BAB
II
PEMBAHASAN
A
.Konsep Kelangkaan dan Moral Incentives dalam Pembangunan Ekonomi
Pembangunan
ekonomi pada Negara – Negara berkembang pada berkah sumber daya alam tidak
dapat disangkal lagi. Bagi Indonesia, meskipun sumberdaya minyak dan gas bumi
tidak lagi menjadi prioritas namun gejala ketergantungan tersebut tidak dapat
di alihkan begitu saja. Sekedar tidak menyebut eksploitasi sumberdaya hutan,
pemamfaatan sumber daya lainnya seperti penambangan batu bara, timah, nikel,
bahkan emas yang tidak pernah lepas dari kontroversi adalah sedikit contoh
ketergantungan terhadap sumberdaya atau kekayaan alam, walaupun telah di sertai
dengan beberapa upaya pengembangan teknologi baru di bidang pertambangan dan
energy. Hal yang menjadi menarik adalah kontroversi di sekitar konsep
kelangkaan sumber daya alam itu sendiri.
Sesungguhnya,
etika pembangunan ekonomi yang di kehendaki adalah upaya penyadaran sifat
serakah manusia yang cenderung tidak terpuaskan dalam segala hal, terutama
dalam mengeksploitasi sumberdaya alam dan intervensi manusia terhadap
keseimbangan alamiah. Hal yang perlu di ingat adalah bahwa strategi yang sudah
di terapkan suatu Negara dalam perumusan kebijakan ekonomi belum tentu sesuai
bagi Negara lain. Beberapa prioritas awal untuk operasionalisasi strategi
pembangunan berkelanjutan di Negara kita dapat diikhtisarkan sebagai berikut :
v Pertama,
mulai memperkenalkan unsur – unsur sumberdaya alam dan lingkungan hidup dalam
kerangka analisis ekonomi makro, agar terdapat suatu variasi bagi para pengamat
dan ekonomi pembangunan serta perumus kebijakan di negri ini.
v Kedua,
mulai memikirkan restruktuturisasi industry dengan mentransformasikan atau
menghilangkan industry yang eksploitatif dan penyebab polusi.
v Ketiga,
tidak henti – hentinya mencoba mengintegrasikan aspek dalam pengelolaan
sumberdaya alam atau kebijakan ekonomi secara umum.
B.Keberlanjutan Pembangunan: Paradigma Baru yang
Terlupakan
Paradigma pembangunan
berkelanjutan sebenarnya telah di percaya sebagai paradigm baru dalam
pembangunan, khususnya pada akhir abad ke - 20 atau tepatnya setelah konferensi
lingkungan hidup di Rio de Janeiro di Stockholm tahun 1972. Paradigma baru
tentang berkelanjutan pembangunan dipercaya telah mampu menggeser beberapa
paradigm lama, seperti paradigm pertumbuhan ekonomi yang sangat dominan sampai
tahun 1970- an dan paradigm yang menekankan pemerataan hasil – hasil
pembangunan itu.
Konsep pembangunan
berkelanjutannya sebenarnya sederhana dan sangat mudah dicerna. Bermula dari
kenyataan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi itu ada batasnya dan bahwa
perekonomian yang terlalu mengandalkan pada hasil ekstraksi sumberdaya alam,
tidak akan bertahan lama. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak akan berarti
apa – apa jika degralasi lingkungan yang di timbulkannya ikut di perhitungkan
dalam perhitungan pendapatan nasional.
Defenisi tentang
pembangunan berkelanjutan dapat bermacam- macam tergantung pada interpretasi
dan tujuan kepentingan yang akan di capai. Akan tetapi, defenisi yang di
kemukakan oleh Komisi Dunia tentang LIngkungan Hidup dan Pembangunan sering di
jadikan rujukan. Menurut komisi itu, pembangunan berkelanjutan adalah “
pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa harus
mengorbankan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya sendiri”.
Defenisi tersebut terkesan masih terlalu abstrak, sehingga pada tahap aplikasi
dan operasionalisasi strategi pembangunan berkelanjutan, banyak Negara
mengalami kesulitan tidak terkecuali Indonesia. Kesulitan yang paling mendasar
sebenarnya terletak pada masih terpecahnya pendirian kalangan intelektual dan
perumus kebijakan suatu Negara dalam menyikapi konsep pembangunan
berkelanjutan. Kesulitan tersebut akan menjadi lebih parah jika mereka yang
mendalami bidang ilmu ekonomi sumberdaya alam, yang sebenarnya tergolong baru,
tidak mempunyai confidence untuk menyampaikan pengetahuannya karena iklim
diskursus yang kurang kondusif.
Perkembangan konsep
berkelanjutan akhir – akhir ini telah meliputi cakupan yang lebih luas, tidak
hanya pada lingkup sumberdaya alam dan lingkungan hidup saja, tetapi juga pada
system social dan politik. Pembangunan berkelanjutan masih memerlukan strategi
pemasyarakatan yang efektif sesuai dengan system moral dan etika yang dianut
dalam masyarakat. Hal penting yang harus di ingat adalah strategi yang sudah di
terapkan suatu Negara belum tentu sesuai bagi Negara lain. Beberapa prioritas
awal untuk operasionalilasi pembangunan berkelanjutan akan di uraikan berikut
ini :
v Pertama,
diseminasi tanpa henti tentang berkelanjutan pembangunan ekonomi kepada kaum
elit dan masyarakat luas. Sasarannya adalah isu – isu pelestarian sumberdaya
alam dan lingkungan hidup menjadi agenda pemikiran para ekonom arus tengah dan
perumus kebijakan de negeri ini.
v Kedua,
mulai menerapkan prinsip keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan
pelestarian lingkungan hidup pada beberapa sector vital seta peka lingkungan
hidp seperti industry berat dan ringan yang cenderung menimbulkan polusi, dan
sector kehutanan serta pertanian yang cenderung eksploitatif terhadap sumber
daya alam.
v Ketiga,
senantiasa meningkatkan cakupan penelitian dan pengembangan teknologi yang
akrab lingkungan hidup pada setiap disiplin ilmu melibatkan sector pabrik dan
perusahaan swasta, terutama yang multinasional.
