Dualisme Hukum Islam Dan Hukum Barat


DUALISME HUKUM ISLAM DAN HUKUM BARAT

A. HUKUM ISLAM
Hakikat dan etos hukum Islam sangat berbeda dengan konsep-konsep hukum barat. Satu hal yang tidak dapat diragukan adalah bahwa perbedaan pertama yang mendasar dan yang paling jelas, yaitu hukum barat pada dasarnya bersifat sekular sedangkan hukum Islam pada dasarnya bersifat keagamaan. Hukum sipil yang diwarisi oleh negara-negara di dunia sekarang ini bersumber pada hukum Romawi yang merupakan hukum buatan manusia dan sewaktu-waktu dapat dirubah bila suasana menghendaki demikian, sebagaimana ketika hukum tersebut disusun sebelumnya. Berbeda dengan hukum Islam yang secara fundamental dianggap sebagai hukum Tuhan yang pada pokoknya tidak dapat dirubah.
Bagi setiap muslim berlaku nilai etik terhadap semua perbuatan yang dilakukannya yang disebut qubh (keburukan, ketidak sopanan) di satu pihak dan husn (keindahan, kesopanan) di lain pihak. Akan tetapi nilai etik ini tidak semuanya dapat dinilai dengan nalar manusia, bahkan dalam hubungan ini manusia sepenuhnya terikat dengan wahyu Tuhan. Karena itu semua perbuatan manusia tercakup, menurut klasifikasi yang secara merata diakui, dalam 5 macam kategori: wajib, sunnah , mubah, makruh dan haram sesuai dengan ketetapan Allah.
Beberapa pemikir Barat mengakui bahwa Islam adalah Undang-undang yang sempurna bagi kehidupan antara lain:
1.      Prof. Marison yang dengan tandas mengatakan”Suatu kebenaran yang tidak dapat dibantah lagi bahwa Isalm bukan hanya sekedar I’tikad dan agama semata, tetapi lebih dari itu. Ia adalah undang-undang kemasyarakatan yang sempurna dan lengkap, dia adalah peradaban yang sempurna, rajutan falsafah, pendidikan dan ilmu ilmunya”.
2.      Dr. Paul “Islam bukanlah agama yang mengurusi urusan keakhiratan saja, lebih dari itu ia adalah undang-undang kehidupan yang sempurna”. Bahkan beliau mengatakan bahwa Islam adalah agama yang selalu terbuka kedua daun pintunya. Ia mempunyai pintu yang lebar untuk menerima perkembangan-perkembangan baru yang dihasilkan oleh para generasi dalam perjalanan waktu yang panjang.
Tetapi kenyataan ini secara langsung menjurus pada perbedaan pokok yang kedua di antara kedua sistem hukum tersebut, yakni bahwa hukum Islam jauh lebih luas cakupannya dibandingkan dengan hukum Barat. Menurut pemikiran para ahli hukum barat bahwasanya hukum Barat adalah hukun yang dinyatakan, atau setidak-tidaknya dapat dinyatakan dan berlaku pada badan-badan peradilan. Sebaliknya hukum Islam memasukkan segala perbuatan manusia dalam cakupannya karena hukum Islam mencakup segala lapangan hukum baik hukum publik, hukum privat, hukum nasional dan hukum internasional sekaligus.
Hukum Islam itu secara tepat dapat dilukiskan sebagai: “ajaran (doktrin) tentang tugas-tugas atau kewajiban-kewajiban” setiap muslim.
Menurut Austin “materi ilmu hukum” adalah hukum positif: hukum yang ditetapkan oleh para politisi yang berkuasa terhadap rakyat yang mereka kuasai. Sedangkan menurut Hans Kelsen hukum sebagai sistem atau hirarki norma-norma yang memperkirakan secara dini apa yang terjadi pada saat dan situasi tertentu yang semuanya terikat dengan norma pokok dalam konstitusi pertama negara yang bersangkutan.
