ABSTRAK
Ogan Ilir merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Sumatera
Selatan. Sejarah Ogan Ilir tidak terlepas dari keberadaannya dari pengaruh
suku-suku bangsa di Ogan Ilir seperti Suku Ogan, Suku Pegagan, Suku Penesak dan
Suku Pendatang yang tersebar di berbagai daerah di Kabupaten Ogan Ilir. Terbentuknya
Etnisitas Melayu Ogan Ilir terkait pula dengan keberadaan konsepsi kepuyangan
Sebagai Pembentuk Kelompok Suku Bangsa di Ogan Ilir. Keragaman Etnisitas Melayu
di Ogan Ilir dapat ditelusuri melalui kajian linguistik dan hasil budayanya
yang memiliki kharateristk khas dibandingkan dengan budaya lain. Suku-suku di
Ogan Ilir tersebut memberikan pengaruh yang penting terhadap perkembangan
budaya melayu di Sumatera Selatan khususnya dalam tinjauan bahasa dan
kebudayaan.
Kata Kunci: Etnisitas melayu, Linguisitik, Budaya
BAB I
PENDAHULUAN
Kabupaten Ogan Ilir secara geografis terletak diantara 3°02'
sampai 3°48' LS dan diantara 104°20' sampai 104°48 BT dengan luas wilayah
2.666.07Km2. Daerah Ogan Ilir dilalui oleh Sungai Ogan yang memiliki cabang
sungai dan menyebar di berbagai daerah Kabupaten Ogan Ilir. Kabupaten Ogan Ilir
memiliki batas administrasi yaitu sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten
Banyuasin dan Kota Palembang, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Ogan
Komering Ulu, sebelah Timur berbatasan dengan kabupaten Ogan Komering Ilir, dan
sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Muara Enim.
Keadaan geografis Kabupaten Ogan Ilir memiliki ciriciri
topografi wilayah didominasi oleh hamparan dataran rendah dengan dominasi lahan
lebak seluas 35% dari total luas wilayah dan bertipe iklim tropis basah (Type
B, menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson) dengan musim kemarau terjadi pada
bulan Juni sampai dengan bulan September dan musim hujan terjadi dari bulan
Oktober sampai bulan Mei. Keberadaan Kabupaten Ogan Ilir yang memiliki
kharakteristik wilayah unik tersebut menjadikannya sebagai daerah yang cukup
baik untuk dijadikan lahan pemukiman, pertanian dan perikanan sehingga daerah
ini banyak ditempati oleh berbagai suku bangsa. Adapun suku-suku yang ada di
Kabupaten Ogan Ilir seperti Suku Ogan, Suku Pegagan, Suku Penesak dan Suku
Pendatang yang tersebar di berbagai daerah di Kabupaten Ogan Ilir.
Sebutan Ogan Ilir, dikaitkan dengan keberadaan wilayah
kabupaten ini terletak di bagian hilir Sungai Ogan. Sungai Ogan merupakan satu
diantara sembilan sungai besar yang ada di Sumatera Selatan yang dikenal dengan
sebutan Batanghari sembilan. Kesembilan sungai itu ialah Sungai Ogan, Sungai
Komering, Sungai Lematang, Sungai Kelingi, Sungai Lakitan, Sungai Rawas, Sungai
Rupit, Batanghari Leko dan sungai yang terbesar adalah Sungai Musis.
Kata Ilir yang mengiringi istilah Ogan Ilir dimaksudkan untuk
menggambarkan keadaan geologis ekologinya yang memiliki daerah bentangan
tanah-tanah delta lebak berawa yang mendapat pengaruh dari munculnya pasang
surut air laut yang masuk dari iliran. Daerah iliran, pada musim hujan akan
mengalami banjir, keadaan ini terjadi karena air pasang yang besar di Sungai
Ogan. Sungai Ogan berada di daerah iliran sebetah selatan Palembang. Sungai
Ogan memiliki anak-anak cabang sungai yang bermuara ke Sungai Musi yang bila
terjadi pasang maka tanah lebak di aliran sungai ini banyak mengandung endapan
tanah alluvial yang kemudian menjadikan daerah ini sangat subur untuk daerah
pertanian.