C. Kerancuan Konsep Ekonomi Ekspansif: Kasus Bukit
Jonggol Asri
Ketika proyek
pembangunan Bukit Jonggol Asri seluas 30 ribu hektar disetujui Presiden
Soeharto pada waktu itu, banyak komentar pemisimis bermunculan. Proyek yang
bernuansa kota mandiri itu mengundang komentar dari berbagai kalangan,
khususnya seputar lokasi dan luas areal yang ingin dikembangkan, proses studi
kelayangan yang berlangsung sangat cepat, serta pengalaman dan kredibilitas
pengembang dalam menangani proyek raksasa itu.Bukit Jonggol akan dikembangkan
menjadi kawasan perkotaan seluas 15 ribu hektar sisanya akan dipertahankan sebagai
kawasan non- perkotaan yang masih menyimpan fungsi – fungsi konservasi
sumberdaya alam seperti hutan lindung, waduk, persawahan, perkebunan, hutan
wisata, dan kawasan pariwisata lainnya.
Secara rasional,
kebutuhan perumahan akan slalu meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah
penduduk dan pesatnya aktivitas sector – sector perekonomian.Ekspansi
pembangunan perkotaan ke daerah Bukit Jonggol tentulah sangat sensitive
terhadap berbagai macam bencana alam. Anak usia sekolah dasar pun akan sangat
paham bahwa apabila hutan dan pepohonan di bagian hulu daerah aliran sungai
sudah di gunduli, maka kemampuan tanah untuk menyerap air hujan sudah semakin
kecil, walaupun terkesan tidak langsung,
kawasan Bukit Jonggol sebenarnya masih merupakan daerah hulu dan daerah tamping
yang sangat menentukan keselamatan daerah Jakarta beserta daerah – daerah lain
di hilir.
Jika dahulu kala
pemerintah Hindia Belanda sempat membangun beberapa villa di kawasan puncak,
maka pemerintah penjajah itu telah mengkompensasinya dengan pembangunan
beberapa kanal yang membelah kota Jakarta. Kanal itu juga berfungsi sebagai
penangkal banjir, selain tentunya berfungsi sebagai saluran irigasi, drainase,
dan air minum sebelum dimurnikan. Kini, upaya kompensasi sulit sekali
dilaksanakan, karena di daerah hilir pun, daerah rawa dan wilayah resapan yang
seharusnya dapat menyerap luapan air sungai dan air hujan sudah dijadikan
pertokoan dan perumahan. Bencana alam yang ditimbulkannya serta konsekuensi
kemudaratan tidak hanya ditanggung oleh generasi sekarang, tetapi juga oleh
generasi yang akan datang.
Sebagai penutup,
kontroversi di sekitar pembangunan ekonomi yang ekspansif itu sebenarnya tidak
perlu terjadi jika para pengembang dan perencana pembangunan mengerti tentang
beberapa konsekuensi yang ditimbulkannya. Walaupun kegiatan ekonomi yang
ekspansif kadang dapat dibenarkan secara rasional, namun secara moral
kesengsaraan yang ditimbulkannya karena terganggunya keseimbangan alamiah dan
social – ekonomi politik sukar sekali untuk dapat dibenarkan dengan criteria
apapun.
D. Perdangangan Bebas dan Kualitas Lingkungan Hidup
Setiap tahun, pertemuan
pemimpin ekonomi Negara – Negara anggota Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik selalu
menghasilkan beberapa agenda aksi yang sudah terumuskan dan disetujui untuk
ditindaklanjuti dan di laksanakan. Tidak ada pengecualian, seluruh sector
perekonomian dicanangkan akan memasuki era perdangangan bebas pada tahun 2010
untuk Negara maju dan 2020 untuk Negara berkembang. sektor pertanian yang
diperkirakan akan menjadi ganjalan pertemuan APEC, ternyata tidak terjadi.
Andil tidaklah kecil dalam pencapaian agenda aksi terebut.
Akan tetapi, dari
sekian banyak laporan yang dapat dipantau, tidak satupun membahas antara
perdagangan bebas dan lingkungan hidup. Sebenarnya pembahasan hubungan antara
perdagangan bebas dan lingkungan hidup termasuk relative baru, dibandingkan
misalnya dengan perhatian terhadap perdagangan bebas itu sendiri. Jika tidak
hati – terhadap konseptual antara penganjur
dagangan bebas dan mereka yang peduli terhadap kelestarian lingkungan hidup
tidak akan sampai pada titik temu yang diharapkan.
Banyak tantangan yang
di hadapi ketika perdagangan bebas ini seperti halnya dijumpai di lapangan
adalah iklim ekonomi dan kebijakan dalam negeri suatu Negara tidak terlalu
kondusif untuk melaksanakan kaidah – kaidah perundungan lingkungan hidup yang
berdimensi internasional dan peraturan perdagangan internasional yang
berwawasan lingkungan.
E. Paradoks Paham Individualisme
Dunia pertambangan dan
energy Indonesia kembali mengalami guncangan. Akan tetapi, beberapa hal
negative justru timbul karena individualisme atau privatisasi sumberdaya dan
aktivitas yang sebenarnya hanya layak dikelola dengan usaha bersama, tentunya
dengan aturan main formal dan non – formal yang jelas. Konflik berkepanjangan
antara masyarakat sekitar yang mempunyai system kelembagaan yang telah menyatu
dengan lingkungannya dengan individu atau pihak – pihak yang ditunjuk sebagai
pengelola sumberdaya alam.
Paradoks paham
individualisme khususnya pada kasus manajemen sumberdaya alam dan lingkungan
hidup. Beberapa alternative pendekatan perumusan kebjakan public serta langkah
operasional yang dapat ditempuh juga akan ditawarkan.contoh paling popular dari
paradox paham individualisme adalah cerita tentang dilemma yang dihadapi oleh
dua orang narapidana atau penghuni penjara yang melakukan kejahatan kecil
secara bersama – sama.
Kunci keganjilan paham
individualisme adalah karena tidak adanya komunikasi atau koordinasi antar
pihak – pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan. Tidak berlebihan jika
disimpulkan bahwa peranan pemerintah masih sangat diperlukan dalam masalah –
masalah sensitive seperti alokasi sumberdaya yang sangat terbatas itu. Benar,
bahwa peranan pemerintah tidak harus dituangkan hanya dalam seperangkat
regulasi yang berlebihan atau proteksi bagi yang kuat.