Menurut para ahli hukum dari aliran historik dalam ilmu hukum, hukum sebagaimana halnya bahasa, tingkah laku dan konstitusi, tidak berdiri sendiri secara terpisah melainkan sebagai salah satu fungsi atau bagian dari kehidupan bangsa secara keseluruhan. Karena hukum dijalankan sama seperti aktivitas-aktivitas lainnya maka dapat dikatakan hukum muncul dari kekuatan-kekuatan yang tidak bersuara dan anonim, dan tidak didorong oleh kehendak secara sukarela atau pun secara sadar, tetapi berlaku sejalan dengan hukum adat.
Pandangan para ahli hukum dari mazhab sosiologik bukan masyarakat yang mempengaruhi hukum, melainkan hukumlah yang menyajikan norma dan pedoman berdasarkan wahyu Allah dan umat muslim terikat untuk melaksanakannya.
Olivecrona menegaskan, kekuatan hukum untuk mengikat kenyataan yang semata-mata berada dalam pikiran orang tidak mengalami perubahan untuk menjalankan fungsi yang berbahaya, reaksioner yang diluar kesadaran sekalipun. Kekuatan tersebut mempengaruhi pikiran manusia bahwa hukum adalah sesuatu yang berada diluar dan diatas kenyataan-kenyataan kehidupan sosial dan memiliki validitas sendiri yang bukan buatan manusia yang dapat dipaksakan berlakunya. Pandangan ini berbeda dengan konsepsi Syari’ah dalam Islam, sebab bagi setiap muslim syari’ah itu benar-benar berada diluar dan diatas fakta-fakta kehidupan sosial yang karenanya tidak dapat diragukan bahwa ia memiliki validitas sendiri yang bukan buatan manusia, seandainya ia tidak dapat dipaksakan berlakunya kepada siapapun, ia tetap merupakan hukum yang disisi Allah wajib ditaati oleh semua orang beriman.
Para fuqaha menyatakan bahwa hukum merupakan norma abadi yang transendental dan wajib dipatuhi oleh manusia kapan saja. Perbedaan konsepsi hukum Islam dan Barat ada dua hal, pertama: para ahli hukum alam menyatakan hukum merupakan sesuatu yang inheren dalam hakikat benda-benda, di alam semesta, dalam hakikat makhluk-mkhluk rasional dan dalam hak-hak asasi manusia. Kedua; secara garis besar hukum terjangkau oleh nalar manusia yang sekurang-kurangnya memiliki kemampuan untuk menetapkan kerangka umum keadilan secara alami.
Mazhab Asy’ariyyah tidak hanya mengingkari pendapat yang menyatakan tanpa wahyu akal manusia dapat memahami nilai etik dalam perbuatan-perbuatan menusia, tetapi juga menentang anggapan bahwa nilai etik itu ada tanpa adanya perintah atau larangan Allah.
Mazhab Mu’tazilah, misalnya, mempunyai pandangan yang sama sekali berbeda. Menurut mereka semua tingkah laku manusia secara intrinsik baik atau jahat, dan Allah menyuruh yang baik karena ia memang baik dan melarang yang jahat karena memang ia jahat.
Dapat ditarik kesimpulan bahwasannya pendapat-pandapat mazhab imperatif dalam ilmu hukum jelas dapat diterapkan terhadap konsepsi Islam bila ”politisi yang berkuasa” menurut Austin dan ”norma pokok” serta ”konstitusi” menurut Hans Keln ditefsirkan dalam pengertian ketuhanan (teologik).
Sumber pertama hukum Islam, yang wajib diyakini oleh setiap muslim, adalah al-Qur’an, yang menurut pandangan ulama ortodoks (salaf) merupakan kalam Allah yang tertulis pada papan yang terjaga (lauh makhfuz) dalam bahasa Arab dan diturunkan kepada Nabi Muahammad SAW pada saat diperlukan dengan perantaraan malaikat pembawa wahyu yaitu Jibril. Akan tetapi menurut pandangan tradisional yang diyakini, hukum itu pertama-tama harus diambil dari sunnah atau hadits Nabi, sebab para fuqaha dari kalangan Sunni berpendapat bahwa setelah Nabi wafat wahyu Allah tidak turun lagi.
