DINAMIKA AKTUALISASI NILAI
PANCASILA DALAM KEHIDUPAN
BERBANGSA DAN BERNEGARA
M u l y o n o
Jurusan
Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Diponegoro
Abstract
This paper tries to give a
philosophical answer towards problem of dynamics in Pancasila.
It is expected able to give justification for Pancasila;
so that it will enrich teoritical sides
and develop Pancasila praxis as natonal foundation and ideology of Indonesian
people.It is hoped that this paper will give a contribution for keeping
consistency, relevance, and contextualization of Pancasila is always needed by
Indonesian people who are continuously developing according to world
development. The realization of the expectation will make Pancasila able to play
a role: internally, it functions as a glue of unity and union of Indonesian
people and directs nation struggle towards its ideals. Externally, it functions
as a nation identity so that Indonesian people are different from other people.
Key Words: dynamics in Pancasila, consistency, relevance,
contextualization, identity.
1. Pendahuluan
Pancasila
sebagai dasar dan ideologi negara merupakan kesepakatan politik para founding fathers ketika negara Indonesia
didirikan. Namun dalam perjalanan panjang
kehidupan
berbangsa dan bernegara, Pancasila sering mengalami berbagai deviasi dalam aktualisasi
nilai-nilainya. Deviasi pengamalan Pancasila tersebut bisa berupa penambahan, pengurangan,
dan penyimpangan dari makna yang seharusnya. Walaupun seiring dengan itu sering
pula terjadi upaya pelurusan kembali.
Pancasila sering digolongkan ke dalam ideologi tengah di antara dua ideologi
besar dunia yang paling berpengaruh, sehingga sering disifatkan bukan ini dan
bukan itu. Pancasila bukan berpaham komunisme dan bukan berpaham kapitalisme.
Pancasila tidak berpaham individualisme dan tidak berpaham kolektivisme. Bahkan
bukan berpaham teokrasi dan bukan perpaham sekuler. Posisi Pancasila inilah
yang merepotkan aktualisasi nilai-nilainya ke dalam kehidupan praksis berbangsa
dan bernegara. Dinamika aktualisasi nilai Pancasila bagaikan pendelum (bandul
jam) yang selalu bergerak ke kanan dan ke kiri secara seimbang tanpa pernah
berhenti tepat di tengah.
Pada saat
berdirinya negara Republik Indonesia, kita sepakat mendasarkan diri pada
ideologi Pancasila dan UUD 1945 dalam mengatur dan menjalankan kehidupan
negara.
Namun sejak Nopember 1945 sampai sebelum Dekrit Presiden 5
Juli 1959 pemerintah Indonesia mengubah haluan politiknya dengan mempraktikan
sistem demokrasi liberal.Dengan kebijakan ini berarti menggerakan pendelum
bergeser ke kanan. Pemerintah Indonesia menjadi pro Liberalisme.Deviasi ini
dikoreksi dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.Dengan keluarnya Dekrit
Presiden ini berartilah haluan politk negara dirubah. Pendelum yang posisinya
di samping kanan digeser dan digerakan ke kiri.Kebijakan ini sangat
menguntungkan dan dimanfaatkan oleh kekuatan politik di Indonesia yang
berhaluan kiri (baca: PKI) Hal ini
tampak pada kebijaksanaan pemerintah yang anti terhadap Barat (kapitalisme) dan
pro ke Kiri dengan dibuatnya poros Jakarta-Peking dan Jakarta- Pyong Yang. Puncaknya
adalah peristiwa pemberontakan Gerakan 30 September 1965. Peristiwa ini menjadi
pemicu tumbangnya pemerintahan Orde Lama (Ir.Soekarno) dan berkuasanya
pemerintahan Orde Baru (Jenderal Suharto). Pemerintah Orde Baru berusaha mengoreksi segala
penyimpangan yang dilakukan oleh regim sebelumnya dalam pengamalan Pancasila
dan UUD 1945. Pemerintah Orde Baru merubah haluan politik yang tadinya mengarah
ke posisi Kiri dan anti Barat menariknya ke posisi Kanan. Namun regim Orde
Barupun akhirnya dianggap penyimpang dari garis politik Pancasila dan UUD 1945,
Ia dianggap cenderung ke praktik Liberalisme-kapitalistik dalam menggelola
negara. Pada tahun 1998 muncullah gerakan
reformasi yang dahsyat dan berhasil mengakhiri 32 tahun kekuasaan Orde Baru. Setelah
tumbangnya regim Orde Baru telah muncul 4 regim Pemerintahan Reformasi sampai
saat ini. Pemerintahan-pemerintahan regim Reformasi ini semestinya mampu
memberikan koreksi terhadap penyimpangan dalam mengamalkan Pancasila dan UUD
1945 dalam praktik bermasyarakat dan bernegara yang dilakukan oleh Orde Baru.
