam” merupakan salah satu sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat Indonesia. Harus dicatat pula bahwa hukum Islam ini mempunyai pengertian yang dinamis sebagai hukum yang mampu memberi jawaban terhadap perubahan sosial, sehingga tidak harus selalu mengacu kepada kitab fikih klasik.
Ketiga, Indonesia sebagai negara jajahan Belanda, sudah pasti akan menerapkan sistem hukumnya untuk diberlakukan di wilayah koloninya. Pengalaman sejarah inilah yang membentuk hukum positif yang berlaku sekarang sangat dipengaruhi oleh hukum Belanda.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa di Indonesia berlaku tiga sistem hukum, yakni hukum adat, hukum Islam, dan hukum Belanda. Dalam perkembangan sistem hukum di Indonesia selanjutnya, ketiga sistem hukum dalam pengertian yang dinamis itu akan menjadi bahan baku hukum positif yang berlaku sekarang sangat di pengaruhi oleh hukum Belanda. bahan baku hukum positif di Indonesia yang berlaku secara nasional.
Pertama, dari segi pluralitas jenis penduduknya, dapat dikatakan bahwa masyarakat Indonesia mempunyai sistem hukum yang berlaku sejak zaman primitif dari tradisi atau adat-istiadat sampai dengan ketentuan yang diyakini bersama sebagai “hukum adat” yang menjadi hukum kebiasaan (customary law) atau hukum yang hidup dalam masyarakat (living law).
Kedua, ada nilai-nilai agama yang telah diyakini bersama, dijadikan sistem kehidupan mereka dan mengatur hubungan antarsesama, yang kemudian dianggap sebagai produk hukum. Sebagai mayoritas penduduk, “hukum Islam” merupakan salah satu sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat Indonesia. Harus dicatat pula bahwa hukum Islam ini mempunyai pengertian yang dinamis sebagai hukum yang mampu memberi jawaban terhadap perubahan sosial, sehingga tidak harus selalu mengacu kepada kitab fikih klasik.
Ketiga, Indonesia sebagai negara jajahan Belanda, sudah pasti akan menerapkan sistem hukumnya untuk diberlakukan di wilayah koloninya. Pengalaman sejarah inilah yang membentuk hukum positif yang berlaku sekarang sangat dipengaruhi oleh hukum Belanda.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa di Indonesia berlaku tiga sistem hukum, yakni hukum adat, hukum Islam, dan hukum Belanda. Dalam perkembangan sistem hukum di Indonesia selanjutnya, ketiga sistem hukum dalam pengertian yang dinamis itu akan menjadi bahan baku hukum positif yang berlaku sekarang sangat di pengaruhi oleh hukum Belanda. bahan baku hukum positif di Indonesia yang berlaku secara nasional.
Plularisme hukum sudah dikenal di Indonesia sejak jaman kolonial Belanda.
Bahkan dilegalkan dengan pasal 131 I.S. (Indische Statsregeling) yang berisi
ketentuan bahwa di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) berlaku 3 macam sistem
hukum perdata yaitu:
1. Hukum perdata barat (Eropa).
2. Hukum pertdata Islam.
3. Hukum perdata Adat.
Hukum barat yang bercorak kapitalistik dan individualistik memiliki dasar
ontologis monisme yaitu materialisme,bahwa hakekat dari kenyataan yang ada
(Suriasumantri, 1990: 93) yang beraneka ragam itu semua berasal dari materi
atau benda yaitu sesuatu yang berbentuk dan menempati ruang serta kedudukan
nilai benda/badan/materi adalah lebih tinggi daripada roh/sukma/jiwa/spirit
(Fadjar; 2007: 1-2).
Hukum Islam yang memberikan kostribusi terhadap pembangunan hukum
nasional bukanlah hukum Islam yang bersifat universal (Rasyid, 1991 : 6) yang
meliputi peraturan yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia secara
komprehensif, melainkan sebatas hukum Islam yang menyangkut aspek keperdataan
tertentu saja. Itulah yang menjadi hukum yang hidup (living law) dan
selebihnnya seperti aturan-aturan yang menyangkut aspek peribadatan dan lain
sebagainya masih belum menjadi hukum yang hidup dimasyarakat melainkan masih
merupakan moral positif meskipun masyarakat telah menjalankan secara nyata
dalam kehidupannya sehari-hari.