Keberadaan Sungai Ogan dapat ditelusuri sampai ke kaki Bukit
Barisan di perbatasan Sumatera Selatan dengan Bengkulu. Sungai-sungai ini
apabila ditelusuri ke hilir, akan bermuara ke Sungai Musi, dan akhirnya tumpah
ke perairan pantai timur pulau Sumatera yaitu di sekitar Teluk Bangka. Sungai
Ogan menjadi sarana transportasi utama telah mampu mengarahkan pikiran
masyarakat untuk menciptakan identitas kebudayaan. Mereka hidup secara
berkelompok membuat pemukinan di sekitar sungai dan saat itu, mereka umumnya membangun
rumah dengan menghadap ke sungai. Pada umumnya masyarakat Ogan Ilir mempunyai
tiga istilah untuk menyebut sungai yaitu "batanghari" dipergunakan
untuk sungai besar seperti Ogan, "sungai" untuk sungai yang lebih
kecil, dan "arisan" atau "risan" untuk menyebut yang lebih
kecil lagi. Nama-nama tempat di Ogan Ilir juga terkadang menggunakan istilah
atau nama yang berkaitan dengan air dan sungai, misalnya Sungai Pinang, Sungai
Rambutan, Sungai Lebung, Sungai Rotan, Risan Deras, Ulak Petangisan, Ulak Aurstandinng,
Ulak Kembahang, Ulak Kerbau dan sebaginya. Daerah di Ogan Ilir mengalami
perkembangan setelah adanya pendukung kebudayaan Ogan ilir yaitu Suku Ogan,
Suku Pegagan, Suku Penesak dan suku pendatang.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Puyang Sebagai Pembentuk Kelompok
Suku Bangsa Di Ogan Ilir
Suku-suku di Ogan Ilir tersebar berdasarkan kelompok
kekerabatannya yang berpedoman pada kepuyangan yang sama. Puyang berhubungan
erat dengan pengkultusan terhadap sesuatu yang dianggap baik yang didukung oleh
masyarakat. Adanya kepuyangan (poyang) yang sama memperlihatkan unsur
genealogis dengan azas keturunan, sehingga mereka kemudian menempati lokasi dan
pemukiman tertentu dengan batas wilayah tertentu pula. Sebagai contoh adanya
Puyang Air Keruh di Sakatiga, Indralaya, Puyang Ngawak Raden Ranom Wali
Sembilan Rambang Senuling di Lubuk Keliat, Puyang Empat Putih Jage di Lubuk
Tunggal, Rambang Kuang, Puyang Siyuk Turbiyah Ali Melayang di Muara Kuang dan
Puyang Jeragan di Pemulutan.
Berdasarkan kajian etimologis, kata Poyang atau Puyang
berasal dari kata Empu dan Hyang. Kedudukan Puyang dianggap sebagai raja kecil
yang pemilihannya dilakukan secara langsung. Dalam perkembangannya kata puyang
kemudian diistilahkan sebagai bentuk pengkultusan terhadap sesuatu. Nama puyang
mencirikan keberadaan suku, seperti Puyang Rambang yang memimpin Suku Rambang dan
Puyang Bekal memimpin Suku Pegagan. Suku Rambang yang dipimpin oleh Puyang
Rambang, di Ogan Ilir memiliki Sub Suku Ogan yang dikenal sebagai Suku RambangSenuling
yang berdiam sekitar wilayah aliran sungai Ogan bagian tengah. Suku ini berdiam
dan menyebar di Marga Muara Kuang, Marga Lubuk Keliat, Marga Rantau Alai, Marga
Rambang Suku IV, Marga Tembangan Kelekar, Marga Lubai Suku I, Marga Parit,
Marga Lembak, Marga Gelumbang,dan Marga Ketamulia.