2.Dinamika
Aktualisasi Nilai Pancasila
2.1.Kerangka
Teoritik
Alfred North Whitehead (1864 – 1947), tokoh utama filsafat
proses, berpandangan bahwa semua realitas dalam alam mengalami proses atau
perubahan, yaitu kemajuan, kreatif dan
baru. Realitas itu dinamik dan suatu proses yang terus menerus “menjadi”,
walaupun unsur permanensi realitas dan identitas diri dalam perubahan tidak boleh diabaikan. Sifat alamiah itu
dapat pula dikenakan pada ideologi Pancasila sebagai suatu realitas (pengada).
Masalahnya, bagaimanakah nilai-nilai Pancasila itu diaktualisasikan dalam
praktik kehidupan berbangsa dan bernegara ? dan, unsur nilai Pancasila manakah yang mesti harus kita pertahankan
tanpa mengenal perubahan ?
Moerdiono
(1995/1996) menunjukkan adanya 3 tataran nilai dalam ideologi Pancasila. Tiga
tataran nilai itu adalah:
Pertama, nilai dasar, yaitu suatu
nilai yang bersifat amat abstrak dan tetap, yang terlepas dari pengaruh
perubahan waktu.Nilai dasar merupakan prinsip, yang bersifat amat abstrak, bersifat
amat umum, tidak terikat oleh waktu dan tempat, dengan kandungan kebenaran yang
bagaikan aksioma.Dari segi kandungan nilainya, maka nilai dasar berkenaan
dengan eksistensi sesuatu, yang mencakup cita-cita, tujuan, tatanan dasar dan
ciri khasnya. Nilai dasar Pancasila ditetapkan oleh para pendiri negara.Nilai
dasar Pancasila tumbuh baik dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan
penjajahan yang telah menyengsarakan rakyat, maupun dari cita-cita yang
ditanamkan dalam agama dan tradisi tentang suatu masyarakat yang adil dan
makmur berdasarkan kebersamaan, persatuan dan kesatuan seluruh warga
masyarakat.
Kedua, nilai instrumental, yaitu
suatu nilai yang bersifat kontekstual. Nilai instrumental merupakan penjabaran
dari nilai dasar tersebut, yang merupakan arahan kinerjanya untuk kurun waktu
tertentu dan untuk kondisi tertentu. Nilai instrumental ini dapat dan bahkan
harus disesuaikan dengan tuntutan zaman. Namun nilai instrumental haruslah
mengacu pada nilai dasar yang dijabarkannya. Penjabaran itu bisa dilakukan
secara kreatif dan dinamik dalam bentuk-bentuk baru untuk mewujudkan semangat
yang sama, dalam batas-batas yang dimungkinkan oleh nilai dasar itu.Dari
kandungan nilainya, maka nilai instrumental merupakan kebijaksanaan, strategi,
organisasi, sistem, rencana, program, bahkan juga proyek-proyek yang
menindaklanjuti nilai dasar tersebut. Lembaga negara yang berwenang menyusun
nilai instrumental ini adalah MPR, Presiden, dan DPR.
Ketiga, nilai praksis, yaitu nilai yang terkandung dalam kenyataan
sehari-hari, berupa cara bagaimana rakyat melaksanakan (mengaktualisasikan)
nilai Pancasila. Nilai praksis terdapat pada demikian banyak wujud penerapan
nilai-nilai Pancasila, baik secara tertulis maupun tidak tertulis, baik oleh
cabang eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, oleh organisasi kekuatan sosial
politik, oleh organisasi kemasyarakatan, oleh badan-badan ekonomi, oleh
pimpinan kemasyarakatan, bahkan oleh warganegara secara perseorangan. Dari segi
kandungan nilainya, nilai praksis merupakan gelanggang pertarungan antara
idealisme dan realitas.