Menurut pandangan fiqih klasik, Syari’ah ditetapkan berdasarkan al-Qur’an, Sunnah, dan ijma’ serta analogi (qiyas). Tetapi satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa kenyataan hukum islam tersebut sebagian besar didasarkan atas dua sumber yaitu ijma’ dan qiyas. Dan bahwa dalam sejarahnya, ternyata ijma’ merupakan sumber terpenting diantara semua sumber hukum, sebab meski al-Qur’an perlu ditafsirkan dan hadits masih perlu ditelaah untuk mengetahui keabsahan atau keshahihannya, ternyata ijma’lah yang pada akhirnya menempati posisi menentukan untuk menetapkan aturan hukum yang mengikat.
Jadi, inilah kenyataan yang ada sampai kira-kira tahun 1850. Berdasarkan latar belakang penting inilah kita harus melihat pembaharuan-pembaharuan di masa-masa terakhir.
Mukhlisuddin Ilyas, S.Pd.I(Islamisasi Ilmu Pengetahuan) telah memaparkan secara global wawasan serta gagasan Islamisasi Ilmu. Sebuah apresiasi patut diberikan atas usahanya mengangkat wacana itu dalam tulisan mengingat ide yang mengemuka di kalangan pemikir Muslim sejak era 70-an itu masih dan tetap layak untuk dibahas serta dikaji dalam upaya bersama merajut sebuah peradaban yang berlandaskan nilai-nilai Islami.
Ada beberapa hal yang mesti ditelisik lebih jauh atas tulisan yang bertajuk “Islamisasi Ilmu Pengetahuan”. Salah satu bagiannya, mungkin karena salah kutip, dikemukakan bahwa Syed Muhammad Naquib Al-Attas menjelaskan jiwa utama kebudayaan dan peradaban Islamisasi Ilmu diringkas menjadi lima karakteristik yang saling berhubungan (inter-related characteristics), antara lain:
1.      Mengandalkan kekuatan akal semata untuk membimbing manusia mengarungi kehidupan
2.      Mengikuti dengan setia validitas pandangan dualistis mengenai realitas dan kebenaran
3.      Membenarkan aspek temporal untuk memproyeksi sesuatu pandangan dunia sekuler
4.      Pembelaan terhadap doktrin humanism
5.      Peniruan terhadap drama dan tragedi yang dianggap sebagai realitas universal dalam kehidupan spiritual atau transedental.
Jika dirujuk lebih jauh dalam karyanya, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, ke lima faktor di atas sebagai hal-hal yang menjiwai budaya dan peradaban Barat, dan itu yang menjadi tekanan kritikannya. Bagaimana mungkin Al-Attas, seorang pemikir Muslim yang dengan tegas menolak paham humanisme justru berbalik mendukung doktrin tersebut?.
Kekhawatiran Al-Attas berangkat dari pandangan bahwa ke lima elemen yang membentuk watak kebudayaan serta peradaban Barat itu, kini menular dalam semua bidang ilmu khususnya di bidang sains, ilmu-ilmu fisika dan terapan, dll, yang pada gilirannya menghasilkan manusia yang berwatak sekuleristik, materialistik, serta utilitarianistik (asas manfaat).
Karena alasan kebahasaan pula Al-Attas tak mau menerjemahkan secara serampangan kata sekularisme sebagai ‘ilmaniyyah maupun ‘almaniyyah dalam bahasa Arab sebagaimana jamak dikenal orang. Sebab baik kata ‘ilmaniyyah (dari akar kata ‘ilm = ilmu) maupun ‘almaniyyah (dari akar kata ‘alam = alam) tak punya kaitan sama sekali dengan sekularisme seperti dikenal di Barat. Dan kedua kata itu juga mengandung makna yang positif, tapi tidak demikian halnya dengan sekularisme. Dari itu teranglah bahwa bahasa memiliki kaitan erat dengan konsep dan pemikiran, serta membentuk worldview.
Masih banyak di antara kita yang tidak dapat memahami Barat secara adil. Seringkali superfisial atau simbolistis. Barat masih dianggap identik dengan kemajuan teknologi, bahasa Inggris, metodologi, dan sebagainya. Maka tidak aneh jika dengan cara berpikir ini akan menuduh sesesorang yang berbahasa Inggris, atau menggunakan teknologi Barat, sebagai terbaratkan. Prof Naquib Al Attas sendiri banyak menulis dalam bahasa Inggris dan tidak serta merta epistemologinya terbaratkan.