Keberadaan Puyang mendapat tempat tersendiri dalam cerita
rakyat di Ogan Ilir. Seperti makam Puyang Samporayo di Tanjung Batu, Menurut
cerita rakyat Tanjung Batu, Puyang Samporayo memiliki Parang Betuah adalah
parang yang dimiliki, yang beratnya 150 kg. Parang itu memiliki kesaktian luar
biasa, parang tersebut dapat membinasakan orang-orang yang tidak jujur atas
perbuatannya di muka bumi. Puyang Samporayo berasal dari negeri seberang dan
mempunyai keahlian membuat parang, beliau menetap di desa Tanjung Batu sampai
akhir hayatnya. Oleh kerena adanya kepercayaan akan Parang Betuah Puyang
Samporayo, masyarakat Tanjung Batu yang dianggap sebagai bagian keturunan
Puyang Samporayo mewarisi kemampuan Puyang Samporayo. Selanjutnya keahlian
tersebut terus diwariskan pada keturunannya di Tanjung Batu yang termasuk
kelompok Suku Penesak.
Adapun cerita rakyat mengenai Puyang Jeragan di Pemulutan,
berawal dari cerita rakyat mengenai keberadaan buaya yang memangsa orangorang
Sudimampir. Nama Sudimampir merupakan nama lain pemulutan pada zaman dahulu.
Keberadaan buaya telah menimbulkan - keresahan dan ketakutan warga, pada saat
itu Puyang Jeragan dengan gelar Puyang Malik berniat untuk menangkap dan
mengusir buayabuaya yang dipimpin oleh pemimpin buaya yang disebut Peti
Bangkang (buaya besar diantara buaya lain).
Atas usaha dan keda kerasnya, Puyang Jeragan berhasil
menjerat Peti Bangkang pada kayu pulai (kayu yang seluruh batangnya bergetah)
setelah itu Puyang Jeragan berniat membunuh Peti Bangkang dengan parang tajam.
Namun, saat ia mengasah parang yang akan digunakan untuk membunuh Peti Bekal,
tiba-tiba muncul tiga lelaki berpakaian hitam dan wanita berpakaian putih yang
memohon maaf atas kesalahan Peti Bangkang. Sebagai balasannya, Puyang Jeragan
akan dianugrani kepandaian berkomunikasi dan mengusir buaya bahkan ia dapat
membunuh buaya. Mereka juga berjanji para buaya tidak akan mengganggu, bila
para buaya melanggar, maka mereka akan mati dengan sengsara. Adapun syarat bagi
Puyang Jeragan adalah dilarang melakukan perzinahan termasuk seluruh
keturunannya, bila pantangan itu di langgar maka mereka akan dimakan buaya.
Puyang Jeragan akhirnya menyetujui perjanjian itu dan membebaskan Peti Bekang.
Maka dari itu daerah Pemulutan sekarang bercirikan simbol buaya (sekarang ini
simbol buaya digunakan di gerbang pintu gapura menuju kecamatan Pemulutan).
Dalam konsepsi masyarakat Ogan Ilir, puyang dijadikan
landasan dan pecloman kekerabatan. Masyarakat yang menyatakan dirinya sebagai
satu genealogis dengan melihat kepuyang (puyang yang sama) atau satu nenek
moyang akan menempati lokasi pemukiman tertentu dengan batas-batas tertentu
pula. Dengan demikian adanya puyang menjadi dasar pembentukan pola sistem
kekerabatan yang kuat. Konsepsi lain tentang puyang berkaitan dengan pemikiran
kepercayaan masyarakat, khususnya terhadap orang-orang yang memiliki kemampuan
khusus yang disebut "betuah", orang dianggap betuah bila memi(iki
kesaktian dalam hal gaib. Dalam perkembangan selanjutnya, puyang kemudian
dijadikan sarana pemujaan pada nenek moyang yang ditandai dengan adanya upaya
mengkramatkan makam-makam puyang.