Akan tetapi, aturan
main yang jelas dan enforcement yang tegas serta sanksi yang tidak pilih kasih
bagi pelaku ekonomi yang tidak fair akan sangat efektif dalam system ekonomi
yang berlandaskan paham individualisme. Yang dimaksud dengan ekonomi positive
oleh Milton Friedman adalah bahwa pemerintah harus berperan untuk menciptakan
iklim yang kompetitif antarinvidu dalam masyarakat bukannya sebagai tukang
kipas yang secara terus menerus melaporkan pelanggaran yang dilakukan oleh
anggota masyarakat lainnya.
F..Cek Kosong Pada Rancangan Undang – Undang Migas
Dewan
perwakilan rakyat periode 1997 – 1999 akhirnya menunda pembahasan rancanangan
undang – undang minyak dan Gas bumi yang memang syarat kontradiksi. Frekuensi
diskusi public dan atensi yang diberikan masyarakat, terutama pada vested
interests, mungkin hanya kalah dari atensi tethadap pembahasan paket RUU
politik beberapa wakyu lalu dan paket RUU Otonomi Daerah serta perimbangan
keuangan pusat daerah sejak februari 1999 lalu.
Seperti di ketahui,
nafas utama dari RUU migas itu adalah untuk membuka persaingan yang lebih baik
dan membuka pintu bagi para pelaku usaha di sector perminyakan, dari julu
sampai hilir. Dua peraturan perundangan yang berlaku ( UU Nomor 4 tahun 1960
tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara dianggap tidak compatible
dengan perkembangan zaman. Di samping itu, RUU migas ini terkesan kontradiktif.
Dalam memperlakukan sector hulu, pemerintah masih cukup dominan dengan istilah
– istilah pembinaan dan pengawasan yang mungkin saja akan menimbulkan distorsi
baru yang justru sangat tidak kondusif bagi investor baru, terutama perusahaan
asing.
Kesan kontradiksi yang
paling mencolok adalah bahwa RUU migas itu terlalu sederhana, serba tidak
tegas, seakan – akan berisi Cek Kosong. Oleh karena itu sangat masuk akal
apabila para wakil rakyat mampu menolak, minimal menunda sampai terdapat suatu
perombakan yang cukup drastic, atau RUU migas yang di usulkan pemerintah karena
beberapa pertimbangan yang di atas. Pemecahan RUU menjadi dua bagian juga
merupakan salah satu alternative.
G .Antiklimaks Kontroversi Tambang Emas
Busang
Setelah terjadi debat
public yang berkepanjangan sepanjang tahun 1996 dan 1997, kontroversi tentang
tambang emas Busang berakhir dengan antiklimaks. Debat public yang dipicu oleh
sedikitnya penguasaan property sumberdaya alam oleh Negara Indonesia, perbedaan
konseptual antara segelintir orang yang mengatasnamakan bangsa Indonesia,
pergesaran posisi kunci di kalangan kaum elit pemerintah, keterlibatan elit
pengusaha serta perusahaan raksasa nasional dan asing di negri ini, skala
kontroversi yang sangat mendua, samapai pada masalah teknis kandungan
sebenarnya tambang emas yang menjadi harapan bangsa Indonesia.
Bulan mei 1997
merupakan akhir yang sangat tragis untuk drama kontroversi tambang emas busang,
karena terbukti semua laporan eksplorasi dan pengujian contoh sampel tambang
emas tersebut adalah palsu. Laporan resmi dari perusahan audit ataupun
konsultan independen yang di sewa oleh Bre-x Minerals Ltd di antaranya memuat
beberapa fakta seperti : Properti Busang yang terletak di Provinsi Kalimantan
Timur, Indonesia telah dieksplorasi Bre-x Minerals Ltd dimana hasil pemboran
batuan sejak pertengahan tahun 1995 di Zona Tenggara property tersebut telah
membangkitkan harapan bahwa property ini merupakan salah satu dari deposit emas
tunggal terbesar yang pernah di temukan.
H. Ekonomi Politik Kebijakan Energi
Pada bulan April 1996,
pemerintah Orde Baru merumuskan konsep kebijakan umum bidang Energi ( KUBE )
versi baru , yang konon sebagai pembaruan dari KUBE versi 1991 dan penyesuaian
dengan arah perkembangan pembangunan nasional dalam pembangunan jangka panjang
tahap II. Penyesuaian yang paling penting dalam konteks ekonomi politik energy
Indonesia adalah bergesarnya asumsi dasar tentang kelangkaan energy. Samapai
pada tahap I, sumberdaya energy dianggap berlimbah dan tak terbatas, sementara
menurut versi baru ini, sumberdaya energy telah di pandang sebagai sesuatu yang
langka dan harus dikelola denga lebih bijaksana.
Hal yang menarik untuk
dikemukakan disini adalah konsep kelangkaan yang mungkin di anut oleh para
perumus kebijakan ekonomi di negeri tercinta Indonesia. Dalam ekonomi sumber
daya alam, di kenal dua jenis kelangkaan yaitu kelangkaan absolute dan
kelangkaan relative. Masyarakat pecinta lingkungan hidup dan peminat bidang
kajian ekologi secara umum, lebih mengenal konsep kelangkaan absolute, sedangkan
para ahli ekonomi umumnya lebi mengenal kelangkaan relative. Kelangkaan
absolute lebih merujuk pada persediaan atau stok sumberdaya alam yang dikandung
perut bumi ini adalah terbatas. Semakin cepat laju eksploitasi, maka sumberdaya
alam itu akan semakin cepat habis. Sedangkan kelangkaan relative lebih mengacu
pada ketersediaan suatu sumberdaya alam, dari pada harga atau biaya imbangan
untuk mendapatkan satu satuan produk sumberdaya alam. Semakin mahal suatu
sumberdaya alam, maka menurut konsep kelangkaan relative, sumberdaya alam
tersebut dikatakan makin langka. Demikian pula sebaliknya.