B. HUKUM BARAT
Barat sejatinya adalah peradaban. Dan matrik setiap peradaban adalah world view, cara pandang terhadap segala sesuatu (Peter Berger), agama atau kepercayaan (S Huntington). Dalam world view ini terdapat konsep-konsep penting yang membentuk sebuah framework berpikir. Setiap peradaban memiliki world view sendiri-sendiri. Fukuyama mengakui world view Islam bertentangan dengan world view Barat liberal. Tampaknya Al Makin tidak sadar bahwa Barat melihat Islam sebagai world view. Karena itu ia melakukan simplifikasi terhadap makna Islam dan Welstanschaung (world view).
Ekstremnya, pembaruan Islam itu tidak juga akomodatif, tapi lebih cenderung konsumtif. Terlalu banyak mengonsumsi ide-ide luar, terlalu sedikit menggali ide-ide dari dalam khazanah pemikiran Islam. Memang benar Islam tidak steril dari anasir asing. Tapi perlu dicatat bahwa Islam bangun dengan tradisi intelektualnya sendiri, sebelum 'meminjam' konsep-konsep asing. "Tidak ada peradaban yang bebas dari proses pinjam meminjam dari peradaban asing", kata Prof Alparslan Acikgence pakar pemikiran Islam asal Turki. Tapi ingat, lanjutnya, peradaban yang dihegemoni oleh konsep-konsep asing lama kelamaan akan mati.
Gagasan Islamisasi ilmu di kalangan pemikir Muslim merupakan program epistemologi dalam rangka membangun (kembali) peradaban Islam. Hal ini disebabkan adanya perbedaan yang fundamental antara pandangan keilmuan dalam Islam dengan peradaban Barat pada tataran ontologi dan epistemologi. Pada sisi ontologi, Barat modern hanya menjadikan alam nyata sebagai objek kajian dalam sains, sehingga pada gilirannya mereka hanya membatasi akal dan panca indra (empiris) sebagai epistemologinya. Hal itu tidaklah ganjil mengingat perkembangan ilmu dan dinamisasi peradaban di Barat bergeser dari satu titik ekstrim ke titik ekstrim lainnya.
Mereka menanggalkan agama karena dianggap telah menghadang perkembangan sains dan pengetahuan. Inilah yang dimaksud dengan perpindahan dari satu titik ekstrim ke titik ekstrim lainnya tadi. Akibatnya epistemologi Barat modern-sekuler melahirkan faham-faham semisal eksistensialisme, materialisme, ateisme, empirisme, rasionalisme, kapitalisme, liberalisme, sosialisme, humanisme, relativisme, agnostisme, dll.
Epistemologi Barat demikian tampak jelas pada logika positivisme (al-Wadh’iyyah al-Manthiqiyyah) bahwa sumber pengetahuan hanya terdiri dari panca indra (empiris) serta akal, sehingga menurut mereka sesuatu dianggap “ilmu” dan “mengandung kebenaran” manakala bisa dibuktikan dengan menggunakan verifikasi logis dan verifikasi empiris. Dengan demikian logika positivisme hanya mementingkan wujud alam ini sebagai materi (physic) serta menepikan makna di balik materi (metaphysic).
Pernyataan itu dengan tegas diutarakan Immanuel Kant, filosof asal Jerman, bahwa metafisika tak memiliki nilai epistemologis (metaphysical assertions are without epistemological values). Perubahan ini kian bertambah ekstrim seiring munculnya Post-Modernisme yang, lewat dekonstruksinya, bukan saja menggugat setiap yang mapan, tetapi juga menggiring manusia ke arah relativisme-nihilistik. Di sinilah gagasan Islamisasi ilmu muncul melalui pendekatan epistemologi.
Dalam pandangan pemikir Muslim, untuk mengetahui hakekat realitas tidaklah cukup dengan menggunakan panca indra dan akal saja, tetapi ada dua unsur lain yang telah diketepikan Barat dalam membangun peradabannya, yaitu: wahyu (revelation) serta ilham (intuisi). Akan halnya wahyu, terang merupakan hal yang ditolak oleh Barat seiring munculnya zaman pencerahan. Sedangkan intuisi, meskipun tak dianggap sebagai sumber pengetahuan di Barat, namun beberapa istilah di kalangan saintis semisal kilatan pemikiran (flash of mind) bolehlah dikata “pengakuan tak langsung” akan ilham, yang pada dasarnya, juga merupakan sumber pengetahuan.