Jika ditinjau
dari segi pelaksanaan nilai yang dianut, maka sesungguhnya pada nilai praksislah
ditentukan tegak atau tidaknya nilai dasar dan nilai instrumental itu.
Ringkasnya bukan pada rumusan abstrak, dan bukan juga pada kebijaksanaan,
strategi, rencana, program atau proyek itu sendiri terletak batu ujian terakhir
dari nilai yang dianut, tetapi pada kualitas pelaksanaannya di lapangan. Bagi
suatu ideologi, yang paling penting adalah bukti pengamalannya atau
aktualisasinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Suatu
ideologi dapat mempunyai rumusan yang amat ideal dengan ulasan yang amat
logis serta konsisten pada tahap nilai
dasar dan nilai instrumentalnya. Akan tetapi, jika pada nilai praksisnya
rumusan tersebut tidak dapat diaktualisasikan, maka ideologi tersebut akan
kehilangan kredibilitasnya.Bahkan Moerdiono (1995/1996: 15) menegaskan, bahwa
bahwa tantangan terbesar bagi suatu ideologi adalah menjaga konsistensi antara
nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praksisnya. Sudah barang tentu jika
konsistensi ketiga nilai itu dapat ditegakkan, maka terhadap ideologi itu tidak
akan ada masalah. Masalah baru timbul jika terdapat inkonsisitensi dalam tiga
tataran nilai tersebut.
Untuk menjaga
konsistensi dalam mengaktualisasikan nilai Pancasila ke dalam praktik hidup
berbangsa dan bernegara, maka perlu Pancasila formal yang
abstrak-umum-universal itu ditransformasikan menjadi rumusan Pancasila yang
umum kolektif, dan bahkan menjadi Pancasila yang khusus individual (Suwarno,
1993: 108). Artinya, Pancasila menjadi sifat-sifat dari subjek kelompok dan
individual, sehingga menjiwai semua tingkah laku dalam lingkungan praksisnya
dalam bidang kenegaraan, politik, dan pribadi.
Driyarkara
menjelaskan proses pelaksanaan ideologi Pancasila, dengan gambaran gerak
transformasi Pancasila formal sebagai kategori
tematis (berupa konsep, teori) menjadi kategori
imperatif (berupa norma-norma) dan kategori operatif (berupa praktik hidup). Proses tranformasi
berjalan tanpa masalah apabila tidak terjadi deviasi atau penyimpangan, yang berupa
pengurangan, penambahan,dan penggantian (dalam Suwarno, 1993: 110- 111). Operasionalisasi
Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara haruslah
diupayakan secara kreatif dan dinamik, sebab Pancasilasebagai ideologi bersifat
futuralistik. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan
nilai-nilai yang dicita-citakan dan ingin diwujudkan.
Masalah
aktualisasi nilai-nilai dasar ideologi Pancasila ke dalam kehidupan praksis
kemasyarakatan dan kenegaraan bukanlah masalah yang sederhana. Soedjati
Djiwandono (1995: 2-3) mensinyalir, bahwa masih terdapat beberapa kekeliruan
yang mendasar dalam cara orang memahami dan menghayati Negara Pancasila dalam
berbagai seginya. Kiranya tidak tepat membuat “sakral” dan taboo berbagai
konsep dan pengertian, seakan-akan sudah jelas betul dan pasti benar, tuntas
dan sempurna, sehingga tidak boleh dipersoalkan lagi. Sikap seperti itu membuat
berbagai konsep dan pengertian menjadi statik, kaku dan tidak berkembang, dan
mengandung resiko ketinggalan zaman, meskipun mungkin benar bahwa beberapa
prinsip dasar memang mempunyai nilai yang tetap dan abadi. Belum
teraktualisasinya nilai dasar Pancasila secara konsisten dalam tataran praksis
perlu terus menerus diadakan perubahan,
baik dalam arti konseptual maupun operasional. Banyak hal harus ditinjau
kembali dan dikaji ulang. Beberapa mungkin perlu dirubah, beberapa lagi mungkin
perlu dikembangkan lebih lanjut dan dijelaskan atau diperjelas, dan beberapa
lagi mungkin perlu ditinggalkan.
Aktualisasi nilai
Pancasila dituntut selalu mengalami pembaharuan. Hakikat pembaharuan adalah
perbaikan dari dalam dan melalui sistem yang ada. Atau dengan kata lain,
pembaharuan mengandaikan adanya dinamika internal dalam diri Pancasila.