Menurut sejarah
perjalanan kebijakan umum energy di Indonesia, para perumus kebijakan lebih
condong pada konsep kelangkaan relative.konsep dasar utama pembangunan di
bidang energy nasional dalam KUBE adalah meningkatkan nilai tambah melalui
optimasi pemanfaatan sumberdaya alam agar pembangunan berkelanjutan dapat
tercapai. Sedangkan secara spesifik, tujuan utama tersebut dapat dirinci
menjadi :
Ø Menjamin
penyediaan energy di dalam negeri
Ø Mengoptimalkan
pemanfaatan energy
Ø Mempertahankan
kelangsungan fungsi lingkungan hidup
Ø Meningkatkan
ketahanan nasional
I.Sumber Energi Alternatif
Seperti telah
dijelaskan sebelumnya dalam kebijakan umum bidang energy ( KUBE ) indonesia,
kebijakan utama mengenai lingkungan hidup masih blom dijadikan prioritas utama,
atau kalaupun telah tercantum, pendekatan yang diambil blom komperenshif, aspek
insentif dan disinsentif dalam melaksanakan konservasi serta pelestarian
lingkungan hidup yang merupakan upaya prevensi dan mitigasi yang sangat
signifikan belum terumuskan secara jelas.
Sebagai bahan acuan
perbandingan, di Negara – Negara maju seperti Amerika Serikat, perumusan
strategi nasional energy umumnya mempertimbangkan kualitas sumberdaya alam lain
seperti udara, air dan tanah. Walaupun masih Nampak terlalu bias pada kerangka
ekonomi pasar, namun strategi energy nasional Amerika Serikat telah memperlakukan
faktor konservasi dan pelesttarian sumberdaya alam secara inherent dalam setiap
gerak langkah perumusan kebijakan, yang semuanya melibatkan partisipasi public.
Sebagai alternative
pengganti di masa mendatang, energy panas bumi mempunyai karakteristik yang
sangat mendukung untuk setting masyarakat mendatang. Energy panas bumi adalah
jenis energy bersih dan bebas polusi, yang jauh lebih baik di bandingkan dengan
teknologi khusus clean – coal yang di terapkan untuk batubara. Sumber energy
alternative seperti
·
Energi Biomassa, di indonesia energy
biomassa mungkin merupakan energy tertua yang di kembangkan.
·
Energy Surya, sebagai Negara tropis
potensi energy surya di indonesia sangat besar tetapi blom termanfaatkan
sepenuhnya.
·
Energi Angin, potensi energy angin di
indonesia relative kecil, karena secara reata – rata kecepatan angin di
indonesia hanya berkisar 3-5 km per detik.
·
Energi Samudra, energy yang terkandung
dalam gelombang samudra cukup besar yaitu sekitar 20 – 70 kW / meter.
J. Misteri Estimesi Kerusakan Hutan Indonesia
Data yang akurat
tentang kerusakan hutan di indonesia masih terus menjadi misteris. Serangkaian
estimasi dari berbagai lembaga nasional dan internasional telah dilakukan sejak
awal tahun 1990-an sebagai kebangkitan dari kesadaran dan perhatian masyarakat
atas pelestarian lingkungan hidup.
Studi yang pernah dilakukan serta estimasi
yang tersedia mengenai penyebab kerusakan hutan masih terbagi dalam dua
kelompok. Pertama, kelompok yang menganggap bahwa petani kecil, perambah hutan,
dan peladang yang selalu berpindah tempat yang meyebabkan hutan mengalami
kerusakan, dan kedua, kelompok yang menyimpulkan bahwa kebijakan pemerintahlah
yang berkontribusi paling besar, atau minimal yang telah mendorong para
perambah masuk ke dalam hutan sehingga meyebabkan menghilangnya beberapa areal
hutan.
Namun, rentang
perbedaan angka hasil estimasi kerusakan hutan dari lembaga tersebut terlalu
besar dan bervariasi. Defenisi yang digunakan, cakupan pengamatan, serta tujuan
stategis dari estimasi tersebut adalah penyebab utama perbedaan angka – angka
kerusakan hutan di indonesia. Akibat yang paling buruk dari perbedaan itu
adalah rasa ragu dan ketidakpastian sebagian besar masyarakat, terutama peminat
ekonomi kehutanan dan ekonomi sumberdaya alam secara umum.
Perubahan fungsi system
tata guna lahan kesepakatan, lengkap dengan rincian perubahan yang terdiri dari
lima kategori : hutan produksi permanen, hutan produksi sementara, hutan
lindung, hutan konservasi dan hutan konversi. Penurunan luas areal kehutanan
yang paling parah terjadi pada hutan konversi dan hutan produksi. Jika
pembukaan lahan – lahan pertanian dan perkebunan baru justru terjadi di bekas
tanah hutan konversi, maka konsekuensinya terhadap kerusakan lingkungan tidak
sehebat jika perubahan fungsi tersebut terjadi pada kawasan hutan alam, baik
itu hutan lindung maupun hutan produksi.
K. Kepadatan Penduduk dan Kerusakan Hutan
Memasuki paruh kedua
decade 1990-an sebenarnya hamper tidak terdengar lagi pernyataan klasik bahwa
kerusakan hutan tropis disebabkan oleh tekanan penduduk, atau tepatnya system
perladangan berpindah. Tidak seperti pada decade sebelumnya, para ahli serta
perumus kebijakan sector kehutanan dan bidang lingkungan hidup lainnya dengan
enteng sekali mengumbar pernyataan bahwa penyebab utamanya menurunya areal
hutan tropis salah satunya di sebabkan oleh tekanan penduduk, yang tercermin
dari keberadaan para peladang berpindah di daerah – daerah marjinal atau
kawasan yang sensitive dengan kerusakan lingkungan.
Namun inti
permasalahannya adalah benarkah bahwa tekanan penduduk merupakan penyebab utama
kerusakan hutan di indonesia? Lalu, apakah hubungan terbalik antara kepadatan
penduduk dan areal hutan merupakan hubungan kausatif ataukah hanya merupakan
hubungan incidental biasa. Persepsi bahwa tekanan penduduk adalah faktor utama
semakin rusaknya mutu lingkungan hidup sebenarnya di ilhami oleh teori Malthus
ratusan tahun yang lalu.
Sampai saat ini, lapran
yang dapat dipercaya tentang luas dan tingkat kerusakan hutan di indonesia
cenderung masih simpang siur, yaitu sekitar 200 ribu hektar sampai 1 juta
hektar per tahun. Perbedaan angka estimesi itu disebabkan oleh perbedaan
definisi dan ruang lingkup kerusakan hutan yang digunakan. Tanpa mengabaikan
arti penting statistic yang akurat.