Keberadaan cerita rakyat di Ogan Ilir khususnya mengenai
keberadaan Puyang, memiliki nilai tradisi lisan dalam mayarakat yang kemudian
berkembang secara turun temurun dan menjadi ciri khas dalam suatu masyarakat.
Puyang sebagai bagian dari identitas kultural menjadi sangat penting sebagai
sumber moralitas warga. Dalam perkembanganya cerita rakyat menanamkan nilanilai
peradaban moralitas yang luhur sehingga menjadi dasar dalam bertindak dan
bertingkah laku dalam masyarakat. Nilai dalam tradisi lisan yang dapat diambil
dari cerita rakyat diatas seperti pada cerita Puyang Samporayo adalah dalam
masyarakat harus bersikap jujur, selain itu cerita tersebut mengajarkan cara
beraktifitas yang baik dan dapat dimanfaatkan bagi masyarakat khususnya pada
masyarakat Suku Penesak di Ogan Ilir. Sedangkan pada cerita Puyang Puyang
Jeragan, nilai histroris dari tradisi lisan yang dapat dimanfaatkan adalah agar
orang yang memiliki kemampuan tidak bersikap semena-mena, kejam, dilarang
membunuh dan dilarang berzina. Karena berbagai alasan manfaat tradisi lisan
tersebut kemudian diajarkan secara turun-temurun hingga saat ini di Ogan Ilir.
B. Penyebaran Suku-Suku Bangsa Di
Ogan Ilir
Ditinjau dari segi antropologi budaya (cultural historisch)
terutama melalui identifikasi linguistik (bahasa) maka penyebaran suku di
daerah Sumatera Selatan dapat dikelompokkan kedalam dua kelompok besar yaitu
kelompok pertama adalah pendukung budaya dan bahasa Seminung (proto melayu)
terdiri dari suku Komering, Suku Ranau dan Suku Daya. Kelompok kedua terdiri
dari pendukung budaya Dempo atau melayu muda (deutro melayu), yaitu suku-suku
Ogan, Suku Semendo dan Suku Kisam.
Suku-suku Ogan yang termasuk ke dalam melayu muda (deutro
melayu) tidak dapat dilepaskan keterkaitannya dengan keberadaannya di Ogan Ilir.
Suku Ogan, secara historis diperkirakan berasal dari daerah Pasemah yang
kemudian bermigrasi. Pada umumnya masyarakat yang mengaku dirinya orang
Pasemah, yang lazim disebut sebagai "sanggar agung" atau
"se-ghase"; ketika mereka tersebar ke daer2hdaerah sekitarnya telah
melahirkan beberapa suku seperti, Suku Gumai, Suku Basemah, Suku Kikim, Suku
Semendo, Suku Enim, Suku Lematang, Suku Kisam, Suku Ogan, Suku Rebang, Suku
Semendo di Lampung dan Suku Serawai di Bengkulu Selatan 'a . Khususnya Suku
Ogan mereka adalah orang-orang yang berasal dari Gunung Dempo menelusuri Sungai
Ogan.
Berdasarkan kajian linguistik penyebaran suku-suku Ogan Ilir
seperti suku Ogan, Pegagan, dan Penesak pada umumnya dikategorikan sebagai suku
Melayu Palembang. Sukusuku ini diidentifikasi sesuai dengan bahasa yang
dipergunakan berkomunikasi dalam pergaulan. Pada umumnya menggunakan bahasa
Melayu Palembang dengan beberapa varian pada aksen dan logat'5. Bahasa Melayu
Palembang dengan beberapa varian dapat ditelusuri keberadaannya' dari pemakaian
bahasa daerah, pada masyarakat Suku Ogan yang meliputi penduduk di sepanjang
Sungai Ogan mulai .dari Desa Munggu sampai ke Embacang Kecamatan Muara Kuang, sebagian
Lubuk Keliat dan kecamatan Rambang Kuang dengan bahasa yang digunakan adalah
bahasa Ogan, yang memiliki ciri-ciri pelafalan_ huruf "e" (disebutkan
dengan cara menutup rongga mulut yang ditutup oleh gigi atas dan bawah yang
dirapatkan) seperti mengucapkan kata “ngape”.