Hukum adat yang memberikan kontribusi terhadap pembangunan hukum nasional
adalah hukum adat yang diketahui sepanjang masih merupakan hukum yang
hidup(living law) dalam masyarakat dan yang masih sesuai dengan nilai-nilai
kemanusiaan yang adil dan beradab. Dasar ontologis dari hukum adat adalah
bersifat dualisme bahkan pluralisme, apalagi dengan mengingat sifat hukum adat
itu yang magis religius. Hakikat dari kenyataan yang ada sumber asalinya berupa
baik materi maupun rohani yang masing-masing bersifat bebas dan mandiri dan
bahkan segala macam bentuk merupakan kenyataan. Hal tersebut berkaitan erat
dengan banyaknya wilayah atau daerah hukum adat (Rechtskringen) di Indonesia
dan bahkan menurut catatan Van Vollen Hoven terdapat 19 daerah hukum adat,
sehingga keberadaan hukum adat sendiri di Indonesia sudah bersifat pluralistik.
Kaidah-kaidah Hukum Internasional memang banyak yang bertentangan dengan kaidah-kaidah Hukum Islam. Khususnya yang berhubungan dengan problematika perdamaian. Bukan hanya pada permasalahan-permasalahan yang telah tersepakati dan berstatus jelas dalam Islam, tapi juga pada permasalahan yang masih debatable dalam lingkup Pakar Hukum Islam sendiri.
Kaidah-kaidah Hukum Internasional memang banyak yang bertentangan dengan kaidah-kaidah Hukum Islam. Khususnya yang berhubungan dengan problematika perdamaian. Bukan hanya pada permasalahan-permasalahan yang telah tersepakati dan berstatus jelas dalam Islam, tapi juga pada permasalahan yang masih debatable dalam lingkup Pakar Hukum Islam sendiri.
Beberapa pemikir Barat mengakui bahwa Islam adalah Undang-undang yang
sempurna bagi kehidupan antara lain:
3.
Prof. Marison yang dengan tandas
mengatakan”Suatu kebenaran yang tidak dapat dibantah lagi bahwa Isalm bukan
hanya sekedar I’tikad dan agama semata, tetapi lebih dari itu. Ia adalah
undang-undang kemasyarakatan yang sempurna dan lengkap, dia adalah peradaban
yang sempurna, rajutan falsafah, pendidikan dan ilmu ilmunya”.
4.
Dr. Paul “Islam bukanlah agama yang mengurusi
urusan keakhiratan saja, lebih dari itu ia adalah undang-undang kehidupan yang
sempurna”. Bahkan beliau mengatakan bahwa Islam adalah agama yang selalu
terbuka kedua daun pintunya. Ia mempunyai pintu yang lebar untuk menerima
perkembangan-perkembangan baru yang dihasilkan oleh para generasi dalam
perjalanan waktu yang panjang.
Islam adalah
satu-satu agama yang dengan ajaran-ajarannya yang luhur mampu menghalangi
kecendrungan massa kepada kefasikan dan kedurhakaan.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, J.N.D.
Hukum Islam Di Dunia Modern. 1990. Amarpress. Surabaya
Jamal, Muhammad,
Ahmad. Membuka tabir Upaya Orientalis dalam Memalsukan Islam. 991. Cv.
Diponegoro. Bandung.
http://
www.aspek ontologis.htm
http:// www.desihanara.co.id
http:// www. Islamisasi
Ilmu Kontemporer.htm
http:// www.republika.co.id
http://
www.27.htm
Bapak Hukum Internasional
Dualisme Hukum
Dualisme Hukum Islam Dan Hukum Barat
Ilmu Hukum
Konsep Hukum