Dengan kondisi seperti
itu dan kondisi meningkat produksi pertanian guna member makan lebih banyak
kepala, tidak mustahil bahwa peluang beralihnya fungsi huatan dan rusaknya lingkungan
akan semakin besar dan juga kebijakan public ini yang sangat mendesak agar
tidak terjadi lagi kesalahan persepsi dan ketidakakuratan.
L. Kerusakan Hutan dan Sistem Perladangan
Berpindah
Di seluruh penjuru
dunia, setiap tahun sekitar 12 juta hektar hutan, yang kurang lebih sama dengan
luas Negara inggris mengalami kerusakan. Penyebab kerusakan hutan itu memang
sangat banyak dan mungkin sukar dibuat suatu generelisasi mulai dari penebangan
hutan, kebakaran hutan, konversi hutan menjadi perkebunan, serta pertanian,
transmigrasi, perambahan hutan, dan system perladangan berpindah. System
perladangan berpindah sering kali di jadikan focus utama pembahasan kerusakan
hutan di daerah tropis.
Istilah system
perladangan berpindah dalam hubungannya dengan kerusakan hutan hujan trpois
dapat ditafsirkan secara berbeda, sesuai dengan tujuan dan maksud laporan serta
lembaga yang menerbitkannya. Sementara itu, publikasi Biro Pusat Statistik (BPS
) juga menyatakan bahwa areal system perdagangan berpindah telah meningkat
sebesar 2,9 persen per tahun selama sepuluh tahun terakhir. Peningkatan ini
tentunya sangat berkaitan erat dengan pesatnya pertambahan areal tanaman padi
dan palawijaya di lahan kering, sejalan dengan digalakkannya program
ekstensifikasi dan pemanfaatan darah terlantar.
Sistem perladangan
berpindah berpengaruh terhadap menurunnya areal hutan di suatu tempat adalah
benar adanya. Jadi, jika system perladangan berpindah yang cukup konservatif
ini berkontribusi pada kerusakan hutan maka system perambahan hutan dan
konversi areal kehutanan menjadi kegunaan lain juga pasti sangat berpengaruh
atas deforestasi di indonesia. Implikasi kebijakan yang dapat di turunkan untuk
mengklarifikasi pengaruh system perladangan berpindah terhadap kerusakan hutan
di indonesia sebaiknya di arahkan pada :
Ø Pertama,
senantiasa menggairahkan studi dan invetarisasi kuantitatif atas penyebab
kerusakan hutan, baik yang bernuansa akademik maupun yang berientasi perumusan
kebijakan terutama yang menyangkut hal – hal di luar jangkauan alat analisis
biasa.
Ø Kedua,
formulasi program pemukiman perambahan hutan sebaiknya tidak hanya bersifat
tetapi temporal dan mengejar target jumlah yang dicanangkan semata, tetapi
harus berupa kebijakan terstruktur dan terkait dengan instansi lain, khusunya
Departemen Kehutanan.
Ø Ketiga,
agenda implementasi agar lebi tepat sasaran minal untuk menanggulangi subtitusi
dan tumpang tindih antara kehutanan serta pertanian, dan sebagainya.
M. Program Transmigrasi Merusak Hutan
Perdebatan yang terjadi
di dunia akademik dan politik tentang apakah program transmigrasi telah
menyebabkan kerusakan hutan selalu menarik untuk di amati. Karena itu
karakteristik fisik dan social – ekonomi dari lokasi transmigrasi sangat
berbeda antara yang satu dengan lainnya. Jadi, cukup sulit untuk membuat
generalisasi dan kuantifikasi hubungan kausatif antara keberadaan program
transmigrasi di suatu daerah dengan deforestasi yang terjadi pada daerah atau
wilayah tersebut.
Pada awalnya,
pertimbangan utama pada program transmigrasi adalah untuk pemerataan dan
dsitribusi penduduk, yang pada masa Orde Baru lebih menekankan aspek ekonomis
dari pada aspek demografis. Selama pelita VI, program transmigrasi lebih
difokuskan pada transmigrasi swakarsa mandiri walaupun tidak ada perubahan
mendasar dari pelita – pelita sebelumnya, namun sejak pelita VI pemerintah
mulai mengupayakan berbagai kemudahan bagi transmigran, terutama mengenai akses
tergadap pasar output dan input untuk mendukung proses pembangunan di hamper
seluruh sector perekonomian daerah transmigrasi.
Perspektiv ekonomi dari
hubungan kausatif program transmigrasi dan kerusakan hutan telah menghasilkan
beberapa agenda kebijakan public seperti :
1.
Pertama, besarnya persentase pendapatan
di luar usaha tani dapat dijadikan momentum untuk segera mengadakan evaluasi
tentang arah dan pola pembangunan ekonomi transmigrasi, dimana transmigrasi
yang di harapkan sebagai sentra baru kegiatan sector pertanian dan pusat
pertumbuhan ekonomi di daerah ternyata masih jauh dari kenyataan.
2.
Kedua, melakukan tindak lanjut terhadap
proyek inventarisasi fisik sumberdaya lahan transmigrasi yang telah menggunakan
teknologi satelit dan pengindraan jarak jauh serta kerja sama antara
Departement Transmigrasi dan pemerintah Inggris selama pelita V.
3.
Ketiga, peningkatan kualitas perencanaan
proyek transmigrasi yang berwawasan lingkungan dan ramah terhadap masyarakat
local dengan lebih banyak memberikan kepercayaan kepada pelaksana pembangunan
di daerah, yang nota bene lebih memahami persoalan dan kebutuhan yang di
hadapi.
N. Pembakaran, Pengusahaan, dan Kerusaka Hutan
Kemarau panjang yang
terjadi selama tahun 1997 lalu telah menimbulkan berbagai dimensi. Kekeringan
dan kekurangan air yang menimpa sentra produksi pertanian telah terjadi. Dalam
konteks kerusakan hutan di indoneisa, aspek kebakaran hutan pernah di anggap
sebagai salah satu contributor terbesar bersama – sama dengan faktor system
penebangan hutan serta management system silvikultur yang diterapkan, konversi
hutan menjadi areal perkebunann, pertanian, transmigrasi, perambahan hutan, dan
perladangan.