Mengunakan pendekatan teori Aristoteles, bahwa di dalam diri Pancasila sebagai
pengada (realitas) mengandung potensi, yaitu dasar kemungkinan (dynamik).
Potensi dalam pengertian ini adalah kemampuan real subjek (dalam hal ini
Pancasila) untuk dapat berubah. Subjek sendiri yang berubah dari dalam. Mirip
dengan teori A.N.Whitehead, setiap satuan aktual (sebagai aktus, termasuk
Pancasila) terkandung daya kemungkinan untuk berubah. Bukan kemungkinan murni
logis atau kemungkinan objektif, seperti batu yang dapat dipindahkan atau pohon
yang dapat dipotong. Bagi Whitehead, setiap satuan aktual sebagai realitas
merupakan sumber daya untuk proses ke-menjadi-an yang selanjutnya. Jika
dikaitkan dengan aktualisasi nilai Pancasila, maka pada dasarnya setiap
ketentuan hukum dan perundang-undangan pada segala tingkatan, sebagai
aktualisasi nilai Pancasila (transformasi kategori tematis menjadi kategori
imperatif), harus terbuka terhadap peninjauan dan penilaian atau pengkajian
tentang keterkaitan dengan nilai dasar Pancasila.
Untuk melihat
transformasi Pancasila menjadi norma hidup sehari-hari dalam bernegara orang
harus menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-4 yang berkaitan dengan negara,
yang meliputi; wilayah, warganegara, dan pemerintahan yang berdaulat.
Selanjutnya, untuk memahami transformasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa, orang
harus menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-3 yang berkaitan dengan bangsa
Indonesia, yang meliputi; faktor-faktor integratif dan upaya untuk menciptakan
persatuan Indonesia. Sedangkan untuk memahami transformasi Pancasila dalam
kehidupan bermasyarakat, orang harus menganalisis pasal-pasal penuangan sila
ke-1, ke-2, dan ke-5 yang berkaitan dengan hidup keagamaan, kemanusiaan dan
sosial ekonomis (Suwarno, 1993: 126).
2.2. Perubahan dan
Kebaharuan
Pembaharuan dan perubahan bukanlah melulu bersumber dari
satu sisi saja, yaitu akibat yang timbul dari dalam, melainkan bisa terjadi
karena pengaruh dari luar. Terjadinya proses perubahan (dinamika) dalam
aktualisasi nilai Pancasila tidaklah semata-mata disebabkan kemampuan dari
dalam (potensi) dari Pancasila itu sendiri, melainkan suatu peristiwa yang
terkait atau berrelasi dengan realitas yang lain. Dinamika aktualisasi
Pancasila bersumber pada aktivitas di dalam menyerap atau menerima dan
menyingkirkan atau menolak nilai-nilai atau unsur-unsur dari luar (asing).
Contoh paling jelas dari terjadinya perubahan transformatif dalam aktualisasi
nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, adalah
empat kali amandemen UUD 1945 yang telah dilakukan MPR pada tahun 1999, 2000,
2001, dan tahun 2002.
Dewasa ini,
akibat kemajuan ilmu dan teknologi, khususnya teknologi komunikasi, terjadilah
perubahan pola hidup masyarakat yang begitu cepat. Tidak satupun bangsa dan
negara mampu mengisolir diri dan menutup rapat dari pengaruh budaya asing.
Demikian juga terhadap masalah ideologi.Dalam kaitan imi, M.Habib Mustopo
(1992: 11 -12) menyatakan, bahwa pergeseran dan perubahan nilai-nilai akan
menimbulkan kebimbangan, terutama didukung oleh kenyataan masuknya arus budaya
asing dengan berbagai aspeknya. Kemajuan di bidang ilmu dan teknologi
komunikasi & transportasi ikut mendorong hubungan antar bangsa semakin erat
dan luas. Kondisi ini di satu pihak akan menyadarkan bahwa kehidupan yang
mengikat kepentingan nasional tidak luput dari pengaruhnya dan dapat
menyinggung kepentingan bangsa lain. Ada semacam kearifan yang harus dipahami,
bahwa dalam kehidupan dewasa ini, teknologi sebagai bagian budaya manusia telah
jauh mempengaruhi tata kehidupan manusia secara menyeluruh. Dalam keadaan
semacam ini, tidak mustahil tumbuh suatu pandangan kosmopolitan yang tidak
selalu sejalan dengan tumbuhnya faham kebangsaan.Beberapa informasi dalam
berbagai ragam bentuk dan isinya tidak dapat selalu diawasi atau dicegah begitu
saja.Mengingkari dan tidak mau tahu “tawaran” atau pengaruh nilai-nilai asing
merupakan kesesatan berpikir, yang seolah-olah menganggap bahwa ada eksistens yang bisa berdiri sendiri.