Gagasan Islamisasi Ilmu yang berkembang sejak era 70-an di kalangan pemikir Muslim pada dasarnya tidaklah dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan sikap apologetik umat Islam: “segalanya telah ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah.” Bukan pula untuk sekadar menambah embel-embel Islam sebagai ‘baju’ di setiap disiplin ilmu seperti psikologi Islam, sosiologi Islam, antropologi Islam, dll. yang disertai dengan sejumlah ayat Al-Qur’an maupun hadits Nabi guna menguatkan suatu teori atau pandangan. Lebih dari itu, konsep dan ide mulia tersebut berupaya melenyapkan pandangan sekularisasi yang telah mengangkangi fitrah kemanusiaan manusia dan menyebabkannya teralienasi dari tujuan memakmurkan bumi (khalifatullah fil ardh) dan terasing dari hakikat serta tujuan hidup sebenarnya.
Ilmu hukum Indonesia yang dibangun dari teori hukum Indonesia dan filsafat hukum Indonesia jika ditopang dari bangunan kefilsafatan ilmu, maka memiliki landasan ontologis dualisme (materialisme dan spiritualisme sekaligus), landasan epistimologi rasionalisme, empirisme dan wahyu sekaligus, serta landasan aksiologi nilai moral atau etika dan bahkan nilai keagamaan yang sakral.
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah penduduk sangat beragam dari segi etnik, budaya, dan agama. Mayoritas penduduknya beragama Islam, atau sekitar 88% dari lebih dua ratus juta penduduk. Indonesia pun memiliki pengalaman sejarah kolonialisme, ketika dijajah Belanda sekitar 350 tahun, juga pernah dijajah Inggris dan Jepang walau dalam waktu yang relatif singkat. Kenyataan sejarah inilah yang membentuk adanya pluralisme sistem hukum yang berlaku di Indonesia, baik dari segi waktu atau jenisnya.
Pertama, dari segi pluralitas jenis penduduknya, dapat dikatakan bahwa masyarakat Indonesia mempunyai sistem hukum yang berlaku sejak zaman primitif dari tradisi atau adat-istiadat sampai dengan ketentuan yang diyakini bersama sebagai “hukum adat” yang menjadi hukum kebiasaan (customary law) atau hukum yang hidup dalam masyarakat (living law).
Kedua, ada nilai-nilai agama yang telah diyakini bersama, dijadikan sistem kehidupan mereka dan mengatur hubungan antarsesama, yang kemudian dianggap sebagai produk hukum. Sebagai mayoritas penduduk, “hukum Islam” merupakan salah satu sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat Indonesia. Harus dicatat pula bahwa hukum Islam ini mempunyai pengertian yang dinamis sebagai hukum yang mampu memberi jawaban terhadap perubahan sosial, sehingga tidak harus selalu mengacu kepada kitab fikih klasik.
Ketiga, Indonesia sebagai negara jajahan Belanda, sudah pasti akan menerapkan sistem hukumnya untuk diberlakukan di wilayah koloninya. Pengalaman sejarah inilah yang membentuk hukum positif yang berlaku sekarang sangat dipengaruhi oleh hukum Belanda.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa di Indonesia berlaku tiga sistem hukum, yakni hukum adat, hukum Islam, dan hukum Belanda. Dalam perkembangan sistem hukum di Indonesia selanjutnya, ketiga sistem hukum dalam pengertian yang dinamis itu akan menjadi bahan baku hukum positif yang berlaku sekarang sangat di pengaruhi oleh hukum Belanda. bahan baku hukum positif di Indonesia yang berlaku secara nasional.