Berbeda dengan Suku Ogan, Suku Pegagan tersebar di Kecamatan
Tanjung Raja, Sungai Pinang, Indralaya Selatan, dan Sebagian Kecamatan
Indralaya, Kandis, Pemulutan dan Rantau Alai 16 yang menggunakan Bahasa Pegagan
sebagai bahasa kesehariannya. Adapun Bahasa Pegagan memiliki ciri-ciri
pelafalan huruf "e" (disebutkan dengan cara membuka rongga mulut
melebar kesamping) seperti mengucapkan kata "sue".
Suku Pegagan pada umumnya bermata pencarian utama dibidang
pertanian. Suku Pegagan sebenarnya identik dQngan Suku Ogan Iliran yang di
aliran sungai Ogan Ilir. Pada umumnya wilayah administratif, berdiam di daerah
daerah berdiam sebelah secara mereka identitasnya yaitu pada marga".
Seperti marga Pegagan Ilir Suku I dahulunya berkedudukan di Tanjung Sejaro,
sekarang masuk dalam wilayah Kecamatan Indralaya, Marga Pegagan Ilir suku II
dahulunya berkedudukan di Sungai Pinang dan Marga Pegagan Ilir Suku III
berkedudukan di daerah Tanjung Raja.
Berdasarkan pada kajian etimologis, kata "pegagan" berasal
dari kata "gogo" yang berarti padi, maka kata "pegagan"
diartikan sebagai "lumbung padi"'$ . Istilah ini mencerminkan bahwa
wilayah ini sejak lama di kenal sebagai lumbung padi. Penduduknya yang
mayoritas adalah petani memiliki semangat gotong royong. Perwujudan kehidupan
masyarakat pegagan yang saling gotong-royong dan saling membantu tercermin
dalam kegiatan pertanian yang disebut "beselang atau be-arian" :
Adapun langkah-langkah dalam proses bertanam padi adalah menyemai benih atau
merencam, bertandur, dan mengetam.
Selain adanya keanakeragaman budaya Suku Ogan dan Suku
Pegagan terdapat pula suku Penesak yang menyebar di Kecamatan Tanjung Batu dan
Payaraman serta sebagian Kecamatan Lubuk keliat. Penduduk asli daerah ini
umumnya berbahasa Melayu yang bercirikan kata "o" misalnya "mau
kemana" menjadi "nak ke mano". Suku Penesak disebut juga Suku
Sasak, dikatakan demikian kemungkinan berasal dari kata "terdesak",
mundur ke belakang. Kata terdesak ini sesuai dengan realitas historis bahwa
suku ini dari tata bahasanya dianggap sebagai orang Melayu Palembang.
Ada dua versi mengenai migrasi suku penesak. Versi pertama
menyebutkan bahwa mereka berasal dari akhir Sriwijaya dan awal berdirinya
Kerajaan Palembang sebagai pendahulu kesultanan Palembang. Mereka dianggap
pewaris kebudayaan Hindu Budha di zaman Sriwijaya yang merasa tidak mau
mengakui Islam yang baru Akibatnya mereka bermigrasi ke dengan naik perahu
Ogan. kedua ini daerah pedalaman pada masa yang lebih muda. Ketika pecah perang
Banten dan Palembang yang dikuti oleh kekalahan Banten tahun 1596, hingga
mereka masuk ke daerah pedalaman uluan. Dari dua versi ini, versi pertama lebih
mendekati jika dihubungkan kesultanan muncul. kemudian pedalaman masuk ke
Sungai Sedpngkan versi merlyebutkan bahwa melakukan eksodus ke suku dengan
bahasnya yang lebih cenderung mengarah pada bahasa Melayu Palembang dari pada
Palembang Jawa atau Bahasa Banten.