Kesalahan berpiklir demikian oleh Whitehead disebut sebagai the fallacy of misplace concretness (Damardjati
Supadjar, 1990: 68). Jika pengaruh itu tidak sesuai dengan nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat, atau tidak mendukung bagi terciptanya kondisi yang
sesuai dengan Pancasila, maka perlu dikembangkan sikap yang kritis terutama
terhadap gagasan-gagasan, ide-ide yang datang dari luar.
Dalam konteks
budaya, masalah pertemuan kebudayaan bukan masalah memfilter atau menyaring
budaya asing, tetapi mengolah dan mengkreasi dalam interaksi dinamik sehingga
tercipta sesuatu yang baru. Jati diri bangsa, budaya politik adalah sesuatu
yang harus terus menerus dikonstruksikan, karena bukan kenyataan yang mandeg
(Sastrapratedja, 1996: 11). Kalau ideologi-ideologi besar di dunia sekarang ini
diperhatikan dengan seksama, maka terlihat mereka bergeser secara dinamik. Para
penyangga ideologi itu telah melakukan revisi, pembaharuan, dan
pemantapan-pemantapan dalam mengaktualisasikan ideologinya. Perkembangan zaman
menuntut bahwa ideologi harus memiliki nafas baru, semangat baru dengan corak
nilai, ajaran dan konsep kunci mengenai kehidupan yang memiliki perspektif
baru. Ideologi Pancasilapun dituntut demikian. Pancasila harus mampu menghadapi
pengaruh budaya asing, khususnya ilmu dan teknologi modern dan latar belakang
filsafatnya yang berasal dari luar.
Prof. Notonagoro
telah menemukan cara untuk memanfaatkan pengaruh dari luar tersebut, yaitu
secara eklektif mengambil ilmu pengetahuan dan ajaran kefilsafatan dari luar
tersebut, tetapi dengan melepaskan diri dari sistem filsafat yang bersangkutan
dan selanjutnya diinkorporasikan dalam struktur filsafat Pancasila. Dengan
demikian, terhadap pengaruh baru dari luar, maka Pancasila bersifat terbuka
dengan syarat dilepaskan dari sistem filsafatnya, kemudian dijadikan unsur yang
serangkai dan memperkaya struktur filsafat Pancasila (Sri Soeprapto, 1995: 34).
Sepaham dengan Notonagoro, Dibyasuharda (1990: 229) mengkualifikasikan
Pancasila sebagai struktur atau sistem yang terbuka dinamik, yang dapat
menggarap apa yang datang dari luar, dalam arti luas, menjadi miliknya tanpa
mengubah identitasnya, malah mempunyai daya ke luar, mempengaruhi dan mengkreasi.
Dinamika
Pancasila dimungkinkan apabila ada daya refleksi yang mendalam dan keterbukaan
yang matang untuk menyerap, menghargai, dan memilih nilai-nilai hidup yang
tepat dan baik untuk menjadi pandangan hidup bangsa bagi kelestarian hidupnya
di masa mendatang. Sedangkan penerapan
atau penolakan terhadap nilai-nilai budaya luar tersebut berdasar pada
relevansinya. Dalam konteks hubungan internasional dan pengembangan ideologi,
bukan hanya Pancasila yang menyerap atau dipengaruhi oleh nilai-nilai asing,
namun nilai-nilai Pancasila bisa ditawarkan dan berpengaruh, serta menyokong
kepada kebudayaan atau ideologi lain. Bahkan Soerjanto Poespowardojo (1989: 14)
menjelaskan, bahwa dinamika yang ada pada aktualisasi Pancasila memungkinkan
bahwa Pancasila juga tampil sebagai alternatif untuk melandasi tata kehidupan
internasional, baik untuk memberikan orientasi kepada negara-negara berkembang
pada khususnya, maupun mewarnai pola komunikasi antar negara pada umumnya.