Di samping itu, hal
yang penting dari penanggulangan kebakaran hutan adalah penegakan peraturan
tentang perusakan sumberdaya hutan dan lingkungan hidup. Hal yang juga tidak
kalah pentingnya adalah tegaknya peraturan penebangan kayu yang tidak
berlebihan dan tidak mengikuti pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Beberapa
macam reformasi kebijakan di sector kehutanan yang minimal, diharapkan dapat
meningkatkan keberlanjutan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan, yang
di antaranya adalah sebagai berikut :
Ø Pertama,
tingkatkan nilai nominal iuran – iuran wajib yang harus dibayar pemegang HPH
kepada pemerintah seperti IHPH, IHH, dan DR agar pendapatan pemerintah dari
sector kehutanan dapat ditingkatkan secara lebih signifikan.
Ø Kedua,
tingkatkan iklim persaingan yang sehat, khususnya di antara para pemegang
konsesi dalam upaya memperoleh tambahan hak pengusahaan hutan berkutnya.
Ø Ketiga,
tingkatkan transparansi dalam pengelolaan sumberdaya kehutanan secara umum
serta melibatkan masyarakat sekitar hutan, pada hakekatnya pemanfaatan
sumberdaya kehutanan adalah untuk kemakmuran rakyat, menuju penghidupan yang
lebih baik dan keterjaminan kehidupan generasi mendatang.
O. Insentif dan Disinsentif dalam Pengelolaan Hutan
Seperti diperkirakan,
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil pemilu tahun1997 akhirnya menyetujui
Rancangan Undang – Undang (RUU) yang diajukan pemerintah menjadi Undang –
Undang ( UU) kehutanan dengan revisi yang tidak terlalu substansial. System
Tataguna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang didasarkan atas pemberian konsesi kepada
pengusaha besar, telah lama di anggap sangat merugikan masyarakat adat dan
perekonomian rakyat secara keseluruhan. Berbagai kesimpulan studi akademik dan
advokasi telah secara gamblang merekomendasikan perlunya perubahan, penataan
ulang, dan reformasi kebijakan serta system tataguna lahan kehutanan tersebut.
Sementara itu,
perubahan tataguna lahan kehutanan walaupun telah tercatat dalam hutan konversi
menjadi kegunaan lain, seperti hutan tanaman industry dan perkebunan besar
telah menghasilkan suatu system vegetasi homogeny yang sangat rawan terhadap
kebakaran. Hal itu diperparah lagi karena metoda pembersihan lahan hutan dalam
rangka konversi tersebut, dilakukan dengan cara pembakaran secara yang seakan
memperoleh legitimasi secara ekonomis dan formal. Faktor – faktor
ketidakjelasan hak dan kepemilikan serta jaminan kepastian atas sumberdaya alam
juga menjadi salah satu pemicu pembukaan lahan dengan cara pembakaran sengaja
dalam skala besar, kebakaran seperti itulah yang akhirnya merambat dan
menghabiskan hutan adat serta lahan masyarkat sehingga dampak yang
ditimbulkannya benar – benar menghancurkan perekonomian masyarakat.
Beberapa pokok pikiran
reformasi yang perlu dipertimbangkan dalam pembahasan kebijakan kehutanan dapat
dirumuskan sebagai berikut :
·
Pertama, mengembangkan iklim berusaha
serta kehidupan bermasyarakat yang memeperhatikan dan peduli terhadap system pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan hidup, langkah ini jelas sangat berhubungan
dengan aspek insentif dan disinsentif ekonomi.
·
Kedua, meningkatkan dan mengembangkan
kemampuan masyarakat adat, koperasi, dan pengusaha besar atau penduduk atas
dasar ekonomi nonkehutanan, dalam upaya pencegahan dan penanggulangan bencana
sumberdaya alam kehutanan.
·
Ketiga, memperbaiki penegakan hokum dan
kebijakan tingkat pemerintah daerah dan pusat. Selain itu, tanggung jawab
pemerintah terhadap dampak negative kebakaran hutan dan lahan harus dapat
diikat secara hokum.
P. Kontroversi Dana Reboisasi
Sektor kehutanan
indonesia tidak pernah sepi dari kontroversi. Sepanjang decade 1990-an, mungkin
hanya sector inilah yang paling popular di mata internasional. Hal ini diawali
dengan laporan studi organisasi pangan dan pertanian ( FAO) serta bang dunia
tentang tingginya laju kerusakan hutan indonesia, manajemen tebang habis dan
untuk membuka areal kebun kayu dan Hutan Tanaman Industri (HTI), simplifikasi
faktor tekanan penduduk, dan perambahan hutan pada persoalan deforestasi.
Kebijakan dana
reboisasi ini dikeluarkan karena para pemegang HPH, setelah menikmati
keuntungan hasil hutan, merasa enggan untuk nmelakukan reboisasi atau penanaman
kembali areal hutannya. Mereka telah merasa ikut memelihara kelestarian dan
keberlanjutan pemanfaatan hutan, dan karenanya tidak perlu harus bersusah payah
melakukan sendiri reboisasi dan penghujauan kawasan hutan.
Kontroversi dana
reboisasi sebenarnya merupakan salah satu sisi dari proses perumusan dan
implimentasi kebijakan public, khususnya yang menyangkut dana nonbudgeter yang
jauh dari memadai yaitu tidak melibatkan public, tidak transparan, dan tidak
ada mekanisme pengawasan. Beberapa jalan keluar untuk menanggulangi, minimal
mengurangi kontroversi itu akan dijelaskan berikut ini :
1.
Pertama, mengembalikan esensi kebijakan management
dana reboisasi sebagai dana nonbudgeter kepada public.
2.
Kedua, mengadakan perubahan kelembagaan
yang mendasar tentang falsafah dana reboisasi itu sendiri dan pengelolaan hutan
secara umum.
Q. Kebijakan Tata Ruang Mega Manipulatif
Kebijakan tata ruang
mega proyek pencetakan sawah sejuta hektar di lahan gambut Kalimantan Tengah
benar – benar berakhir tragis. Betapa tidak, mega proyek yang sempat
dibanggakan pada zaman Presiden Soeharto ternyata penuh kontroversi,
pertentangan kepentinga, nepotisme, dan manipulasi yang melibatkan angka
trilyunan rupiah harus berakhir di meja hijau begitu rezim yang mendukungnya
runtuh.