Suku ini mendiami Marga Meranjat, Marga Burai, dan Marga
Tanjung Batu 22. Sebagian besar Suku Penesak ini bermata pencarian bertani,
menangkap ikan, tukang kayu, pengrajin, dan pedagang kecil. Hingga saat ini
Kecamatan Tanjung Batu sangat terkenal atas kerajian kayunya, terutama
pembuatan rumah kayu yang memiliki arsitektur unik sebagai ciri khas rumah
panggung Suku Penesak.
C. Hasil Kebudayaan Suku-Suku Bangsa
Di Ogan Ilir
Kebudayaan merupakan segala hasil cipta, rasa dan karsa
manusia yang digunakan untuk kelangsungan hidupnya yang sifatnya dinamis,
artinya berkembang terus menerus/terus berlanjut sampai sekarang. Di setiap daerah
kebudayaan berkembang dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti keadaan alam,
teknologi, ideologi dan sukusuku bangsa yang berada di daerah tersebut.
Suku Pegagan memiliki berbagai hasil budaya yang digunakan
untuk menunjang aktifitas dan mempermuclah pekerjaan yang berhubungan dengan
bertani. Seperti menghasilkan berbagai anyaman bakul, tampah, dan tiko (tikar).
Mereka mendiami daerah Marga Pegagan Ilir Suku I, Marga Pegagan Ilir Suku II, dan
Marga Pegagan Ilir Suku III. Dalam Bahasa Pegagan kegiatan pertanian disebut
dengan "Beume". Kegiatan beume menampilkan bentuk solidaritas tinggi
karena masyarakat saling bekerja sama, bergotong royong dalam melakukan
kegiatan pertanian merencam, bertandur, dan ngetam.
Prinsip solidaritas pada Suku Pegagan yang telah membudaya
hingga sekarang, wujud solidaritas tersebut tampak pada kegiatan :
-
Penukaran tanah dan tenaga dimana
seseorang yang telah memiliki lahan dapat menggarap lahan orang lain dalam
waktu tertentu higga di peroleh hasil yang kemudian dapat dijadikan dasar
keputusan untuk menetapkan sistem bagi hasil.
-
Pertukaran antara tenaga dengan
tenaga, seperti pada kegiatan ambik araian(perarian) atau ngambek arai, dalam
kegiatan ini seseorang bekerja untuk orang lain dalam tempo waktu tertentu dan
selanjutnya dibayar dengan pekerjaan pula pada hari yang lain dengan tempo
waktu yang sama. Kegiatan ngambek arai dilakukan dengan cara bergotong royong
mengerjakan ume (sawah) mulai dari merancah (menyiangi lahan), nanam (menanam),
njawat (menyiangi tanaman padi/ membersihkan dari gulma) hingga ngetam
(memanen).
-
Pertukaran barang dengan barang,
sebagaimana terdapat pada kegiatan nulung sedekah dan dana caram.Nulung sedekah
merupakan bantuan yang dibPrikan kepada seseorang yang menyelenggarakan suatu
kegiatan persedekahan. Bantuan yang diterima akan dicatat. Adapun isi catatan
itu adalah mengenai jenis bantuan, jumlah bantuan dan berasal dari siapa
bantuan tersebut. Dalam kegiatan persedekah dapat kita temukan berbagai
kerajian tangan Suku Pegagan seperti tiko (tikar) yaitualas tempat duduk atau
talas tempat istirahat yang terbuat dari anyaman dan bakul (tempat meletakkan
beras) dan sebaginya
Kegiatan anyaman (mengayam) ditemukan di rumahrumah warga
Desa Sungai Pinang. Pada umumnya kegiatan menganyam dilakukan oleh para ibu.