Ideologi
Pancasila bukanlah pseudo religi. Oleh karena itu, Pancasila perlu dijabarkan
secara rasional dan kritis agar membuka iklim hidup yang bebas dan rasional
pula. Konsekuensinya, bahwa Pancasila harus bersifat terbuka. Artinya, peka
terhadap perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia dan tidak menutup diri
terhadap nilai dan pemikiran dari luar yang memang diakui menunjukkan arti dan
makna yang positif bagi pembinaan budaya bangsa, sehingga dengan demikian
menganggap proses akulturasi sebagai gejala wajar. Dengan begitu ideologi
Pancasila akan menunjukkan sifatnya yang dinamik, yaitu memiliki kesediaan
untuk mengadakan pembaharuan yang berguna bagi perkembangan pribadi manusia dan
masyarakat. Untuk menghadapi tantangan masa depan perlu didorong pengembangan
nilai-nilai Pancasila secara kreatif dan dinamik. Kreativitas dalam konteks ini
dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menyeleksi nilai-nilai baru dan mencari
alternatif bagi pemecahan masalah-masalah politik, sosial, budaya, ekonomi, dan
pertahanan keamanan. Ideologi Pancasila tidak a priori menolak bahan-bahan baru
dan kebudayaan asing, melainkan mampu menyerap nilai-nilai yang dipertimbangkan
dapat memperkaya dan memperkembangkan kebudayaan sendiri, serta mempertinggi
derajat kemanusiaan bangsa Indonesia. Menurut Hardono Hadi (1994: 57), bangsa
Indonesia, sebagai pengemban ideeologi Pancasila, tidak defensif dan tertutup
sehingga sesuatu yang berbau asing harus ditangkal dan dihindari karena
dianggap bersifat negatif. Sebaliknya tidak diharapkan bahwa bangsa Indonesia
menjadi begitu amorf, sehingga segala sesuatu yang menimpa dirinya diterima
secara buta tanpa pedoman untuk menentukan mana yang pantas dan mana yang tidak
pantas untuk diintegrasikan dalam
pengembangan dirinya.
Bangsa Indonesia
mau tidak mau harus terlibat dalam dialog dengan bangsa-bangsa lain, namun
tidak tenggelam dan hilang di dalamnya. Proses akulturasi tidak dapat
dihindari. Bangsa Indonesia juga dituntut berperan aktif dalam pergaulan
dunia.Bangsa Indonesia harus mampu ikut bermain dalam interaksi mondial dalam
menentukan arah kehidupan manusia seluruhnya. Untuk bisa menjalankan peran
itu, bangsa Indonesia sendiri harus
mempunyai kesatuan nilai yang menjadi keunikan bangsa, sehingga mampu memberikan
sumbangan yang cukup berarti dalam percaturan internasional. Identitas diri
bukan sesuatu yang tertutup tetapi sesuatu yang terus dibentuk dalam interaksi
dengan kelompok masyarakat bangsa, negara, manusia, sistem masyarakat dunia
(Sastrapratedja, 1996: 3).
Semuanya itu mengharuskan adanya strategi kebudayaan yang
mampu neneruskan dan mengembangkan nilai-nilai luhur Pancasila dalam segala
aspek kehidupan bangsa.
Abdulkadir Besar
(1994: 35) menawarkan pelaksanaan “strategi dialogi antar budaya” dalam
menghadapi gejala penyeragaman atau globalisasi dewasa ini.. Artinya,
membiarkan budaya asing yang mengglobal berdampingan dengan budaya asli.