Pada lahan pertanian
yang mempunyai tingkat kemasaman sangat tinggi, peningkatan dan pemeliharaan
kesuburan tanah adalah masalah yang paling utama. Kandungan bahan organic yang
sangat tinggi bahkan dapat menjadi racun bagi tanaman, walaupun dalam jumlah
tertentu sangat diperlukan untuk menopang pertumbuhan tanaman dan pengikatan
dengan unsure hara lainnya. Beberapa hal yang penting dalam kebijakan dan
intropeksi :
§ Pertama,
kebijakan tata ruang dan perubahan tataguna lahan jelas tidak dapat dilakukan
secara parsial dengan tujuan akhir yang di paksakan.
§ Kedua,
proyek pembukaan lahan gambut sejuta hektar ini tidak lain adalah suatu
kebijakan reaktiv yang lebih banyak berlandaskan pada kebingungan dan
ketegopohan yang luar biasa.
§ Ketiga,
perhatian yang terlalu besar terhadap sisi produksi dalam perumusahan suatu
strategi kebijakan pangan nasional dapat menjadi boomerang.
R. Perspektif Kepemilikan Sumberdaya Alam
ISU mengenai
pengelolaan sumberdaya alam kembali mengemuka setelah terjadi bencana alam yang
bertubi – tubi melanda belakangan ini. Perhatian yang lebih khusus rupanya
tertuju pada musibah banjir besar yang sempat melumpuhkan kota Jakarta dan
terlihat atau terasakan langsung oleh para pembuatan kebijakan negri ini. Pada
hakekatnya terdapat empat macam hak kepemilikan atas sumberdaya yang sangat
berbeda satu dengan lainnya :
1.
Milik Negara, para individu mempunyai
kewajiban untuk mematuhi aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah atau
departemen yang mengelola sumberdaya itu.
2.
Milik pribadi, para individu pemilik
mempunyai hak untuk memanfaatkan sumberdaya sesuai aturan dan norma yang
berlaku serta mempunyai kewajiban untuk menghindari pemanfaatan sumberdaya yang
eksesif.
3.
Milik umum, kelompokan masyarakat yang
berhubungan dengan sumberdaya milik umum mempunyai hak untuk tidak
mengikutsertakan individu lain yang bukan berasal dari kelompok itu.
4.
Tak bertuan, dalam hal ini tidak ada
unsure kepemilikan atas sumberdaya tersebut sehingga setiap orang dari kelompok
social manapun hanya memiliki privilis.
Beberapa hasil dari
penelitian terakhir membuktikan secara ekonomis, ekologis, dansocial bahwa
management sumberdaya milik bersama jauh lebih efisian karena mekanisme
kelembagaan dan control yang sangat efektiv. Oleh karena itu, apakah tidak
sebaiknya kebijakan public dalam bidang sumberdaya alam dan lingkungan hidup di
massa datang kembali diarahkan untuk meningkatkan peran kelompok social-
budaya, seperti kelembagaan marga dan adat masyarakat setempat yang memang
telah berhubungan langsung dengan sumberdaya alam selama bertahun- tahun.
S. Pendekatan Dialogis dalam Manajemen Agroforestry
Permasalahan sentral
yang dihadapi dalam proses difusi dan permasyarakatan system pertanian
kehutanan di indonesia adalah ketidakmampuan para perumus kebijakan serta
pelaku ekonomi untuk menterjemahkan syarat- syarat lingkungan spesifik dalam
system ini. Sementara itu, sebagian besar
perumus kebijakan baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah masih
terkesima atas kesuksekan system pemerintah yang cenderung mengikuti satu garis
linier.
Kelebihan dari
pendekatan dialogis dan metode partisipatif ini antara lain adalah bahwa jenis
teknologi dan rancangan system pertanian- kehutahan akan beradaptasi dengan
kondisi tanah, klimat, struktur dan peluang pasar setempat. Pendekatan dialogis
seperti ini tidak berarti harus mengurangi komposisi penelitian komponen pada
masing- masing laboratorium dan stasiun percobaan, tetapi akan lebih difokuskan
pada kebutuhan petani.
T. Kompleksitas Transmigrasi Swakarsa
Pada pembangunan jangka
panjang tahap kedua, agenda pembangunan ekonomi transmigrasi dan pemukiman
perambah hutan tampaknya tidak kalah pelik dengan PJP atau pelita- pelita
sebelumnya. Menitikberatkan pada transmigrasi swakarsa atau transmigrasi
spontan ternyata tidak semudah menerapkan pola pembangunan transmigrasi umum
seperti yang dilakukan selama ini: persiapan, pengerahan, pembinaan, dan
penyerahan kepada pemerintah daerah setempat. Tantangan utama pembangunan
transmigrasi swakarsa adalah masih dominanya persepsi klasik, terutama dari
dunia internasional bahwa transmigrasi spontan berkorelasi positif dengan
hancurnya hutan tropis, degradasi lahan, dan kerusakan lingkungan lainnya.
Dua kategori utama
transmigrasi yang biasa digunakan adalah transmigrasi umum dan transmigrasi
swakarsa. Keduanya dapat di pecah lagi menjadi beberapa kategori kecil diantara
keduanya. Transmigrasi umum atau transmigrasi yang disponsori oleh pemerintah
adalah proses pemerintahan penduduk dari daerah berpenduduk padat ke daerah berpenduduk
kurang padat.
Konsep degradasi lahan
sebenarnya sangat kompleks, dimana pendekatan yang umum di pakai oleh para ahli
ekonomi sumber daya adalah tingkat erosi atau laju kehilangan tanah tahunan.
Hal tersebut mungkin juga disebabkan oleh tidak tersedianya rincian data
tentang arus transmigrasi dari daerah asal ke daerah tujuan, sehingga pengaruh
program transmigrasi terhadap degradasi lahan di suatu daerah tidak dapat
ditentukan dengan sempurna.
W.Mempertanyakan Efektivitas Program
Konservasi Lahan
Dalam konteks perubahan
ekonomi, penyebab serta akibat degradasi lahan belum banyak diketahui secara
pasti. Beberapa studi yang dilakukan tidak mempertimbangkan aspek historis dari
perubahan tata guna lahan dan terperangkap dalam satu kerangka analisis saja. Persuasi
terhadap para petani untuk mengadopsi system teras, pola pertanian bergilir,
pertanian – kehutanan, serta tehnik konservasi lahan lainnya dengan cara
subsidi capital dan input di anggap sebagai cara ampuh untuk memperkecil
degradasi lahan. Akan tetapi, kebijakan agronomis seperti itu tidak mampu
mengendalikan proses degradasi lahan serta tidak dapat bertahan lama jika tidak
disertai dengan kebijakan ekonomi secara makro.