Anyaman dibuat dari daun bengkoang, yaitu rumput sejenis pandan yang tumbuh di
rawa-rawa yang sudah dikeringkan. Selain menganyam menggunakan daun bengkoang,
mereka juga mampu menganyam pengilar (alat menangkap ikan terbuat dari kawat
yang dianyam) dan bubu (alat menagkap ikan yang terbuat dari bambu). Kegiatan
menganyam umumnya dilakukan pada musim "kangkung nyolor" (kangkung
menjalar) maksudnya suatu masa dimana air menggenang karena air telah surut
tetapi air pasang belum tiba 23 . Selain pertanian, mata pencarian Suku Pegagan
lainnya adalah perikanan. Mereka menangkap ikan dengan menjala dan lebak lebung
(menangkap ikan pada saat air mulai surut, dan ikan-ikan terjebak di dasar
lebak atau sungai).
Adapun mengenai Suku Ogan, mereka juga memiliki kharakteristik
kebudayaan yang khas pula. Suku Ogan juga di kenal sebagai suku bangsa yang
pandai dalam kegiatan pertanian sebagaimana Suku Pegagan. Kehidupan mereka
didasarkan pada kegiatan pertanian, perikanan dan perkebunan. Perbedaan wilayah
yang didiami Suku Ogan dan Suku Pegagan melatarbelakangi perbedaan cara bertani.
Suku Ogan mendiami daerah di sepanjang Sungai Ogan mulai dari Desa Munggu
sampai ke Embacang Kecamatan Muara Kuang.
Topografi wilayah yang didiami oleh Suku Ogan pada umumnya
merupakan dataran yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah yang didiami
Suku Pegagan sehingga "uhang ugan" atau "jeme ugan" (Orang
Ogan) pada umumnya bertani di ladang. Tanah ladang dapat diusahakan sebagai
daerah pertanian dan perkebunan. Dari sektor perkebunan uhang ogan pada umumnya
berkebun pohon karet (para) yang kemudian akan diambil getahnya untuk di jual.
Mengenai kegiatan perikanan, Suku Ogan juga melakukan kegiatan memancing,
menjala dan lebak lebung. Daerah ini kaya akan Ran terutama saat peristiwa "ikan
mudik" (yaitu suatu peristiwa saat ribuan ikan dari hilir akan menuju hulu
berdatangan secara bergelombang) sebab daerah ini dilalui oleh aliran Sungai
Ogan dan anak-anak Sungai Ogan.
Sedangkan mengenai Suku Penesak, mereka mendiami Marga
Meranjat, Marga Burai, dan Marga Tanjung Batu memiliki identitas budaya yang
khas seperti adanya rumah panggung, Rumah panggung yang didiami Suku Penesak,
memiliki tiang-tiang kayu bangunan rumah yang memiliki pola teratur pada pola
keletakan kayunya termasuk jenis kayu maupun ukuran kayunya. Jika tiang-tiang
rumah selasai didirikan, maka dibangun rangka tiang dan rangka atap.
Dinding-dinding rumah dan atap dikerjakan setelah rangka rumah dan atapnya
selesai dibangun. Sebelum memasang lantai kayu, terlebih dahulu dipasang
balok-balok diatas tiangtiang kaki rumah dengan teknik kunci. Balok-balok
tersebut disebut "kitau", setelah itu dipasang balokbalok yang
berukuran lebih kecil disebut "gelagar":
Pemakaian rumah panggung yang terdiri dari jenis rumah limas
dan gudang oleh suku Penesak juga diadopsi (culture adoption) oleh suku-suku
lain di Ogan Ilir yaitu sebagian suku Pegagan dan Suku Ogan. Rumah panggung
telah digunakan sejak lama berfungsi sebagai tempat berlindung, melindungi dari
jangkauan binatang buas, serta bila terjadi air pasang maka rumah panggung
tetap aman untuk dijadikan tempat tinggal, hal ini sangat berhubungan dengan
kondisi tofografi di Ogan Ilir yang sebagian wilayahnya adalah dataran rendah
dan rawa. Rumah panggung banyak ditemukan hampir merata di seluruh Ogan Ilir
seperti di Desa Tanjung Batu, Desa Tanjung Atap dan Desa Meranjat.