Melalui interaksi yang terus menerus, masing-masing budaya akan mendapatkan
pelajaran yang berharga. Hasil akhir yang diharapkan dari interaksi itu adalah
terpeliharanya cukup diferensiasi, sekaligus tercegahnya penyeragaman
universal. Ideologi Pancasila sebagai jati diri bangsa Indonesia tidak mandeg,
melainkan harus diperbaharui secara terus menerus, sehingga mampu memberikan
pedoman, inspirasi, dan dukungan pada setiap anggota bangsa Indonesia dalam
memperkembangkan dirinya sebagai bangsa Indonesia. Sedangkan pembaharuan yang
sehat selalu bertitik tolak pada masa lampau dan sekaligus diarahkan bagi
terwujudnya cita-cita di masa depan. Setiap zaman menampakkan corak
kepribadiannya sendiri, namun kepribadian yang terbentuk pada zaman yang berbeda haruslah mempunyai
kesinambungan dari masa lampau sampai masa mendatang sehingga tergambarkan
aspek historitasnya (Hardono Hadi, 1994: 76). Kesinambungan tidak berarti hanya
penggulangan atau pelestarian secara persis apa yang dihasilkan di masa lampau
untuk diterapkan pada masa kini dan masa mendatang. Unsur yang sama dan
permanen maupun unsur yang kreatif dan baru, semuanya harus dirajut dalam satu
kesatuan yang integral.
Teori
hilemorfisme dari Aristoteles bisa mendukung pandangan tersebut. Aristoteles
menegaskan, bahwa meskipun materi (hyle) menjadi nyata bila dibentuk (morfe),
namun materi tidaklah pasif. Artinya ada gerak.
Setiap relitas yang sudah berbentuk (berdasar materi) dapat juga menjadi
materi bagi bentuk yang lain,sehingga setiap realitas mengalami perubahan.
Perubahan yang ada bukan kebaharuan sama sekali namun perubahan yang
kesinambungan. Artinya, aktualitas yang ada sekarang berdasar pada realitas
yang telah
ada pada masa lampau dan terbuka bagi adanya perubahan di
masa depan.
3. Simpulan
Dinamika dalam mengaktualisasikan nilai Pancasila ke dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan benegara adalah suatu keniscayaan, agar
Pancasila tetap selalu relevan dalam fungsinya memberikan pedoman bagi pengambilan kebijaksanaan dan pemecahan
masalah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Agar loyalitas warga
masyarakat dan warganegara terhadap Pancasila tetap tinggi. Di lain pihak,
apatisme dan resistensi terhadap Pancasila bisa diminimalisir.
Substansi dari
adanya dinamika dalam aktualisasi nilai Pancasila dalam kehidupan praksis
adalah selalu terjadinya perubahan dan pembaharuan dalam mentransformasikan
nilai Pancasila ke dalam norma dan praktik hidup dengan menjaga konsistensi,
relevansi, dan kontekstualisasinya. Sedangkan perubahan dan pembaharuan yang
berkesinambungan
terjadi apabila ada dinamika internal (self-renewal) dan
penyerapan terhadap nilai-nilai asing yang relevan untuk pengembangan dan
penggayaan ideologi Pancasila.Muara dari semua upaya perubahan dan pembaharuan
dalam mengaktualisasikan nilai Pancasila adalah terjaganya akseptabilitas dan
kredibilitas Pancasila oleh warganegara dan wargamasyarakat Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir Besar. 1994. Pancasila dan Alam Pikiran Integralistik (Kedudukan dan Peranannya dalam Era
Globalisasi). Yogyakarta: Panitia Seminar “Globalisasi Kebudayaan dan
Ketahanan Ideologi” 16-17 November 1994
di UGM.
Bachtiar, Harsja W. (Peny.).1976. Percakapan dengan Sidney Hook tentang Masalah Filsafat. Jakarta:
Jambatan.
Bakker, Anton.1992. Ontologi
atau Metafisika Umum. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Bertens. Kess. 1976. Ringkasan
Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Penerbit Yayasan Kanisius.
Bracher, Karl Dietrich. 1984. The
Age of Ideologies. New York: St.Martin’s Press.
Damardjati Supadjar.1990. Konsep Kefilsafatan tentang Tuhan Menurut Alfred Nort Whitehead. Yogyakarta: Disertasi Doktor
di UGM.
Dibyasuharda. 1990.Dimensi
Metafisik dalam Simbol: Ontologi mengenai Akar Simbol.
Yogyakarta:
Disertasi Doktor di UGM.
Driyarkara, N.1959.
Pantjasila dan Religi. Yogyakarta: Makalah disampaikan pada Seminar Pantjasila I di
Yogyakarta tanggal 16 sampai 20 Februari.
-----------------.1993 (Cet.ke-12).Filsafat
Manusia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Habermas, Jurgen.1990.
Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi. Jakarta: LP3ES.