Program konservasi
lahan dimaksudkan untuk mencegah dan mengurangi pengaruh negative dari
degradasi lahan sekaligus meningkatkan pendapatan petani. Akan tetapi, beberapa
bukti empiris dan teoritis yang di temui baru – baru ini mengenai program
konservasi lahan dengan metode subsidi dan persuasi terhadap petani cukup
mengejutkan. Ketergantungan terhadap subsidi input terutama pupuk dan benih
serta bibit unggul di anggap sebagai penyebab utama ketidakberlanjutan program
konservasi di indonesia.
X. Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan terhadap
Perekonomian Rakyat
Kebakaran hutan dan
lahan pada tahun 1997 telah menimbulkan serangkaian kerugian ekonomis,
kehancuran asset yang paling berharga, kehilangan kesempatan berusaha, ledakan
pengangguran, ancaman rawan pangan, dan penderitaan sosiologis lainnya yang
harus ditanggung perekonomian rakyat karena makin memburuknya system social
kemasyarakatan dan kelembagaan ekonomi yang ada.
Kerugian ekonomis yang
diderita menjadi sangat signifikan, terutama pada system perekonomian rakyat
yang sangat bergantung pada sumberdaya alam dan kehutanan seperti perkebunan
rakyat, pertanian tanaman pangan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan non kayu,
perikanan tangkap di sungai dan rawa, serta usaha informal lainnya yang selama
ini menjadi andalan masyarakat di daerah terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
Kebakaran hutan dan
lahan masih akan terjadi lagi di masa mendatang walaupun berbagai macam
preventive dan tindakan rehabilitasi kebakaran hutan atau restorasi degradasi sumberdaya alam secara
umum telah dicanangkan oleh pemerintah. Hal ini sangat berkaitan dengan
karakteristik dan situasi kontraproduktiv berkepanjangan yang ditimbulkan oleh
kerangka kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang lebih besar.
Kepeduliandan sense of
possession dari masyarakat terhadap situasi negative apapun, termasuk kebakaran
hutan, hanya akan dapat tumbuh jika tedapat pengakuan masyarakat. Demikian
pula, luas unit usaha dalam kebijakan tataguna lahan harus disesuaikan dengan
resiko kebakaran dan degradasi sumberdaya alam lainnya.
BAB
III
PENUTUP
3.1.
Kelebihan Buku
Buku yang berjudul
Pengelolaan Sumberdaya Alam Indonesia ini membahas tentang berbagai banyak
cara- cara Pengelolaan Sumberdaya Alamyang terdapat di Indonesia, dampak
negative dan positive terhadap kehidupan, serta bagaimana mengendalikan dan
menjaga kelestarian sumberdaya alam yang ada di Indonesia dengan mencantumkan
Peraturan Perundang-undangan tentang Pelestarian Lingkungan Hidup di Indonesia.
Hal ini membuat buku ini menjadi berkualitas dan sangat menarik juga
bermanfaat.
Hal-hal yang dibahas
dalam buku ini menurut saya sudah lengkap dan menarik, mencakup semua
aspek-aspek pengelolaan sumberdaya alam,
serta cara – cara yang di lakukan oleh pemerintah untuk pelestarian
Sumberdaya Alam yang jauh lebih baik.
Di tinjau dari sesi couper atau sampul buku Pengelolaan Sumberdaya Alam
Indonesia ini dicantumkan gambar pengelolaan
sumberdaya alam di dalamnya, sehingga cukup menarik untuk di baca dan sangat
mudah di pahami bagi pembaca buku.
Dilihat dari segi kertas
yang digunakan dalam buku Pengelolaan Sumberdaya Alam Indonesia termasuk tebal, putih dan bersih, sehingga
tulisan dalam buku ini tampak terlihat dengan jelas dan sangat mudah di baca.
Di tinjau dari segi
penulisannya buku Pengelolaan Sumberdaya
Alam Indoneisa ini rapi, dimulai dengan pengertian, kemudian masalah
lingkungan, dampaknya terhadap kehidupan, dan di akhiri dengan penyelesaian
masalah. Semua diatur dan di buat dengan sangat bagus dan rapi sehingga lebih
mudah untuk di pahami oleh pembaca.
Buku Pengelolaan
Sumberdaya Alam Indonesia ini mencantumkan gambar-gambar dari lingkungan, sehingga kita
lebih mudah untuk memahami maksud dan tujuan dari penulis buku tersebut.
3.2.
Kelemahan Buku
Buku Pengelolaan
Sumberdaya Alam Indonesia ini membahas tentang cara – cara efektif mengenai
Pengelolaan Sumberdaya Alam Indoneisa , baik secara ekonomi, etika dan praksis
kebijakan,dan juga mengenai dampak positif dan negativnya terhadap kehidupan
serta bagaimana cara pengendalian dan pelestarian Sumberdaya Alam yang baik dan yang akan di terapkan nantinya.
Dilihat dari segi
penulisannya , buku Pengelolaan Sumberdaya Alam Indonesia bahasa yang digunakan
masih sangat baku sehingga kurang efektif untuk di pahami oleh pembaca buku
tersebut.
Dalam buku Pengelolaan Sumberdaya Alam
Indonesia ini masih terdapat kata dan kalimat yang tidak ilmiah sehingga ini
merupakan salah satu faktor berkurangnya minat pembaca dimana pembaca pertama
sangat tertarik sehingga menimbulkan rasa tidak ada minat lagi untuk membaca
buku tersebut karena menggunakan bahasa yang masih ilmiah.
Buku Pengelolaan
Sumberdaya Alam ini banyak mencantumkan gambar-gamba, grafik – grafik juga
tabel – tabel, namun gambar, grafik – grafik juga tabel – tabel yang dibuat dalam buku ini tampak kurang
jelas dan kurang efektif.
Kumpulan Makalah
Makalah
Makalah Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia
Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia
Sumber Daya Alam