Selain rumah panggung, di Ogan Ilir masih banyak ditemukan
rumah yang berada di kawasan Lebak. Tempat tinggal di Lebak di kenal dengan
istilah Pondok atau Sudung. Sudung adalah tempat beristirahat sementara petani
setelah bekerja namun sekarang sudung digunakan pula sebagai tempat tinggal
utama bagi sebagian petani selayaknya pemakaian rumah pada masyarakat Ogan Ilir.
Umumnya ukuran sudung lebih kecil dibandingkan rumah panggung, menggunakan atap
daun ulit (daun nipah), dengan penggunaan kayu yang biasanya tidak begitu
teratur dan tidak berpola. Pemilihan sudung sebagai tempat tinggal
dilatarbelakangi keadaan alam.
Sudung berada di kawasan lebak, kawasan tersebut sangat baik
dimanfaatkan sebagai persawahan dan perikanan. Kawasan lebak dimanfaatkan untuk
persawahan ketika air lebak mulai surut. Pada saat itu para petani mulai dapat
menanam padi. Adapun, sebagai daerah perikananan, kawasan lebak dapat
dimanfaatkan setelah terjadinya air pasang, sebab pada saat air pasang kawasan
lebak . banyak didatangi ikan-ikan yang kemudian dibiarkan untuk hidup dan
berkembang biak secara alami lalu ketika air mulai surut, maka ikan-ikan
tersebut terkumpul sehingga mudah di tangkap.
Keberadaan berbagai suku pendukung kebudayaan Ogan Ilir,
membawa pengaruh besar kerhadap keanekaragaman
budaya di Kabupaten Ogan Ilir. Keanakaragaman budaya tersebut dibuktikan
dengan adanya hasil budaya berupa kerajinan tangan seperti kerajinan songket, kerajinan
emas dan perak, alumunium, dan kuningan pandai besi, kerupuk dan kempelang,
pembuatan tikar, bakul, kipas dari bambu dan sebaginya.
BAB III
PENUTUP
Etnisitas Melayu di Ogan Ilir dipengaruhi oleh pola hubungan
genealogis yakni pengembangan dari satu keluarga dalam masyarakat dari kelompok
masyarakat dianggap berawal dari satu kepuyangan ditinjau dari kajian
linguistik selain itu Etnisitas Melayu di Ogan Ilir memiliki pola penggunaan
bahasa yang khas. Suku Ogan digunakan adalah bahasa Ogan, yang memiliki ciriciri
pelafalan huruf "e" (disebutkan dengan cara menutup rongga mulut yang
ditutup oleh gigi atas dan bawah yang dirapatkan).
Adapun Bahasa Pegagan yang digunakan oleh Suku Pegagan memiliki
ciri-ciri pelafalan huruf "e" (disebutkan dengan cara membuka rongga
mulut melebar kesamping). Sedangkan Suku Penesak umumnya berbahasa Melayu yang
bercirikan kata "o". Mereka memiliki keragaman budaya sebagai aset
kekayaan budaya bangsa yang perlu dilestarikan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. 1991. Sejarah Daerah Sumatera Selatan. Palembang : Departemen
Pendidikan dan kebudayaan bagian proyek inventarisasi dan pembinaan nilai-nilai
budaya Provinsi Sumatera Selatan.
Alimansyur, M. 2006. Profil Seorang Pejuang Sumatera Selatan H.Animan
Achyad. Palembang: percetakan Surya Mas.
Bappeda Kabupaten Ogan Ilir dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Ogan Ilir.
2007. Ogan llir Dalam Angka 2006. Ogan Ilir.
Berlian, S. 2003. Sejarah Ogan Komering Ilir. Palembang: Pemerintah
Kabupaten Ogan Komering Ilir.
Irwanto, D, Murni dan Supriyanto, 2010.Iliran dan uluan dinamika dan
dikotomi sejarah kultural Palembang. Yogyakarta: Eja Publisher.
Budaya Melayu
Kumpulan Makalah
Makalah
Tinjauan Etnisitas Melayu Melalui Kajian Linguistik Dan Ragam Budaya