Habib Mustopo,
M.1992. Ideologi Pancasila dalam
Menghadapi Globalisasi dan Era
Tinggal Landas. Bandungan-Ambarawa: Panitia
Seminar dan Loka Karya
Nasional MKDU Pendidikan Pancasila Dosen-dosen PTN/PTS dan Kedinasan
Pada tanggal 29 – 30 September 1992.
Hardono Hadi, P.
1994.Hakikat dan Muatan Filsafat
Pancasila. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
Kansil,
C.S.T.1971. Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945. Jakarta: Pradnya
Paramita.
Kattsoff, Louis
O.1953. Elements of Philosophy. New York: The Ronald Press Comp.
Kendall, G.A. 1981. “Ideology: An Essay in Definition” dalam majalah Philophy
Today No.25, hal. 262 – 276.
Koento Wibisono.
1988. Pancasila Ideologi Terbuka.
Magelang: Panitia Temu Karya
Dosen-Dosen PTN Se-Jawa
Tengah dan Kopertis Wil.VI.
Leahy, Louis. 1993. “Ideologi
Tinjauan Historis dan Kritis”. Yogyakarta:
dalam Majalah Basis No.42, halaman 130 – 135.
Liek Wilardjo. 1990.Realita
dan Desiderata. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Lorens Bagus. 1991. Metafiska.
Jakarta: PT Gramedia.
Magnis Suseno, Franz. 1991. Berfilsafat
dari Konteks. Jakarta: PT Gramedia.
Mannheim, Karl. 1991. Ideologi
dan Utopia (Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik).
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Moerdino. 1995/1996. “Pancasila
sebagai Ideologi Terbuka Menghadapi Era Globalisasi dan Perdagangan Babas”, dalam Majalah Mimbar No.75 tahun XIII.
------------. 1995/1996. “Masalah Filsafati dan Ideologi dalam Membangun Negara Hukum di Indonesia”, dalam Majalah Mimbar No. 74 tahun XIII.
Naisbitt, John dan Patricia Aburdence. 1990. Megatrends 2000 (Sepuluh Arah Baru
untuk Tahun 1990-an). Jakarta: Bina
Rupa Aksara.
Notonagoro. 1974 (Cet.Kelima). Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila. Jakarta: Universitas
Pancasila.
--------------. 1975. Pancasila
secara Ilmiah Populer. Jakarta: Pantjuran Tudjuh.
-------------. 1984 (Cet.Keenam). Pancasila Dasar Falsafah Negara. Jakarta: Bina Aksara.
Popkin, Richard, dan Avrum Stroll. 1958. Philosophy Made Simple. New
York: Made
Sample
Books, Inc.
Pranarka A.M.W. 1985. Sejarah
Pemikiran tentang Pancasila. Jakarta: CSIS.
Sartono Kartodirdjo. 1990. Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Sastrapratedja,M. 1996. Pancasila dan Globalisasi. Magelang: Panitia Seminar Nasional
Pendidikan Pancasila di Universitas Tidar pada 29-31 Juli 1996.
Slamet Sutrisno. 1986. Pancasila
sebagai Metode. Yogyakarta: Liberty.
Snyder, Louis L. 1954. The
Meaning of Nationalism. New Brunswick-New Jersey: Rut-
ger
University Press.
Soedjati Djiwandono, J. 1995. Setengah Abad Negara Pancasila (Tinjauan Kritis ke Arah Pembaharuan. Jakarta: CSIS.
Soerjanto Poespowardojo. 1989. Filsafat Pancasila. Jakarta: Gramedia.
Sudarmanto, JB. 1987. Agama dan Ideologi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Sudarmanto, JB. 1987. Agama dan Ideologi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Sudarminta, J. 1991. Filsafat
Proses (Sebuah Pengantar Sistematik Filsafat Whitehead).Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
Suwarno, P.J. 1993.
Pancasila Budaya Bangsa Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Traer, Robert. 1991. Faith
in Human Rights. Washington DC: Georgetown Univ.Press.
Whitehead, Alfred North. 1979. Process and Reality. New York: The Free Press.
William Ebenstein & Edwin Fogelman. 11985. Today’s Isms. London: Prentice-Hall,Inc.
**Semoga Bermanfaat**
Bangsa
Dinamika Aktualisasi Nilai Pancasila Dalam Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara
Implementasi Pancasila Dalam Kehidupan Sehari-Hari
Negara
Pancasila