Plularisme hukum sudah dikenal di Indonesia sejak jaman kolonial Belanda. Bahkan dilegalkan dengan pasal 131 I.S. (Indische Statsregeling) yang berisi ketentuan bahwa di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) berlaku 3 macam sistem hukum perdata yaitu:
1. Hukum perdata barat (Eropa).
2. Hukum pertdata Islam.
3. Hukum perdata Adat.
Hukum barat yang bercorak kapitalistik dan individualistik memiliki dasar ontologis monisme yaitu materialisme,bahwa hakekat dari kenyataan yang ada (Suriasumantri, 1990: 93) yang beraneka ragam itu semua berasal dari materi atau benda yaitu sesuatu yang berbentuk dan menempati ruang serta kedudukan nilai benda/badan/materi adalah lebih tinggi daripada roh/sukma/jiwa/spirit (Fadjar; 2007: 1-2).
Hukum Islam yang memberikan kostribusi terhadap pembangunan hukum nasional bukanlah hukum Islam yang bersifat universal (Rasyid, 1991 : 6) yang meliputi peraturan yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia secara komprehensif, melainkan sebatas hukum Islam yang menyangkut aspek keperdataan tertentu saja. Itulah yang menjadi hukum yang hidup (living law) dan selebihnnya seperti aturan-aturan yang menyangkut aspek peribadatan dan lain sebagainya masih belum menjadi hukum yang hidup dimasyarakat melainkan masih merupakan moral positif meskipun masyarakat telah menjalankan secara nyata dalam kehidupannya sehari-hari.
Hukum adat yang memberikan kontribusi terhadap pembangunan hukum nasional adalah hukum adat yang diketahui sepanjang masih merupakan hukum yang hidup(living law) dalam masyarakat dan yang masih sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Dasar ontologis dari hukum adat adalah bersifat dualisme bahkan pluralisme, apalagi dengan mengingat sifat hukum adat itu yang magis religius. Hakikat dari kenyataan yang ada sumber asalinya berupa baik materi maupun rohani yang masing-masing bersifat bebas dan mandiri dan bahkan segala macam bentuk merupakan kenyataan. Hal tersebut berkaitan erat dengan banyaknya wilayah atau daerah hukum adat (Rechtskringen) di Indonesia dan bahkan menurut catatan Van Vollen Hoven terdapat 19 daerah hukum adat, sehingga keberadaan hukum adat sendiri di Indonesia sudah bersifat pluralistik.
Kaidah-kaidah Hukum Internasional memang banyak yang bertentangan dengan kaidah-kaidah Hukum Islam. Khususnya yang berhubungan dengan problematika perdamaian. Bukan hanya pada permasalahan-permasalahan yang telah tersepakati dan berstatus jelas dalam Islam, tapi juga pada permasalahan yang masih debatable dalam lingkup Pakar Hukum Islam sendiri.
Beberapa pemikir Barat mengakui bahwa Islam adalah Undang-undang yang sempurna bagi kehidupan antara lain:
3.      Prof. Marison yang dengan tandas mengatakan”Suatu kebenaran yang tidak dapat dibantah lagi bahwa Isalm bukan hanya sekedar I’tikad dan agama semata, tetapi lebih dari itu. Ia adalah undang-undang kemasyarakatan yang sempurna dan lengkap, dia adalah peradaban yang sempurna, rajutan falsafah, pendidikan dan ilmu ilmunya”.
4.      Dr. Paul “Islam bukanlah agama yang mengurusi urusan keakhiratan saja, lebih dari itu ia adalah undang-undang kehidupan yang sempurna”. Bahkan beliau mengatakan bahwa Islam adalah agama yang selalu terbuka kedua daun pintunya. Ia mempunyai pintu yang lebar untuk menerima perkembangan-perkembangan baru yang dihasilkan oleh para generasi dalam perjalanan waktu yang panjang.
Islam adalah satu-satu agama yang dengan ajaran-ajarannya yang luhur mampu menghalangi kecendrungan massa kepada kefasikan dan kedurhakaan.

DAFTAR PUSTAKA
Anderson, J.N.D. Hukum Islam Di Dunia Modern. 1990. Amarpress. Surabaya
Jamal, Muhammad, Ahmad. Membuka tabir Upaya Orientalis dalam Memalsukan Islam. 991. Cv. Diponegoro. Bandung.
http:// www.aspek ontologis.htm
http:// www. Islamisasi Ilmu Kontemporer.htm
http:// www.27.htm


Author:

Facebook Comment